Kerancuan Pendapat Yang Mengingkari Bid’ah Hasanah
1. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah biasa berkata:
“Bukankah Rasulullah dalam hadits riwayat Abu Dawud dari sahabat al-‘Irbadl ibn Sariyah telah bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود)
Ini artinya bahwa setiap perkara yang secara nyata tidak disebutkan
dalam al-Qur’an dan hadits atau tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah
dan atau al-Khulafa' ar-Rasyidun maka perkara tersebut dianggap sebagai
bid’ah sesat .
Jawab:
Hadits ini lafazhnya umum tetapi
maknanya khusus. Artinya yang dimaksud oleh Rasulullah dengan bid’ah
tersebut adalah bid’ah sayyi-ah, yaitu setiap perkara baru yang
menyalahi al-Qur’an, sunnah, ijma' atau atsar. Al-Imam an-Nawawi dalam
Syarh Shahih Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah
dlalalah” ini adalah 'Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah
dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa
sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)”
(al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154).
Kemudian al-Imam an-Nawawi membagi bid’ah menjadi lima macam. Beliau
berkata: “Jika telah dipahami apa yang telah aku tuturkan, maka dapat
diketahui bahwa hadits ini termasuk hadits umum yang telah dikhususkan.
Demikian juga pemahamannya dengan beberapa hadits serupa dengan ini. Apa
yang saya katakan ini didukung oleh perkataan ‘Umar ibn al-Khaththab
tentang shalat Tarawih, beliau berkata: “Ia (Shalat Tarawih dengan
berjama’ah) adalah sebaik-baiknya bid’ah”.
Dalam penegasan
al-Imam an-Nawawi, meski hadits riwayat Abu Dawud tersebut di atas
memakai kata “Kullu” sebagai ta’kid, namun bukan berarti sudah tidak
mungkin lagi di-takhshish. Melainkan ia tetap dapat di-takhshish. Contoh
semacam ini, dalam QS. al-Ahqaf: 25, Allah berfirman:
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ (الأحقاف: 25)
Makna ayat ini ialah bahwa angin yang merupakan adzab atas kaum 'Ad
telah menghancurkan kaum tersebut dan segala harta benda yang mereka
miliki. Bukan artinya bahwa angin tersebut menghancurkan segala sesuatu
secara keseluruhan, karena terbukti hingga sekarang langit dan bumi
masih utuh. Padahal dalam ayat ini menggunakan kata “Kull”.
Adapun dalil-dalil yang men-takhshish hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah”
riwayat Abu Dawud ini adalah hadits-hadits dan atsar-atsar yang telah
disebutkan dalam dalil-dalil adanya bid’ah hasanah.
2. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah biasanya berkata:
“Hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” yang telah
diriwayatkan oleh Imam Muslim adalah khusus berlaku ketika Rasulullah
masih hidup. Adapun setelah Rasulullah meninggal maka hal tersebut
menjadi tidak berlaku lagi”.
Jawab:
Di dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:
لاَ تَثْبُتُ الْخُصُوْصِيَّةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ
“Pengkhususan -terhadap suatu nash- itu tidak boleh ditetapkan kecuali harus berdasarkan adanya dalil”.
Kita katakan kepada mereka: “Mana dalil yang menunjukan kekhususan
tersebut?! Justru sebaliknya, lafazh hadits riwayat Imam Muslim di atas
menunjukkan keumuman, karena Rasulullah tidak mengatakan “Man Sanna Fi
Hayati Sunnatan Hasanatan…” (Barangsiapa merintis perkara baru yang baik
di masa hidupku…), atau juga tidak mengatakan: “Man ‘Amila ‘Amalan Ana
‘Amiltuh Fa Ahyahu…” (Barangsiapa mengamalkan amal yang telah aku
lakukan, lalu ia menghidupkannya…). Sebaliknya Rasulullah mengatakan
secara umum: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, dan tentunya
kita tahu bahwa Islam itu tidak hanya yang ada pada masa Rasulullah
saja”.
Kita katakan pula kepada mereka: Berani sekali kalian
mengatakan hadits ini tidak berlaku lagi setelah Rasulullah meninggal?!
Berani sekali kalian menghapus salah satu hadits Rasulullah?! Apakah
setiap ada hadits yang bertentangan dengan faham kalian maka berarti
hadits tersebut harus di-takhshish, atau harus d-nasakh (dihapus) dan
tidak berlaku lagi?! Ini adalah bukti bahwa kalian memahami ajaran agama
hanya dengan didasarkan kepada “hawa nafsu” belaka.
3. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah terkadang berkata:
“Hadits riwayat Imam Muslim: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan
Hasanatan…” sebab munculnya adalah bahwa beberapa orang yang sangat
fakir memakai pakaian dari kulit hewan yang dilubangi tengahnya lalu
dipakaikan dengan cara memasukkan kepala melalui lubang tersebut.
Melihat keadaan tersebut wajah Rasulullah berubah dan bersedih. Lalu
para sahabat bersedekah dengan harta masing-masing dan mengumpulkannya
hingga menjadi cukup banyak, kemudian harta-harta itu diberikan kepada
orang-orang fakir tersebut. Ketika Rasulullah melihat kejadian ini,
beliau sangat senang dan lalu mengucapkan hadits di atas. Artinya,
Rasulullah memuji sedekah para sahabatnya tersebut, dan urusan sedekah
ini sudah maklum keutamaannya dalam agama”.
Jawab:
Dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:
اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
“Yang dijdikan sandaran itu -dalam penetapan dalil itu- adalah keumuman lafazh suatu nash, bukan dari kekhususan sebabnya”.
Dengan demikian meskipun hadits tersebut sebabnya khusus, namun
lafazhnya berlaku umum. Artinya yang harus dilihat di sini adalah
keumuman kandungan makna hadits tersebut, bukan kekhususan sebabnya.
Karena seandainya Rasulullah bermaksud khusus dengan haditsnya tersebut,
maka beliau tidak akan menyampaikannya dengan lafazh yang umum.
Pendapat orang-orang anti bid’ah hasanah yang mengambil alasan semacam
ini terlihat sangat dibuat-buat dan sungguh sangat aneh. Apakah mereka
lebih mengetahui agama ini dari pada Rasulullah sendiri?!
4. Sebagian kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan:
“Bukan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” yang di-takhshish oleh hadits
“Man Sanna Fi al-Isalam Sunnatan Hasanah…”. Tetapi sebaliknya, hadits
yang kedua ini yang di-takhshish oleh hadits hadits yang pertama”.
Jawab: Ini adalah penafsiran “ngawur” dan “seenak perut” belaka.
Pendapat semacam itu jelas tidak sesuai dengan cara para ulama dalam
memahami hadits-hadits Rasulullah. Orang semacam ini sama sekali tidak
faham kalimat “’Am” dan kalimat “Khas”. Al-Imam an-Nawawi ketika
menjelaskan hadits “Man Sanna Fi al-Islam…”, menuliskan sebagai berikut:
فِيْهِ الْحَثُّ عَلَى الابْتِدَاءِ بِالْخَيْرَاتِ وَسَنِّ السُّنَنِ
الْحَسَنَاتِ وَالتَّحْذِيْرِ مِنَ الأَبَاطِيْلِ وَالْمُسْتَقْبَحَاتِ.
وَفِيْ هذَا الْحَدِيْثِ تَخْصِيْصُ قَوْلِهِ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ
"فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ" وَأَنَّ
الْمُرَادَ بِهِ الْمُحْدَثَاتُ الْبَاطِلَةُ وَالْبِدَعُ الْمَذْمُوْمَةُ.
“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memulai kebaikan, dan merintis
perkara-perkara baru yang baik, serta memperingatkan masyarakat dari
perkara-perkara yang batil dan buruk. Dalam hadits ini juga terdapat
pengkhususan terhadap hadits Nabi yang lain, yaitu terhadap hadits: “Wa
Kullu Bid’ah Dlalalah”. Dan bahwa sesungguhnya bid’ah yang sesat itu
adalah perkara-perkara baru yang batil dan perkara-perkara baru yang
dicela”.
As-Sindi mengatakan dalam kitab Hasyiyah Ibn Majah:
قَوْلُهُ "سُنَّةً حَسَنَةً" أَيْ طَرِيْقَةً مَرْضِيَّةً يُقْتَدَى
بِهَا، وَالتَّمْيِيْزُ بَيْنَ الْحَسَنَةِ وَالسَّـيِّئَةِ بِمُوَافَقَةِ
أُصُوْلِ الشَّرْعِ وَعَدَمِهَا.
“Sabda Rasulullah: “Sunnatan
Hasanatan…” maksudnya adalah jalan yang diridlai dan diikuti. Cara
membedakan antara bid’ah hasanah dan sayyi-ah adalah dengan melihat
apakah sesuai dengan dalil-dalil syara’ atau tidak”.
Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ
مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا
تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ.
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq para
ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada
hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika
tergolong hal yang buruk dalam syara' berarti termasuk bid’ah yang
buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).
Dengan demikian para
ulama sendiri yang telah mengatakan mana hadits yang umum dan mana
hadits yang khusus. Jika sebuah hadits bermakna khusus, maka mereka
memahami betul hadits-hadits mana yang mengkhususkannya. Benar, para
ulama juga yang mengetahui mana hadits yang mengkhususkan dan mana yang
dikhususkan. Bukan semacam mereka yang membuat pemahaman sendiri yang
sama sekali tidak di dasarkan kepada ilmu.
Dari penjelasan ini
juga dapat diketahui bahwa penilaian terhadap sebuah perkara yang baru,
apakah ia termasuk bid’ah hasanah atau termasuk sayyi-ah, adalah urusan
para ulama. Mereka yang memiliki keahlian untuk menilai sebuah perkara,
apakah masuk kategori bid’ah hasanah atau sayyi-ah. Bukan orang-orang
awam atau orang yang menganggap dirinya alim padahal kenyataannya ia
tidak paham sama sekali.
5. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan:
“Bid’ah yang diperbolehkan adalah bid’ah dalam urusan dunia. Dan
definisi bid’ah dalam urusan dunia ini sebenarnya bid’ah dalam tinjauan
bahasa saja. Sedangkan dalam urusan ibadah, bid’ah dalam bentuk apapun
adalah sesuatu yang haram, sesat bahkan mendekati syirik”.
Jawab:
Subhanallah al-'Azhim. Apakah berjama'ah di belakang satu imam dalam
shalat Tarawih, membaca kalimat talbiyah dengan menambahkan atas apa
yang telah diajarkan Rasulullah seperti yang dilakukan oleh sahabat
‘Umar ibn al-Khaththab, membaca tahmid ketika i'tidal dengan kalimat
“Rabbana Wa Laka al-Hamd Handan Katsiran Thayyiban Mubarakan Fih”,
membaca doa Qunut, melakukan shalat Dluha yang dianggap oleh sahabat
‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai bid’ah hasanah, apakah ini semua bukan dalam
masalah ibadah?! Apakah ketika seseorang menuliskan shalawat:
“Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” atas Rasulullah tidak sedang beribadah?!
Apakah orang yang membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat
i'rab-nya tidak sedang beribadah kepada Allah?! Apakah orang yang
membaca al-Qur’an tersebut hanya “bercanda” dan “iseng” saja, bahwa ia
tidak akan memperoleh pahala karena membaca al-Qur’an yang ada titik dan
harakat i'rab-nya?! Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar yang nyata-nyata dalam
shalat, di dalam tasyahhud-nya menambahkan “Wahdahu La Syarika Lahu”,
apakah ia tidak sedang melakukan ibadah?! Hasbunallah.
Kemudian
dari mana ada pemilahan bid’ah secara bahasa (Bid’ah Lughawiyyah) dan
bid’ah secara syara'?! Bukankah ketika sebuah lafazh diucapkan oleh para
ulama, yang notebene sebagai pembawa ajaran syari’at, maka harus
dipahami dengan makna syar'i dan dianggap sebagai haqiqah syar'iyyah?!
Bukankah ‘Umar ibn al-Khatththab dan ‘Abdullah ibn Umar mengetahui makna
bid’ah dalam syara', lalu kenapa kemudian mereka memuji sebagian bid’ah
dan mengatakannya sebagai bid’ah hasanah, bukankah itu berarti bahwa
kedua orang sahabat Rasulullah yang mulia dan alim ini memahami adanya
bid’ah hasanah dalam agama?! Siapa berani mengatakan bahwa kedua sahabat
agung ini tidak pernah mendengar hadits Nabi “Kullu Bid’ah Dlalalah”?!
Ataukah siapa yang berani mengatakan bahwa dua sahabat agung tidak
memahami makna “Kullu” dalam hadits “Kullu Bid’ah Dlalalh” ini?!
Kita katakan kepada mereka yang anti terhadap bid’ah hasanah:
“Sesungguhnya sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dan sahabat ‘Abdullah ibn
‘Umar, juga para ulama, telah benar-benar mengetahui adanya kata “Kull”
di dalam hadits tersebut. Hanya saja orang-orang yang mulia ini memahami
hadits tersebut tidak seperti pemahaman orang-orang Wahhabiyyah yang
sempit pemahamannya ini. Para ulama kita tahu bahwa ada beberapa hadits
shahih yang jika tidak dikompromikan maka satu dengan lainnya akan
saling bertentangan. Oleh karenanya, mereka mengkompromikan hadits “Wa
Kullu Bid’ah Dlalalah” dengan hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan
Hasanatan…”, bahwa hadits yang pertama ini di-takhshish dengan hadits
yang kedua. Sehingga maknanya menjadi: “Setiap bid’ah Sayyi-ah adalah
sesat”, bukan “Setiap bid’ah itu sesat”. Pemahaman ini sesuai dengan
hadits lainnya, yaitu sabda Rasulullah:
مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً
ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ
مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه الترمذيّ
وابن ماجه)
“Barangsiapa merintis suatu perkara baru yang sesat
yang tidak diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia terkena dosa
orang-orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka
sedikitpun”. (HR. at-Tirmidzi (hasan) dan Ibn Majah)
Inilah pemahaman yang telah dijelaskan oleh para ulama kita sebagai Waratsah al-Anbiya’.
6. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah mengatakan:
“Perkara-perkara baru tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah,
dan para sahabat tidak pernah melakukannya pula. Seandainya
perkara-perkara baru tersebut sebagai sesuatu yang baik niscaya mereka
telah mendahului kita dalam melakukannya”.
Jawab:
Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Jika
mereka berkata: Rasulullah melarang secara umum dengan sabdanya: “Kullu
Bid’ah Dlalalah”. Kita jawab: Rasulullah juga telah bersabda: “Man Sanna
Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan Fa Lahu Ajruha Wa Ajru Man ‘Amila
Biha…”. Bila mereka berkata: Adakah kaedah syara' yang mengatakan bahwa
apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah adalah bid’ah yang diharamkan?
Kita jawab: Sama sekail tidak ada.
Lalu kita katakan kepada
mereka: Apakah suatu perkara itu hanya baru dianggap mubah (boleh) atau
sunnah setelah Rasulullah sendiri yang langsung melakukannya?! Apakah
kalian mengira bahwa Rasulullah telah melakukan semua perkara mubah?!
Jika demikian halnya, kenapa kalian memakai Mushaf (al-Qur’an) yang ada
titik dan harakat i'rab-nya?! Padahal jelas hal itu tidak pernah dibuat
oleh Rasulullah, atau para sahabatnya! Apakah kalian tidak tahu kaedah
Ushuliyyah mengatakan:
التَّرْكُ لاَ يَقْتَضِي التَّحْرِيْم
“Meninggalkan suatu perkara tidak tidak menunjukkan bahwa perkara tersebut sesuatu yang haram”.
Artinya, ketika Rasulullah atau para sahabatnya tidak melakukan suatu
perkara tidak berarti kemudian perkara tersebut sebagai sesuatu yang
haram. Sudah maklum, bahwa Rasulullah berasal dari bangsa manusia, tidak
mungkin beliau harus melakukan semua hal yang Mubah. Jangankan
melakukannya semua perkara mubah, menghitung semua hal-hal yang mubah
saja tidak bisa dilakukan oleh seorangpun. Hal ini karena Rasulullah
disibukan dalam menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berdakwah,
mendebat orang-orang musyrik dan ahli kitab, memerangi orang-orang
kafir, melakukan perjanjian damai dan kesepakatan gencatan senjata,
menerapkan hudud, mempersiapkan dan mengirim pasukan-pasukan perang,
mengirim para penarik zakat, menjelaskan hukum-hukum dan lainnya.
Bahkan dengan sengaja Rasulullah kadang meninggalkan beberapa perkara
sunnah karena takut dianggap wajib oleh ummatnya. Atau sengaja beliau
kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah hanya karena khawatir akan
memberatkan ummatnya jika beliau terus melakukan perkara sunnah
tersebut. Dengan demikian orang yang mengharamkan satu perkara hanya
dengan alasan karena perkara tersebut tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah adalah pendapat orang yang tidak mengerti ahwal Rasulullah
dan tidak memahami kaedah-kaedah agama.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar