DASAR AHLI BID'AH!!!...Eh BID'AH SESAT LU...DASAR KAFIR,, DASAR SYI'AH... Ups!!!...
Itulah kalimat2 yang sering kita dengar dari orang2 yang merasa ajarannya paling benar, merasa ajarannya benar boleh2 saja, krn apalah artinya menjalani ibadah tanpa keyakinan, tapi bukan berarti orang yang berbeda faham lantas di katakan KAFIR, AHLI BID'AH dst.
Baiklah lalu apakah bid'ah itu
Bid’ah dalam pengertian bahasa adalah:
مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ
“Sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”.
Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:
اَلإِبْدَاعُ إِنْشَاءُ صَنْعَةٍ بِلاَ احْتِذَاءٍ وَاقْتِدَاءٍ. وَإِذَا
اسْتُعْمِلَ فِيْ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ إِيْجَادُ الشَّىْءِ بِغَيْرِ
ءَالَةٍ وَلاَ مآدَّةٍ وَلاَ زَمَانٍ وَلاَ مَكَانٍ، وَلَيْسَ ذلِكَ إِلاَّ
للهِ. وَالْبَدِيْعُ يُقَالُ لِلْمُبْدِعِ نَحْوُ قَوْلِهِ: (بَدِيْعُ
السّمَاوَاتِ وَالأرْض) البقرة:117، وَيُقَالُ لِلْمُبْدَعِ –بِفَتْحِ
الدَّالِ- نَحْوُ رَكْوَةٍ بَدِيْعٍ. وَكَذلِكَ الْبِدْعُ يُقَالُ لَهُمَا
جَمِيْعًا، بِمَعْنَى الْفَاعِلِ وَالْمَفْعُوْلِ. وَقَوْلُهُ تَعَالَى:
(قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُل) الأحقاف: 9، قِيْلَ مَعْنَاهُ:
مُبْدَعًا لَمْ يَتَقَدَّمْنِيْ رَسُوْلٌ، وَقِيْلَ: مُبْدِعًا فِيْمَا
أَقُوْلُهُ.اهـ
“Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya.
Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya adalah
penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan
tanpa tempat.
Kata Ibda’ dalam makna ini hanya berlaku bagi Allah saja.
Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis sesuatu yang baru).
Seperti dalam firman (Badi’ as-Samawat Wa al-Ardl), artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi…”.
Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis).
Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”.
Demikian juga kata al-Bid'u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’,
artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul (obyek).
Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9 (Qul Ma Kuntu Bid’an Min ar-Rusul),
menurut satu pendapat maknanya adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku
bukan Rasul pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku”
(artinya penggunaan dalam makna Maf’ul)”,
menurut pendapat lain
makna ayat tersebut adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang
yang pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan” (artinya penggunaan
dalam makna Fa’il)”
(Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 36).
Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah:
اَلْمُحْدَثُ الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ.
“Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis,
baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits”. (Sharih al-Bayan, j. 1, h.
278)
Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:
لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ
وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا
يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى
الضَّلاَلَةِ.
“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak
pasti tercela hanya karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats,
atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah
perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah
perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”.
Macam-Macam Bid’ah
Bid’ah terbagi menjadi dua bagian:
Pertama:
Bid’ah Dlalalah.
Disebut pula dengan Bid’ah Sayyi-ah atau Sunnah Sayyi-ah.
Yaitu perkara baru yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah.
Kedua: Bid’ah Huda
disebut juga dengan Bid’ah Hasanah atau Sunnah Hasanah.
Yaitu perkara baru yang sesuai dan sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Imam asy-Syafi’i berkata :
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ
ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ،
فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ
الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ
غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ)
“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara
baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar
(sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara
mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang
sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi
al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini
tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih
dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).
Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ
مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا
خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.
“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah
yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah
adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah
tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)
Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para
ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para
ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu.
Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti
al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab
al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di
antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar,
al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari
kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi,
az-Zabidi dan lainnya.
Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua:
1.Bid’ah Mahmudah (bid’ah terpuji)
2.Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela).
Pembagian bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami dari hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)
“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baru dalam syari’at ini yang
tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dapat dipahami dari sabda Rasulullah: “Ma Laisa Minhu”, artinya “Yang
tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang
bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak
bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.
Bid’ah dilihat dari segi wilayahnya terbagi menjadi dua bagian; Bid’ah
dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) dan bid’ah dalam cabang-cabang
agama, yaitu bid’ah dalam Furu’, atau dapat kita sebut Bid’ah
‘Amaliyyah. Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) adalah
perkara-perkara baru dalam masalah akidah yang menyalahi akidah
Rasulullah dan para sahabatnya.
Menurut al-Imam Abu Muhammad Izzudin bin Abdissalam,
bid’ah adalah:
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah di kenal(terjadi) pada masa Rasulullah SAW”.
(qawa’id al- Ahkam fi mashalih al-Anam, juz 11, hal 172)
Sebagian besar ulama membagi Bid’ah menjadi lima macam:
1) Bid’ah Wajibah, yakni bid’ah yang dilakukan untuk mewujudkan
hal-hal yang diwajibkan oleh syara’. Seperti mempelajari ilmu Nahwu,
Sharaf, Balaghah dan lain-lain.Sebab, hanya dengan ilmu-ilmu inilah
seseorang dapat memahami al-Qur’an dan hadist Nabi Muhammad SAW secara
sempurna.
2) Bid’ahn Muharramah,
Yakni bid’ah yang bertentangan dengan syara’. Seperti madzhab Jabariyyaah dan Murji’ah.
3) Bid’ah Mandubah,
yakni segala sesuatu yang baik, tapi tak pernah dilakukan pada masa
Rasulullah SAW. Misalnya, shalat tarawih secara berjamaah, mendirikan
madrasah dan pesantren.
4) Bid’ah Makruhah,
seperti menghiasi masjid dengan hiasan yang berlebihan.
5) Bid’ah Mubahah,
seperti berjabatan tangan setelah shalat dan makan makanan yang lezat.
(Qawa’id al-Ahkam Fi Mashalih al-Anam, Juz, 1 hal, 173)
Maka tidak heran jika sejak dahulu para ulama telah membagi bid’ah menjadi dua bagian besar.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Syafi’I RA yang dikutip dalam kitab Fath al-Bari:
“Sesuatu yang diada – adakan itu ada dua macam. (Pertama), sesuatu yang
baru itu menyalahi al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Atsar sahabat atau
Ijma’ulama. Ini disebut dengan bid’ah dhalal (sesat). Dan (kedua, jika)
sesuatu yang baru tersebut termasuk kebajikan yang tidak menyalahi
sedikitpun dari hal itu (al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijma’). Maka perbuatan
tersebut tergolong perbuatan baru yang tidak dicela”. (Fath al-Bari,
juz XVII, hal 10)
Syaikh Nabil Husaini menjelaskan sebagai berikut:
“Para ahli ilmu telah membahas persoalan ini kemudian membaginya
menjadi dua bagian. Yakni bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah. Yang
dimaksud dengan bid’ah hasanah adalah perbuatan yang sesuai kepada kitab
Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW. Keberadaan bid’ah hasanah ini
masuk dalam bingkai sabda nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,
“Siapa saja yang membuat sunnah yang baik (Sunnah hasanah) dalam agama
Islam, maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatan tersebut serta
pahala dari orang-orang mengamalkannya setelah itu, tanpa mengurangi
sedikitpun pahala mereka. Dan barang siapa yang merintis sunnah jelek
(sunnah sayyiah), maka ia akan mendapatkan dosa dari perbuatan itu dan
dosa-dosa yang setelahnya yang meniru perbuatan tersebut, tanpa
sedikitpun mengurangi dosa-dosa mereka”.
Dan juga berdasarkan
Hadist Shahih yang mauquf, yakni ucapan Abdullah bin Mas’ud RA ,”Setiap
sesuatu yang dianggap baik oleh semua muslim, maka perbuatan tersebut
baik menurut Allah SWT, dan semua perkara yang dianggap buruk
orang-orang Islam, maka menurut Allah SWT perbuatan itu juga buruk”.
Hadist ini dishahihkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam al-Amah”
(al-Bid’ah al-Hasanah, wa Ashluha min al-Kitab wa al-Sunnah, 28)
Dari uraian diatas maka secara umum bid’ah terbagi menjadi dua.
Pertama, bid’ah hasanah,
yakni bid’ah yang tidak dilarang dalam agama karena mengandung unsur
yang baik dan tidak bertentangan dengan ajaran agama. Masuk dalam
kategori ini adalah bid’ah wajibah, mandubah, dan mubahah. Dalam konteks
inilah perkataan sayyidina Umar bin Khattab RA tentang jama’ah shalat
tarawih yang beliau laksanakan:
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini (yakni shalat tarawih dengan berjama’ah)”. (Al-Muaththa’ [231] )
Contoh, bid’ah hasanah
adalah khutbah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, membuka
suatu acara dengan membaca basmalah di bawah seorang komando, memberi
nama pengajian dengan istilah kuah(dhliah shubuh, pengajian ahad atau
titian senja, menambah bacaan subhanahu wa ta’ala (yang diringkas
menjadi SWT) setiap ada kalimat Allah, dan subhanahu alaihi wasallam
(yang diringkas SAW) setiap ada kata Muhammad. Serta perbuatan lainnya
yang belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW, namun tidak bertentangan
dengan inti ajaran agam,a Islam.
Kedua, bid’ah sayy’ah(dhalalah),
yakni bid’ah yang mengandung unsur negatif dan dapat merusak ajaran dan
norma agama Islam. Bid’ah muharramah dan makruhah dapat digolongkan
pada bagian yang kedua ini. Inilah yang dimaksud oleh sabda Nabi
Muhammad SAW:
“Dari ‘A’isyah RA, ia berkata, “Sesungguhnya
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang melakukan suatu yang tiada
perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak”. (Shahid Muslim, [243])
Dengan adanya pembagian ini, dapat disimpulakan bahwa tidak semua
bid’ah itu dilarang dalam agama. Sebab yang tidak diperkenankan adalah
perbuatan yang dikawatirkan akan menghancurkan sendi – sendi agama
Islam. Sedangkan amaliyah yang akan menambah syi’ar dan daya tarik agama
Islam tidak dilarang. Bahkan untuk saat ini, sudah waktunya umat Islam
lebih kreatif untuk menjawab berbagai persoalan dan tantangan zaman yang
makin kompleks, sehingga agama Islam akan selalu relevan di setiap
waktu dan tempat (Shalih li kuli zaman wa makan).
BERSAMBUNG: dalil2 bid'ah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar