Jumat, 21 Juni 2013
MENGENANG GUS DUR
Menurut keterangan Kyai Agil siraj (Ketua PBNU) - SCTV dalam acara
Mengenang 7 Hari Gus Dur tanggal 6 Januari 2010 jam 10.58
1. Kisah Makam Surya Memesa dan Ziarah Syekh Ali Uraidi bin Imam Ja’far
Shadiq
Di sela-sela acara tahlilan hari ke-7 wafatnya Gus Dur di Ciganjur,
Jakarta Selatan, Selasa (5/1), Said Agil pernah diajak ziarah ke
pedalaman Tasikmalaya, Panjulan. Gus Dur membawanya ke sebuah kuburan
yang sepi. Untuk mencapai lokasi saja, harus menyebrang sebuah situ
(danau).
Saat tiba, Gus Dur menuju sebuah makam. Saat ditanya Said Agil, siapa
jenazah yang telah dikebumikan di tanah ini? Gus Dur tidak langsung
menjawab. “Dia orang sakti. Dia mencari musuh agar dia bisa dikalahkan,”
ujar Said Agil meniru ucapan Gus Dur.
Orang sakti yang dimaksud Gus Dur, sambung Said Agil, ternyata bernama
Surya Mesesa, seorang penyebar agama Islam di pulau Jawa. Gus Dur
memberitahukan kepada Said Agil, mengapa Surya Mesesa bisa masuk Islam.
“Untuk mendapatkan musuh, Surya Memesa sampai ke Madinah, dan bertemu
Syeikh Ali. Sama Syeikh Ali, Surya Mesesa disuruh mengangkat sebuah
tongkat, dan tidak bisa. Karena itu, dia masuk Islam,” ujarnya.
Ceritanya, Gus Dur bersama Said Aqil ingin membacakan surat Al-Fatihah
untuk Syekh Ali sebanyak seribu kali. Namun ketika mereka baru
membacakan al-Fatihah sebanyak 30 kali tiba-tiba seorang polisi datang
mengusir mereka dan mengatakan, “Musyrik, haram!”
Untung saja mereka bukan penduduk setempat, sehingga tidak dihukum
berat, karena bagi mereka ziarah kubur adalah larangan berat. Namun Gus
Dur sempat marah kepada polisi itu, “Kamu musuh Allah, Wahabi,” kata Gus
Dur seperti dikutip Said Aqil saat memberikan testimoninya usai
memimpin tahlilal 7 hari di Ciganjur, Selasa (5/1) malam.
Said Aqil bercerita, Gus Dur berziarah ke makam Syekh Ali al-Uraidhi
karena Syekh ini konon sempat mengalahkan seorang yang hebat bernama
Surya Mesesa. Ia merasa tak terkalahkan. Bahkan untuk mendapatkan musuh,
Surya Memesa sampai ke Madinah, dan bertemu Syekh Ali al-Uraidhi.
“Sama Syeikh Ali, Surya Mesesa disuruh mengangkat sebuah tongkat, dan
tidak bisa. Karena itu, dia masuk Islam,” ujar Said Aqil. Cerita ini
diperolehnya dari Gus Dur saat ia diajak berziarah ke pedalaman
Tasikmalaya, Panjulan.
Said Aqil bertanya, “Makam siapa Gus?” Gus Dur menjawab, “Dia orang
sakti. Dia mencari musuh agar dia bisa dikalahkan.” Karena itulah Gus
Dur berziarah ke makam tersebut dan kemudian ke makam Syekh Ali
al-Uraidhi.
Menurut Kang Said, panggilan akrab KH Said Aqil Siradj, Gus Dur memang
gemar berziarah ke makam para ulama dan sesepuh. Selain mendoakan
mereka, dengan cara itu Gus Dur merangkai sejarah peristiwa yang terjadi
beberapa ratus tahun yang lalu, yang bahkan tidak tertulis dalam
buku-buku sejarah.
Namun ada yang yang menarik ketika Gus Dur berziarah kesuatu makam, kata
Kang Said. ”Kalau ada makam yang diziarahi Gus Dur, pasti kemudian
makam itu ramai diziarahi orang. Gus Dur memang tidak hanya memberkahi
orang yang hidup, tapi juga orang yang sudah mati,” katanya disambut
tawa hadirin. (nam) (sumber 1 , sumber 2)
2. Bertemu dan didoakan wali di madinah
setelah berziarah (point 1) , beliau berdoa di raudah, malamnya gus dur
ngajak kyai agil jalan2 ke masjid untuk mencari seorang wali
setelah muter2 dimasjid, kyai agil ketemu sm orang pake surban tinggi,
lagi ngajar santrinya banyak, bilang sm gus dur
‘apa ini wali gus ?’
gus dur bilang, ‘bukan’
akhirnya cari lagi,ketemu sm orang yg pake surban dengan jidat hitam ,
gus dur bilang ‘bukan ini’
kemudian gus dur menghentikan langkah di dekat orang yg pake surban
kecil biasa, duduk diatas sajadah, baru gus dur bilang, ‘ini adalah
wali’
kemudian kyai agil memperkenalkan pada wali tersebut, dalam bahasa arab,
dan terjemahannya seperti ini
‘Syekh, ini sy perkenalkan namanya ustad Abdurrahman Wahid, ketua
organisasi islam terbesar di asia’,
tujuan dari mencari wali ini ialah ingin didoakan oleh seorang wali.
akhirnya wali ini berdoa untuk gus dur semoga di ridloi, di ampuni ,
hidupnya sukses. setelah itu wali tersebut pergi sambil menyeret
sajadahnya dan mengatakan ‘dosa apa saya? sampai2 maqom/kedudukan saya
diketahui oleh orang’…
dalam sebuah atsar (perkataan ulama2) menyatakan bahwa ‘yang mengetahui
kedudukan seorang wali adalah sesama wali itu sendiri’
3. Weruh sak durunge wineruh.
Artikel ini sy ambil dari
http://tengkuzulkarnain.net/index.php/artikel/index/72/Selamat-Jalan-Gusdur
Kiayi
Haji Abdurrahman Wahid, mantan Presiden RI yang ke-4 sudah lama saya
kenal melalui siaran televisi, koran-koran dan buku-buku yang memuat
pemikiran beliau. Namun yang paling berkesan bagi saya adalah saat kami
berdua pernah duduk bersama seharian penuh dari pukul 07.00 pagi hari
sampai 19.00 malam hari. Kebersamaan kami berlangsung di Riau, tepatnya
di kediaman Gubernur Riau, H. M. Rusli Zainal. Ketika itu Gubernur Riau
sendiri yang meminta saya untuk menemani Gusdur sebagai ‘pengganti’
tuan rumah, karena Gubernur Riau tidak dapat terus menerus menemani
Gusdur.
Jadilah pertemuan kami itu berlangsung aman, tanpa ada gangguan
sedikitpun. Saya masih ingat rombongan Gusdur saat itu lumayan ramai
juga, di antaranya adalah Muhaimin Iskandar (sekarang menjadi Menteri
Tenaga Kerja RI), dan saudara Lukman Edi (seorang anggota DPR RI).
Sepanjang hari itu, kami duduk bersebelahan dan berbicara panjang lebar
mulai dari masalah agama, masalah negara, masalah pemimpin-pemimpin
Indonesia.
Ketika membicarakan masalah agama kami terlibat dalam pembicaraan sangat
serius. Saat itu kami berkesempatan untuk membuktikan secara langsung
kata-kata orang yang banyak saya dengar, yang menyatakan bahwa Gusdur
menguasai banyak kitab-kitab klasik. Maka kami membuka dialog dengan
mencuplik kitab-kitab klasik yang pernah kami baca mulai dari karangan
Imam As Syafi’i, Imam Harmaini, Imam Al Ghazali, Imam Ibnu Katsir, dan
lain-lain. Apa yang terjadi…? Gusdur ternyata bukan hanya mahir
mengimbangi pembicaraan mengenai berbagai permasalahan yang kami
kemukakan, namun dengan mahir beliau malah membacakan matan-matan semua
persoalan tersebut dalam bahasa Arab yang asli, tepat seperti isi kitab
yang asli. Tidak dapat kami pungkiri bahwa saat itu hati kami bergetar,
kagum, heran, juga bahagia. Yakinlah kami bahwa Allah benar-benar Maha
Kuasa dan telah menciptakan hamba-hambaNya dengan berbagai kelebihan.
Subhanallah…
Ketika membahas kepemimpinan nasional, Gusdur dengan disertai
humor-humor kocak sana sini menjelaskan dan berdiskusi dengan kami
tentang banyak hal. Satu yang sangat kami catat kuat dalam ingatan kami
bahwa tidak pernah sekalipun terucap kata-kata jelek yang bersifat
mempersalahkan seorangpun dari pemimpin nasional kita. Ketika membahas
Pak Harto, nada ucapan beliau berubah menjadi sangat lembut dan serius.
Saat itu Gusdur berkata dan kami masih ingat benar, beliau berucap
begini: “Pak Harto sebagai seorang pemimpin nasional telah memberikan
contoh sebuah pekerjaan yang terencana dan terukur. Program beliau
direncanakan rapi dan diukur setelah waktu pelaksanaan berakhir.”
Kemudian beliau berdiam berapa saat. Kemudian beliau tertawa kecil
seraya berkata sambil tertawa: “laahha kalo saya, kerja kapan inget,
terus saya buat saja..”
Kesan saya saat itu muncul, sebagai orang Jawa asli, Gusdur terbiasa
dengan sikap dan adab orang Jawa, mikul nduwur yaitu menghormati orang
yang lebih tua. Beliau jujur dan humoris. Jujur dalam arti tidak
menyembunyikan kelemahan dirinya.
Pertemuan kami berjalan manis. Kami hanya berpisah beberapa menit saat
waktu sholat Dzuhur dan Ashar tiba, untuk kemudian duduk kembali di meja
yang sama. Ada beberapa keistimewaan Gusdur yang saya yakin muncul dari
indera keenam beliau. Ketika beliau bertanya kepada kami: “Sampeyan itu
kan orang Medan, kok kata Gubernur tadi, sampeyan orang Riau?” Kemudian
kami menjelaskan bahwa ibu kami adalah orang Riau dari Rokan Hilir,
Bagan Siapi-api. Namun kemudian beliau berkata: “Rumah sampeyan di
Klender, sampeyan buat pengajian malam senin di Klender, terus sampeyan
begini…sampeyan begitu..” yang kesemuanya tepat dan benar. Paling aneh
adalah saat kami katakan bahwa kami akan pulang pukul 17.00 dengan
pesawat Mandala, saat itu beliau berkata kepada saya dengan tegas:
“Ndak, sampeyan pulang dengan saya naek Garuda jam 7 (malam).”
Menanggapi ucapan itu kami diam saja sebab di tangan kami sudah ada
tiket Mandala pukul 5 sore rute Pekanbaru-Jakarta.
Ternyata pesawat Mandala delay sampai pukul 21.00, maka jadilah kami
bertukar pesawat naik Garuda Indonesia bersama dengan Gusdur. Ada satu
nasehat beliau kepada kami yang akan tetap kami ingat. “Negeri Riau
adalah negerinya orang-orang Naqsyabandi. Dan dari sini telah muncul
seorang wali besar Syaikh Abdul Wahab Rokan. Sampeyan musti jaga negeri
ini, jangan dibiarkan begitu saja apalagi ibunya sampeyan orang asli
negeri ini.” Saat itu beliau pegang tangan saya dan saya pun menjawab
dengan rasa haru: “Iya Gus, saya pasti akan menjaga negeri saya ini.”
Sekarang Gusdur telah berpulang bertemu dengan Sang Pencipta Yang Maha
Tinggi. Setelah sebelumnya memandang dengan bashirah beliau kedatangan
sang kakek tercinta, Ulama Besar pendiri NU untuk mendampingi beliau di
alam barzakh. Kami berdoa semoga beliau nyaman berdekatan dengan Kakek
dan Bapak beliau di tanah Jombang, Pesantren keluarga besar Syaikh
Asy’ari.
Selamat jalan Gusdur…Nasehat panjenengan senantiasa akan kami ingat
sebagai kenangan manis antara orangtua kepada anaknya. Assalamu’alaika…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar