Masalah khilafiah merupakan
persoalan yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia. Di antara
masalah khilafiah tersebut ada yang menyelesaikannya dengan cara yang
sederhana dan mudah, karena ada saling pengertian berdasarkan akal
sehat. Tetapi dibalik itu masalah khilafiah dapat menjadi ganjalan untuk
menjalin keharmonisan di kalangan umat Islam karena sikap ta’asub
(fanatik) yang berlebihan, tidak berdasarkan pertimbangan akal sehat dan
sebagainya.
Perbedaan pendapat dalam
lapangan hukum sebagai hasil penelitian (ijtihad), tidak perlu dipandang
sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum Islam, bahkan sebaliknya
bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak sebagaimana yang
diharapkan Nabi :
اختلاف امتى رحمة (رواه البيهقى فى الرسالة الاشعرية)
“Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat” (HR. Baihaqi dalam Risalah al-Asy’ariyyah).
Hal ini berarti, bahwa orang
bebas memilih salah satu pendapat dari pendapat yang banyak itu, dan
tidak terpaku hanya kepada satu pendapat saja.
Sebenarnya ikhtilaf telah ada di
masa sahabat, hal ini terjadi antara lain karena perbedaan pemahaman di
antara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada mereka,
selain itu juga karena pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak sama
dan juga karena perbedaan pandangan tentang dasar penetapan hukum dan
berlainan tempat.[1] Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam
telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang
telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke negara yang baru tersebut.
Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah
memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan.
Sampai saat ini Fiqih ikhtilaf
terus berlangsung, mereka tetap berselisih paham dalam masalah
furu’iyyah, sebagai akibat dari keanekaragaman sumber dan aliran dalam
memahami nash dan mengistinbatkan hukum yang tidak ada nashnya.
Perselisihan itu terjadi antara pihak yang memperluas dan mempersempit,
antara yang memperketat dan yang memperlonggar, antara yang cenderung
rasional dan yang cenderung berpegang pada zahir nash, antara yang
mewajibkan mazhab dan yang melarangnya.
Ikhtilaf bukan hanya terjadi
para arena fiqih, tetapi juga terjadi pada lapangan teologi. Seperti
kita ketahui dari sejarah bahwa peristiwa “tahkim” adalah titik awal
lahirnya mazhab-mazhab teologi dalam Islam. Masing-masing mazhab teologi
tersebut masing-masing memiliki corak dan kecenderungan yang
berbeda-beda seperti dalam mazhab-mazhab fiqih. Menurut Harun
Nasution,[2] aliran-aliran teologi dalam Islam ada yang bercorak
liberal, ada yang tradisional dan ada pula yang bercorak antara liberal
dan tradisional.
Perbedaan pendapat pada aspek
teologi ini juga memiliki implikasi yang besar bagi perkembangan
pemahaman umat Islam terhadap ajaran Islam itu sendiri.
Menurut hemat saya, perbedaan
pendapat di kalangan umat ini, sampai kapan pun dan di tempat mana pun
akan terus berlangsung dan hal ini menunjukkan kedinamisan umat Islam,
karena pola pikir manusia terus berkembang.
Perbedaan pendapat inilah yang
kemudian melahirkan mazhab-mazhab Islam yang masih menjadi pegangan
orang sampai sekarang. Masing-masing mazhab tersebut memiliki
pokok-pokok pegangan yang berbeda yang akhirnya melahirkan pandangan dan
pendapat yang berbeda pula.
Pengertian Mazhab
Menurut Bahasa “mazhab” berasal
dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang
menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhi “dzahaba” yang berarti
“pergi”[3]. Sementara bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya
“pendapat”[4].
Sedangkan secara terminologis
pengertian mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh
imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum
Islam. Selanjutnya Imam Mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya
menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid
tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum
Islam.
Jadi bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud mazhab meliputi dua pengertian
- Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada al-Qur’an dan hadis.
- Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari al-Qur’an dan hadis.
masa’ umat lain sudah sibuk mempersenjatai diri dengan Nuklir, kita masih disibukkan dengan hal-hal Khilafiyah istilahnya " orang sudah sampe bulan kita masih meributkan Jatuhnya bulan".
saya sendiri sangat menghindari perdebatan masalah Khilafiyah, karena biasanya takkan berujung dan akan menjadikannya debat kusir yang nggak berfaedah. Bila di sebuah masjid melakukan qunut di sholat subuh ya saya ikutan, bila nggak qunut ya ikutan nggak qunut . . . gak usah dibuat susah. Bila ditanya mana Yang benar sholat tarawih 11 Rakaat atau 23 rakaat? saya jawab keduanya benar karena punya penjelasan hadis masing-masing . . . Lalu siapa yang paling benar. . ya dua-duanya benar .. . yang gak benar yaaa . . . yang Nggak Sholat tarawih . . . gak usah dibuat sulit, Gitu aja kok repot..he he . sekedar mengingatkan bagaimana bila kita lebih membuka hati kita terhadap perbedaan khilafiyah ini, jangan sampai masalah kecil dibuat besar sehingga memutus tali silaturahim , Meributkan khilafiyah tidak wajib tapi menjaga silaturrahmi dan keutuhan agama islam adalah wajib jangan sampai kita seperti buih di lautan, banyak tapi mudah dipecah-belah.
ingatlah firman Allah Subhanallahu wa Ta’allah dalam surat Ali Imran 103, berbunyi:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, “
Hadits Nabi :
Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya seumpama bangunan saling mengokohkan satu dengan yang lain. (Kemudian Rasulullah Saw merapatkan jari-jari tangan beliau). (Mutafaq'alaih)
Contoh Sikap Teladan Ulama Dalam Masalah Khilafiyah
Selanjutnya berikut saya ingin berbagi tulisan kisah para ulama dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam masalah khilafiyah yang bijak dan patut kita contoh,mungkin diantara para pembaca belum mengetahuinya atau barangkali malah sudah pernah membacanya namun tidak ada salahnya kita simak lagi bareng-bareng kisah ini semoga bermanfaat bagi kita :
1. Sepenggal Kisah KH Abdullah Syafi'i dengan Buya Hamka
Suatu ketika di hari Jumat, KH. Abdullah Syafi'i mengunjungi sahabatnya Buya Hamka di masjid Al-Azhar Kebayoran Jakarta Selatan. masjid dimana menjadi tempat Buya Hamka melakukan aktifitas sehari-hari, Hari itu menurut jadwal seharusnya giliran Buya Hamka yang jadi khatib. Karena menghormati shahabatnya, maka Buya minta agar KH. Abdullah Syafi'i yang naik menjadi khatib Jumat.
Yang menarik, tiba-tiba adzan Jumat dikumandangkan dua kali, padahal biasanya hanya satu kali. Rupanya, Buya menghormati ulama betawi ini dan tahu bahwa adzan dua kali pada shalat Jumat itu adalah pendapat shahabatnya. Jadi bukan hanya mimbar Jumat yang diserahkan, bahkan adzan pun ditambah jadi dua kali, semata-mata karena ulama ini menghormati ulama lainnya.
Begitulah sikap kedua tokoh ulama besar negeri ini. Siapa yang tidak kenal Buya Hamka, dengan perguruan Al-Azhar dan tafsirnya yang fenomenal. Dan siapa tidak kenal KH Abdullah Syafi'i, pendiri dan pemimpin Perguruan Asy-Syafi'iyah, yang umumnya kiyai betawi hari ini adalah murid-murid beliau.
Bahkan satu lagi menurut penuturan putra Buya Hamka yakni Rusydi Hamka, ayahnya itu ketika mau mengimami shalat tarawih, menawarkan kepada jamaah, mau 23 rakaat atau mau 11 rakaat. Jamaah di masjid Al-Azhar kala itu memilih 23 rakaat, maka beliau pun mengimami shalat tarawih dengan 23 rakaat. Esoknya, jamaah minta 11 rakaat, maka beliau pun mengimami shalat dengan 11 rakaat.
Inilah tipologi ulama sejati yang ilmunya mendalam dan wawasannya luas. Tidak pernah meributkan urusan khilafiyah, sebab pada hakikatnya urusan khilafiyah lahir karena memang proses yang alami, di mana dalil dan nash yang ada menggiring kita ke arah sana. Bukan sekedar asal beda dan cari-cari perhatian orang. Karena itu harus disikapi dengan luas dan luwes.
2. Kisah Kebesaran Hati Seorang Kh Idham Cholid Dan Buya Hamka
Ada sebuah kisah yang patut kita teladani sebagai umat Islam dalam menjaga ukhuwah. Kisah yang terjadi antara pemimpin Nahdlatul Ulama, KH Idham Cholid, dan pemimpin Muhammadiyah, Buya Hamka, yang ketika itu sedang melakukkan perjalanan ke tanah suci. Saat sedang dalam perjalanan menuju tanah suci di dalam sebuah kapal laut, waktu melakukan sholat subuh berjamaah, para pengikut Nadhlatul Ulama heran saat KH Idham Cholid yang mempunyai kebiasaan menggunakan doa qunut dalam kesehariannya, malah tidak memakai doa qunut tatkala Buya hamka dan sebagian pengikut Muhammadiyah menjadi makmumnya.
Demikian pula sebaliknya, tatkala Buya Hamka mengimami shalat subuh, para pengikut Muhammadiyah merasa heran ketika Buya Hamka membaca doa qunut karena KH Idham Cholid dan sebagian pengikut NU menjadi makmumnya.
KH Idham Cholid adalah tokoh pemimpin NU yang mempunyai kebiasaan membaca doa qunut dalam shalat shubuh. Namun, saat ditunjuk menjadi imam shalat subuh, beliau tidak membacanya demi menghormati sahabatnya Buya Hamka dan para pengikutnya. Padahal, dalam tradisi NU membaca doa qunut dalam shalat subuh adalah sunah muakkad. Sungguh ini adalah tindakan yang begitu arif dan bijak. Begitu pun sifat kearifan ditunjukan oleh pemimpin Muhammadiyah, Buya Hamka, yang kesehariannya tidak membaca doa qunut justru membaca doa qunut saat mengimami shalat subuh dengan alasan yang sama. Mereka malah berpelukan mesra setelah shalat, saling menghormati, dan saling berkasih sayang.
Inilah para pemimpin yang sebenarnya yang begitu dalam dan luas keilmuan dan wawasannya. Meskipun terdapat perbedaan pendapat tetapi tetap bersatu dalam persaudaraan. Mereka lebih mengedapankan ukhuwah Islamiyyah ketimbang masalah khilafiah yang tidak akan ada ujungnya. Mereka tidak mengenal istilah saling mencela, mengejek, atau saling menuduh sesama muslim yang berbeda pandangan yang justru akan menimbulkan suatu fitnah.
3. Kisah Kebesaran Hati Seorang Imam Syafi’i Dan Imam Malik
Imam Syafi’i adalah seorang tokoh besar pendiri Mazhab Syafi’i. Beliau dikenal sangat cerdas. Ada yang mengatakan bahwa sejak usia 7 tahun sudah hafal al-Qur’an. Beliau bukan berasal dari keluarga yang berkelebihan. Namun berkat kecerdasannya itu, beliau bisa belajar pada seorang guru di Mekah tanpa mengeluar biaya sedikit pun.
Imam Malik juga tokoh besar pendiri Mazhab Maliki. Beliau berasal dari keluarga terhormat, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Kakeknya, Abu Amir termasuk keluarga pertama yang memeluk agama Islam dan juga menjadi ulama hadis terpandang di Madinah. Sejak Muda, Imam Malik menjadi orang yang cinta kepada ilmu. Beliau belajar ilmu hadis pada ayah dan paman-pamannya. Al-Muwatta’, kitab fikih yang berdasar dari kumpulan hadis-hadis pilihan, adalah kitab karangan beliau yang menjadi pegangan para santri sampai sekarang.
Imam Syafi’i dan Imam Malik bertemu di Madinah. Ceritanya, setelah berguru pada banyak ulama di Mekah, Imam Syafi’i ingin sekali melanjutkan pengembaraannya ke Madinah. Apalagi beliau mengetahui di Madinah ada Imam Malik, ulama yang termashur itu. Di hadapan Imam Malik, Imam Syafi’i mengucal al-Muwatta’, kitab yang sebelumnya sudah dihafalnya saat berada di Mekah. Imam Malik sangat kagum pada Imam Syafi’i dan begitulah hubungan antara kedua tokoh besar itu selanjutnya.
Dalam tradisi Mazhab Syafi’i, saat melaksanakan shalat Shubuh dibacakan doa Qunut. Berbeda dalam tradisi Mazhab Maliki, tak ada doa Qunut dalam salat subuh. Namun, perbedaan tradisi itu tak membuat hubungan keduanya retak. Mereka tetap menjadi guru dan murid yang saling menghormati pendapat masing-masing.
Suatu hari, Imam Syafi’i berkunjung dan menginap di rumah Imam Malik. Saling berkunjung dan menginap itu sudah menjadi kebiasaan antara keduanya. Imam Syafi’i diminta gurunya menjadi imam saat melaksanakan salat subuh. Karena ingin menghormati gurunya, Imam Syafi’i tak membaca doa Qunut dalam salat berjama’ah itu.
Begitu pun sebaliknya. Di lain hari, Imam Malik menginap di kediaman Imam Syafi’i. Saat Shubuh, mereka melaksanakan salat subuh berjama’ah, Imam Syafi’i meminta gurunya menjadi imam salat. Dengan alasan yang sama, Imam Malik pun membaca doa Qunut.
Begitulah para ulama mencontohkan sikap dalam masalah Khilafiyah mereka tidak menyesatkan,mengkafirkan amalan saudaranya tetapi justru saling menghormati dan menghargai
Tidak pernah meributkan urusan khilafiyah, sebab pada hakikatnya urusan khilafiyah lahir karena memang proses yang alami, di mana dalil dan nash yang ada menggiring kita ke arah sana. Bukan sekedar asal beda dan cari-cari perhatian orang. Karena itu harus disikapi dengan luas dan luwes. Sebaliknya, mereka yang suka meributkan masalah khilafiyah, biasanya merupakan sosok yang kerjanya memang sekedar cari-cari perbedaan, dan umumnya mereka memang suka sensasi.
Prinsip mereka, apapun yang bisa menarik perhatian orang, walau pun terkadang kepala mereka tidak ada isi apa-apa, alias blo-on. Apa yang keluar dari mulutnya hanya foto copy dan taqlid dari orang lain, bukan lahir dari keluasan ilmu, kefaqihan dan kealiman, apalagi dari kerendahan hatinya. Tapi sayangnya, sikap dan perilaku mereka, seolah mufti tertinggi.
Islam itu damai, Islam rahmatan lil 'alamin
semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar