Gus Dur memang telah lama terkena berbagai penyakit yang
disebabkan karena faktor usia termasuk juga penyakit gagal ginjal dan
bahkan stroke ringan yang pernah dideritanya. Akan tetapi hal itu sama
sekali tidak mengurangi kecenderungan beliau untuk melakukan
silaturrrahmi. Bahkan menjelang wafatnya, beliau masih menyempatkan
silaturrahmi kepada sahabat dekatnya, Kyai Musthofa Bisri atau Gus Mus
di Rembang, Jawa Tengah.
Tradisi silaturrahmi memang bagian dari
kebiasaan di kalangan umat Islam. Tentu saja terdapat pattern for
behaviour yang dijadikan sebagai patokan seorang muslim melakukan
tradisi silaturrahmi ini. Ada hadits Nabi yang menyatakan: “man kana
yu’minu billahi wa al yaum al akhiri, fal yashil rahimah” yang artinya
kurang lebih: “barang siapa percaya kepada Allah dan Rasulnya, maka
hendaklah menyambung tali silaturrahmi”. Dengan demikian, melaksanakan
silaturrahmi adalah bagian dari sunnah Nabi Muhammad saw. Dan siapapun
yang melakukannya, maka akan mendapatkan pahala dari Allah swt.
Di kalangan masyarakat Islam, maka
silaturrahmi sudah menjadi tradisi yang menyejarah. Menyambung tali
persahabatan melalui saling berkunjung kerumah masing-masing juga sudah
mentradisi. Seorang santri berkunjung ke kyainya, bahkan seorang kyai
berkunjung ke rumah santrinya. Seorang anak berkunjung ke rumah orang
tuanya atau sebaliknya orang tua berkunjung ke anaknya. Seorang kawan
saling berkunjung. Di dalam memformulasikan silaurrahmi tersebut, maka
di dalam tradisi Indonesia, kemudian juga dikenal istilah “Riyoyo,
Riyayan, Riyoyoan atau Lebaran” yang juga menjadi ajang bagi
silaturrahmi di antara masyarakat Islam. Acara ini dilaksanakan sesudah
hari raya Idul Fithri, sebagai bagian dari tradisi khas Indonesia.
Bahkan juga tradisi saling berkunjung di antara mereka yang berbeda
pemahaman keagamaan, bahkan beda agama atau etnis.
Ada sebuah cerita tentang silaturrahmi
yang dilakukan oleh sesama kyai besar, Kyai Hasyim Asy’ari dengan Kyai
Ahmad Dahlan. Keduanya, adalah tokoh besar Islam Indonesia. Kyai Hasyim
Asy’ari adalah pendiri NU dan Kyai Ahmad Dahlan adalah pendiri
Muhammadiyah. Keduanya memiliki perbedaan dalam organisasi keagamaan dan
juga faham keagamaannya. Maka, jika Kyai Hasyim Asy’ari silaturrahmi ke
Kyai Ahmad Dahlan, maka di masjid Muhammadiyah dipasang beduk sebagai
penanda memasuki waktu shalat, dan ketika Kyai Ahmad Dahlan bertamu ke
rumah Kyai Hasyim Asy’ari, maka beduk di masjidnya diturunkan atau tidak
dipasang. Begitulah, kyai-kyai kita dahulu saling memahami perbedaan
dalam merajut tali silaturrahmi.
Menurut penuturan Ahmad Thohari bahwa Gus Dur juga pernah silaturrahmi ke rumahnya. Dan
kemudian Gus Dur menginap di rumahnya. Menariknya, Gus Dur tidak tidur
di kasur yang tentu sudah disediakan untuknya, akan tetapi di hari
pertama tidur di kursi kayu berbantal kayu dan di hari kedua tidur di
karpet dengan berbantal kayu. Dan hal itu terjadi di tahun 1995.
Artinya, Gus Dur saat itu sudah menjadi tokoh nasional. Saat itu Gus Dur
telah menjadi bagian dari tokoh nasional yang sangat disegani pemikiran
dan aksi sosialnya. Masih dalam penuturan Ahmad Thohari, sementara
isterinya tidak bisa tidur karena Gus Dur tidur di karpet, akan tetapi
Gus Dur justru menikmati tidurnya.
Gus Dur juga tidak hanya menyukai
silaturrahmi, akan tetapi juga sangat menyukai ziarah kubur. Hampir
setiap kunjungan beliau di daerah maka dipastikan beliau akan mampir
ziarah kepada salah seorang yang dikeramatkan ketika hidupnya dan
dimakamkan di daerah yang dikunjunginya. Kebiasan Gus Dur untuk ziarah
makam ini yang menyebabkan adanya tuduhan miring kepadanya, bahwa Gus
Dur “memuja” kuburan.
Tentang kebiasaannya untuk ziarah kubur
tentu bukan hanya kabar burung. Ketika beliau dalam keadaan sakitpun
masih menyempatkan untuk berziarah ke makam keluarganya. Ketika beliau
dalam keadaan sakit dan pada waktu itu akan dibawa ke Surabaya, maka di
dalam perjalanan di daerah Mojokerto, tiba-tiba beliau meminta kembali
ke Jombang hanya karena akan ziarah ke makam ibunya. Maka, semua
rombongan pun kembali ke Jombang dan akhirnya kembali berangkat ke
Surabaya untuk tujuan ke Rumah Sakit Dr. Sutomo. Maka, seluruh dokter
terbaik pun disiapkan untuk mengobati Gus Dur. Akan tetapi beliau tidak
mau ke Rumah Sakit Dr. Sutomo dan justru meminta ke Hotel Shangrila.
Baru pagi harinya, beliau diberangkatkan ke Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo, hingga beliau meninggal di situ.
Saya terkadang juga sulit memahami jalan
pikiran Gus Dur, sama seperti orang lain. Dalam cerita tentang
keinginan beliau berziarah ke makam Ibunya ketika beliau sedang dalam
separoh perjalanan ke rumah sakit di Surabaya tentu tidak masuk akal.
Tetapi itulah Gus Dur. Beliau memiliki cara pandang sendiri. Beliau hampir
tidak perduli dengan dirinya untuk keinginan yang menurutnya sangat
baik. Bisa dibayangkan, bagaimana di dalam keadaan sakit beliau masih
ingat akan ziarah kubur dan silaturrahmi. Inilah sisi keunikan Gus Dur.
Dan barangkali tidak semua di antara kita bisa melakukannya.
Wallahu a’lam bi al shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar