Senin, 24 Juni 2013

Mengapa Rasulullah melarang minum sambil berdiri?

Dahulu, orang-orang selalu makan dalam keadaan duduk untuk menghargai berkah yang diberikan sang pencipta. Namun kini, makan sambil berdiri bahkan berjalan sudah jadi hal yang lumrah. Secara ilmiah, makan sambil duduk dan tetap pada satu tempat membuat otak tidak akan memikirkan makanan lain selain yang ada di hadapannya saat itu. Hal itu karena tubuh akan memberikan sinyal pada otak untuk tidak perlu mencicipi makanan lainnya dan fokus pada satu makanan ketika sedang duduk, dan hal itu membuat Anda lebih sedikit memasukkan kalori dalam tubuh.

Mengapa Rasulullah melarang ummatnya minum berdiri. Dalam hadist disebutkan “janganlah kamu minum sambil berdiri” Ini dibuktikan dari segi kesehatan. Air yang masuk dengan cara duduk akan disaring oleh sfringer. Sfringer adalah suatu struktur maskuler (berotot) yang bisa membuka (sehingga air kemih bisa lewat) dan menutup. Setiap air yang kita minum akan disalurkan pada ‘pos-pos’ penyaringan yang berada di ginjal. Nah. Jika kita minum berdiri. Air yang kita minum tanpa disaring lagi. Langsung menuju kandung kemih. Ketika langsung menuju kandung kemih, maka terjadi pengendapan disaluran ureter.

Karena banyak limbah-limbah yang menyisa di ureter. Inilah yang bisa menyebabkan penyakit kristal ginjal. Salah satu penya kit ginjal yang berbahaya. Susah kencing itu penyebabnya.



Dari Anas r.a. dari Nabi saw.: “Bahwa ia melarang seseorang untuk minum sambil berdiri. Qatadah berkata, “Kemudian kami bertanya kepada Anas tentang makan. Ia menjawab bahwa itu lebih buruk.”

Pada saat duduk, apa yang diminum atau dimakan oleh seseorang akan berjalan pada dinding usus dengan perlahan dan lembut. Adapun minum sambil berdiri, maka ia akan menyebabkan jatuhnya cairan dengan keras ke dasar usus, menabraknya dengan keras, jika hal ini terjadi berulang-ulang dalam waktu lama maka akan menyebabkan melar dan jatuhnya usus, yang kemudian menyebabkan disfungsi pencernaan.

Adapun rasulullah saw pernah sekali minum sambil berdiri, maka itu dikarenakan ada sesuatu yang menghalangi beliau untuk duduk, seperti penuh sesaknya manusia pada tempat-tempat suci, bukan merupakan kebiasaan. Ingat hanya sekali karena darurat! Manusia pada saat berdiri, ia dalam keadaan tegang, organ keseimbangan dalam pusat saraf sedang bekerja keras, supaya mampu mempertahankan semua otot pada tubuhnya, sehingga bisa berdiri stabil dan dengan sempurna.

Ini merupakan kerja yang sangat teliti yang melibatkan semua susunan syaraf dan otot secara bersamaan, yang menjadikan manusia tidak bisa mencapai ketenangan yang merupakan syarat terpenting pada saat makan dan minum. Ketenangan ini bisa dihasilkan pada saat duduk, di mana syaraf berada dalam keadaan tenang dan tidak tegang, sehingga sistem pencernaan dalam keadaan siap untuk menerima makanan dan minum dengan cara cepat. Makanan dan minuman yang disantap pada saat berdiri, bisa berdampak pada refleksi saraf yang dilakukan oleh reaksi saraf kelana (saraf otak kesepuluh) yang banyak tersebar pada lapisan endotel yang mengelilingi usus.

Refleksi ini apabila terjadi secara keras dan tiba-tiba, bisa menyebabkan tidak berfungsinya saraf (vagal inhibition) yang parah, untuk menghantarkan detak mematikan bagi jantung, sehingga menyebabkan pingsan atau mati mendadak. Begitu pula makan dan minum berdiri secara terus-menerus terbilang membahayakan dinding usus dan memungkinkan terjadinya luka pada lambung.

Para dokter melihat bahwa luka pada lambung 95% terjadi pada tempat-tempat yang biasa berbenturan dengan makanan atau minuman yang masuk. Sebagaimana kondisi keseimbangan pada saat berdiri disertai pengerutan otot pada tenggorokkan yang menghalangi jalannya makanan ke usus secara mudah, dan terkadang menyebabkan rasa sakit yang sangat yang mengganggu fungsi pencernaan, dan seseorang bisa kehilangan rasa nyaman saat makan dan minum. Dari segi kesehatan.



Air yang masuk dengan cara duduk akan disaring oleh sfringter. Sfringter adalah suatu struktur maskuler (berotot) yang bisa membuka (sehingga air kemih bisa lewat) dan menutup. Setiap air yang kita minum akan disalurkan pada pos-pos penyaringan yang berada di ginjal. Nah. Jika kita minum berdiri.

Air yang kita minum tanpa disaring lagi. Langsung menuju kandung kemih. Ketika langsung menuju kandung kemih, maka terjadi pengendapan disalurkan ureter. Karena banyak limbah-limbah yang menyisa di ureter. Inilah yang bisa menyebabkan penyakit kristal ginjal. Salah satu penyakit ginjal yang berbahaya. Susah kencing itu penyebabnya. Diriwayatkan ketika Rasulullah s.a.w.

dirumah Aisyah r.a. sedang makan daging yang dikeringkan diatas talam sambil duduk bertekuk lutut, tiba-tiba masuk seorang perempuan yang keji mulut melihat Rasulullah s.a.w. duduk sedemikian itu lalu berkata: “Lihatlah orang itu duduk seperti budak.” Maka dijawab oleh Rasulullah s.a.w.: “Saya seorang hamba, maka duduk seperti duduk budak dan makan seperti makan budak.” Lalu Rasulullah s.a.w. mempersilakan wanita itu untuk makan. Adapun duduk bertelekan (bersandar kepada sesuatu) telah dilarang oleh Rasulullah sebagaimana sabdanya, “Sesungguhnya Aku tidak makan secara bertelekan” (HR Bukhar).

HARI GINI MASIH MERIBUTKAN KHILAFIYAH



Masalah khilafiah merupakan persoalan yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia. Di antara masalah khilafiah tersebut ada yang menyelesaikannya dengan cara yang sederhana dan mudah, karena ada saling pengertian berdasarkan akal sehat. Tetapi dibalik itu masalah khilafiah dapat menjadi ganjalan untuk menjalin keharmonisan di kalangan umat Islam karena sikap ta’asub (fanatik) yang berlebihan, tidak berdasarkan pertimbangan akal sehat dan sebagainya.

Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian (ijtihad), tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum Islam, bahkan sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak sebagaimana yang diharapkan Nabi :

اختلاف امتى رحمة (رواه البيهقى فى الرسالة الاشعرية)

“Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat” (HR. Baihaqi dalam Risalah al-Asy’ariyyah).

Hal ini berarti, bahwa orang bebas memilih salah satu pendapat dari pendapat yang banyak itu, dan tidak terpaku hanya kepada satu pendapat saja.

Sebenarnya ikhtilaf telah ada di masa sahabat, hal ini terjadi antara lain karena perbedaan pemahaman di antara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada mereka, selain itu juga karena pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak sama dan juga karena perbedaan pandangan tentang dasar penetapan hukum dan berlainan tempat.[1] Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke negara yang baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan.

Sampai saat ini Fiqih ikhtilaf terus berlangsung, mereka tetap berselisih paham dalam masalah furu’iyyah, sebagai akibat dari keanekaragaman sumber dan aliran dalam memahami nash dan mengistinbatkan hukum yang tidak ada nashnya. Perselisihan itu terjadi antara pihak yang memperluas dan mempersempit, antara yang memperketat dan yang memperlonggar, antara yang cenderung rasional dan yang cenderung berpegang pada zahir nash, antara yang mewajibkan mazhab dan yang melarangnya.

Ikhtilaf bukan hanya terjadi para arena fiqih, tetapi juga terjadi pada lapangan teologi. Seperti kita ketahui dari sejarah bahwa peristiwa “tahkim” adalah titik awal lahirnya mazhab-mazhab teologi dalam Islam. Masing-masing mazhab teologi tersebut masing-masing memiliki corak dan kecenderungan yang berbeda-beda seperti dalam mazhab-mazhab fiqih. Menurut Harun Nasution,[2] aliran-aliran teologi dalam Islam ada yang bercorak liberal, ada yang tradisional dan ada pula yang bercorak antara liberal dan tradisional.

Perbedaan pendapat pada aspek teologi ini juga memiliki implikasi yang besar bagi perkembangan pemahaman umat Islam terhadap ajaran Islam itu sendiri.

Menurut hemat saya, perbedaan pendapat di kalangan umat ini, sampai kapan pun dan di tempat mana pun akan terus berlangsung dan hal ini menunjukkan kedinamisan umat Islam, karena pola pikir manusia terus berkembang.

Perbedaan pendapat inilah yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab Islam yang masih menjadi pegangan orang sampai sekarang. Masing-masing mazhab tersebut memiliki pokok-pokok pegangan yang berbeda yang akhirnya melahirkan pandangan dan pendapat yang berbeda pula.

Pengertian Mazhab
Menurut Bahasa “mazhab” berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhi “dzahaba” yang berarti “pergi”[3]. Sementara bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya “pendapat”[4].

Sedangkan secara terminologis pengertian mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum Islam. Selanjutnya Imam Mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam.

Jadi bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud mazhab meliputi dua pengertian
  • Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada al-Qur’an dan hadis.
  • Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari al-Qur’an dan hadis.
Terus terang, kadang saya merasa malu terhadap agama lain karna banyak di antara kita yang bermusuhan mempersoalkan mengenai Qunut dan tidak Qunut dalam sholat subuh, jumlah rakaan shalat Tarawih 11 rakaat atau 23 Rakaat, Duduk tahiyat akhir dengan menggerakkan telunjuk atau tidak, kontra opini menentukan jatuhnya 1 Ramadhan, 1 syawal dll.
masa’ umat  lain sudah sibuk mempersenjatai diri dengan Nuklir, kita masih disibukkan dengan hal-hal Khilafiyah istilahnya " orang sudah sampe bulan kita masih meributkan Jatuhnya bulan".
 
saya sendiri sangat menghindari perdebatan masalah Khilafiyah, karena biasanya takkan berujung dan akan menjadikannya debat kusir yang nggak berfaedah. Bila di sebuah masjid melakukan qunut di sholat subuh ya saya ikutan, bila nggak qunut ya ikutan nggak qunut . . .  gak usah dibuat susah. Bila ditanya mana Yang benar sholat tarawih 11 Rakaat atau 23 rakaat? saya jawab keduanya benar karena punya penjelasan hadis masing-masing . . . Lalu siapa yang paling benar. . ya dua-duanya benar  ..  . yang gak benar yaaa . . . yang Nggak Sholat tarawih . . .  gak usah dibuat sulit, Gitu aja kok repot..he he . sekedar mengingatkan bagaimana bila kita lebih membuka hati kita terhadap perbedaan khilafiyah ini, jangan sampai masalah kecil dibuat besar sehingga memutus tali silaturahim , Meributkan khilafiyah tidak wajib tapi menjaga silaturrahmi dan  keutuhan agama islam adalah wajib  jangan sampai kita seperti buih di lautan, banyak tapi mudah dipecah-belah.
ingatlah firman Allah Subhanallahu wa Ta’allah dalam surat Ali Imran 103, berbunyi:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, “

 Hadits Nabi :
 Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya seumpama bangunan saling mengokohkan satu dengan yang lain. (Kemudian Rasulullah Saw merapatkan jari-jari tangan beliau). (Mutafaq'alaih)


Contoh Sikap Teladan Ulama Dalam Masalah Khilafiyah


Selanjutnya berikut saya ingin berbagi tulisan kisah para ulama dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam masalah khilafiyah yang bijak dan patut kita contoh,mungkin diantara para pembaca belum mengetahuinya atau barangkali malah sudah pernah membacanya namun tidak ada salahnya kita simak lagi bareng-bareng kisah ini semoga bermanfaat bagi kita :

1. Sepenggal Kisah KH Abdullah Syafi'i dengan Buya Hamka

Suatu ketika di hari Jumat, KH. Abdullah Syafi'i mengunjungi sahabatnya Buya Hamka di masjid Al-Azhar Kebayoran Jakarta Selatan. masjid dimana menjadi tempat Buya Hamka melakukan aktifitas sehari-hari, Hari itu menurut jadwal seharusnya giliran Buya Hamka yang jadi khatib. Karena menghormati shahabatnya, maka Buya minta agar KH. Abdullah Syafi'i yang naik menjadi khatib Jumat.

Yang menarik, tiba-tiba adzan Jumat dikumandangkan dua kali, padahal biasanya hanya satu kali. Rupanya, Buya menghormati ulama betawi ini dan tahu bahwa adzan dua kali pada shalat Jumat itu adalah pendapat shahabatnya. Jadi bukan hanya mimbar Jumat yang diserahkan, bahkan adzan pun ditambah jadi dua kali, semata-mata karena ulama ini menghormati ulama lainnya.

Begitulah sikap kedua tokoh ulama besar negeri ini. Siapa yang tidak kenal Buya Hamka, dengan perguruan Al-Azhar dan tafsirnya yang fenomenal. Dan siapa tidak kenal KH Abdullah Syafi'i, pendiri dan pemimpin Perguruan Asy-Syafi'iyah, yang umumnya kiyai betawi hari ini adalah murid-murid beliau.

Bahkan satu lagi menurut penuturan putra Buya Hamka yakni Rusydi Hamka, ayahnya itu ketika mau mengimami shalat tarawih, menawarkan kepada jamaah, mau 23 rakaat atau mau 11 rakaat. Jamaah di masjid Al-Azhar kala itu memilih 23 rakaat, maka beliau pun mengimami shalat tarawih dengan 23 rakaat. Esoknya, jamaah minta 11 rakaat, maka beliau pun mengimami shalat dengan 11 rakaat.

Inilah tipologi ulama sejati yang ilmunya mendalam dan wawasannya luas. Tidak pernah meributkan urusan khilafiyah, sebab pada hakikatnya urusan khilafiyah lahir karena memang proses yang alami, di mana dalil dan nash yang ada menggiring kita ke arah sana. Bukan sekedar asal beda dan cari-cari perhatian orang. Karena itu harus disikapi dengan luas dan luwes.


2. Kisah Kebesaran Hati Seorang Kh Idham Cholid Dan Buya Hamka

Ada sebuah kisah yang patut kita teladani sebagai umat Islam dalam menjaga ukhuwah. Kisah yang terjadi antara pemimpin Nahdlatul Ulama, KH Idham Cholid, dan pemimpin Muhammadiyah, Buya Hamka, yang ketika itu sedang melakukkan perjalanan ke tanah suci. Saat sedang dalam perjalanan menuju tanah suci di dalam sebuah kapal laut, waktu melakukan sholat subuh berjamaah, para pengikut Nadhlatul Ulama heran saat KH Idham Cholid yang mempunyai kebiasaan menggunakan doa qunut dalam kesehariannya, malah tidak memakai doa qunut tatkala Buya hamka dan sebagian pengikut Muhammadiyah menjadi makmumnya.
Demikian pula sebaliknya, tatkala Buya Hamka mengimami shalat subuh, para pengikut Muhammadiyah merasa heran ketika Buya Hamka membaca doa qunut karena KH Idham Cholid dan sebagian pengikut NU menjadi makmumnya.

KH Idham Cholid adalah tokoh pemimpin NU yang mempunyai kebiasaan membaca doa qunut dalam shalat shubuh. Namun, saat ditunjuk menjadi imam shalat subuh, beliau tidak membacanya  demi menghormati sahabatnya Buya Hamka dan para pengikutnya. Padahal, dalam tradisi NU membaca doa qunut dalam shalat subuh adalah sunah muakkad. Sungguh ini adalah tindakan yang begitu arif dan bijak. Begitu pun sifat kearifan ditunjukan oleh pemimpin Muhammadiyah, Buya Hamka, yang kesehariannya tidak membaca doa qunut justru membaca doa qunut saat mengimami shalat subuh dengan alasan yang sama. Mereka malah berpelukan mesra setelah shalat, saling menghormati, dan saling berkasih sayang.
Inilah para pemimpin yang sebenarnya yang begitu dalam dan luas keilmuan dan wawasannya. Meskipun terdapat perbedaan pendapat tetapi tetap bersatu dalam persaudaraan. Mereka lebih mengedapankan ukhuwah Islamiyyah ketimbang masalah khilafiah yang tidak akan ada ujungnya. Mereka tidak mengenal istilah saling mencela, mengejek, atau saling menuduh sesama muslim yang berbeda pandangan yang justru akan menimbulkan suatu fitnah.

3. Kisah Kebesaran Hati Seorang Imam Syafi’i Dan Imam Malik

Imam Syafi’i adalah seorang tokoh besar pendiri Mazhab Syafi’i. Beliau dikenal sangat cerdas. Ada yang mengatakan bahwa sejak usia 7 tahun sudah hafal al-Qur’an. Beliau bukan berasal dari keluarga yang berkelebihan. Namun berkat kecerdasannya itu, beliau bisa belajar pada seorang guru di Mekah tanpa mengeluar biaya sedikit pun.

Imam Malik juga tokoh besar pendiri Mazhab Maliki. Beliau berasal dari keluarga terhormat, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Kakeknya, Abu Amir termasuk keluarga pertama yang memeluk agama Islam dan juga menjadi ulama hadis terpandang di Madinah. Sejak Muda, Imam Malik menjadi orang yang cinta kepada ilmu. Beliau belajar ilmu hadis pada ayah dan paman-pamannya. Al-Muwatta’, kitab fikih yang berdasar dari kumpulan hadis-hadis pilihan, adalah kitab karangan beliau yang menjadi pegangan para santri sampai sekarang.

Imam Syafi’i dan Imam Malik bertemu di Madinah. Ceritanya, setelah berguru pada banyak ulama di Mekah, Imam Syafi’i ingin sekali melanjutkan pengembaraannya ke Madinah. Apalagi beliau mengetahui di Madinah ada Imam Malik, ulama yang termashur itu. Di hadapan Imam Malik, Imam Syafi’i mengucal al-Muwatta’, kitab yang sebelumnya sudah dihafalnya saat berada di Mekah. Imam Malik sangat kagum pada Imam Syafi’i dan begitulah hubungan antara kedua tokoh besar itu selanjutnya.
Dalam tradisi Mazhab Syafi’i, saat melaksanakan shalat Shubuh dibacakan doa Qunut. Berbeda dalam tradisi Mazhab Maliki, tak ada doa Qunut dalam salat subuh. Namun, perbedaan tradisi itu tak membuat hubungan keduanya retak. Mereka tetap menjadi guru dan murid yang saling menghormati pendapat masing-masing.

Suatu hari, Imam Syafi’i berkunjung dan menginap di rumah Imam Malik. Saling berkunjung dan menginap itu sudah menjadi kebiasaan antara keduanya. Imam Syafi’i diminta gurunya menjadi imam saat melaksanakan salat subuh. Karena ingin menghormati gurunya, Imam Syafi’i tak membaca doa Qunut dalam salat berjama’ah itu.

Begitu pun sebaliknya. Di lain hari, Imam Malik menginap di kediaman Imam Syafi’i. Saat Shubuh, mereka melaksanakan salat subuh berjama’ah, Imam Syafi’i meminta gurunya menjadi imam salat. Dengan alasan yang sama, Imam Malik pun membaca doa Qunut.

Begitulah para ulama mencontohkan sikap dalam masalah Khilafiyah mereka tidak menyesatkan,mengkafirkan amalan saudaranya tetapi justru saling menghormati dan menghargai
Tidak pernah meributkan urusan khilafiyah, sebab pada hakikatnya urusan khilafiyah lahir karena memang proses yang alami, di mana dalil dan nash yang ada menggiring kita ke arah sana. Bukan sekedar asal beda dan cari-cari perhatian orang. Karena itu harus disikapi dengan luas dan luwes. Sebaliknya, mereka yang suka meributkan masalah khilafiyah, biasanya merupakan sosok yang kerjanya memang sekedar cari-cari perbedaan, dan umumnya mereka memang suka sensasi.

Prinsip mereka, apapun yang  bisa menarik perhatian orang, walau pun terkadang kepala mereka tidak ada isi apa-apa, alias blo-on. Apa yang keluar dari mulutnya hanya foto copy dan taqlid dari orang lain, bukan lahir dari keluasan ilmu, kefaqihan dan kealiman, apalagi dari kerendahan hatinya. Tapi sayangnya, sikap dan perilaku mereka, seolah mufti tertinggi.


Islam itu damai, Islam rahmatan lil 'alamin
semoga bermanfaat.

Hari Gini Masih Meributkan Khilafiyah



Dalam Islam banyak sekali kita temui benturan-benturan pendapat yang menimpa kita. Ada yang mempersoalkan mengenai Qunut dan tidak Qunut dalam sholat subuh, jumlah rakaan shalat Tarawih 11 rakaat atau 23 Rakaat, Duduk tahiyat akhir dengan menggerakkan telunjuk atau tidak, kontra opini menentukan jatuhnya 1 Ramadhan, 1 syawal dll.
masa’ umat  lain sudah sibuk mempersenjatai diri dengan Nuklir, kita masih disibukkan dengan hal-hal Khilafiyah istilahnya " orang sudah sampe bulan kita masih meributkan Jatuhnya bulan".

Terus terang, kadang saya merasa malu terhadap agama lain dalam  persoalan ini karna orang kafir pasti tertawa melihat umat islam yg bertengkar persoalan khilafiyah, saya sendiri sangat menghindari perdebatan masalah Khilafiyah, karena biasanya takkan berujung dan akan menjadikannya debat kusir yang nggak berfaedah. Bila di sebuah masjid melakukan qunut di sholat subuh ya saya ikutan, bila nggak qunut ya ikutan nggak qunut . . .  gak usah dibuat susah. Bila ditanya mana Yang benar sholat tarawih 11 Rakaat atau 23 rakaat? saya jawab keduanya benar karena punya penjelasan hadis masing-masing . . . Lalu siapa yang paling benar. . ya dua-duanya benar  ..  . yang gak benar yaaa . . . yang Nggak Sholat tarawih . . .  gak usah dibuat sulit, Gitu aja kok repot..he he . sekedar mengingatkan bagaimana bila kita lebih membuka hati kita terhadap perbedaan khilafiyah ini, jangan sampai masalah kecil dibuat besar sehingga memutus tali silaturahim , Meributkan khilafiyah tidak wajib tapi menjaga silaturrahmi dan  keutuhan agama islam adalah wajib  jangan sampai kita seperti buih di lautan, banyak tapi mudah dipecah-belah.
ingatlah firman Allah Subhanallahu wa Ta’allah dalam surat Ali Imran 103, berbunyi:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, “

 Hadits Nabi :
 Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya seumpama bangunan saling mengokohkan satu dengan yang lain. (Kemudian Rasulullah Saw merapatkan jari-jari tangan beliau). (Mutafaq'alaih)


Contoh Sikap Teladan Ulama Dalam Masalah Khilafiyah


Selanjutnya berikut saya ingin berbagi tulisan kisah para ulama dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam masalah khilafiyah yang bijak dan patut kita contoh,mungkin diantara para pembaca belum mengetahuinya atau barangkali malah sudah pernah membacanya namun tidak ada salahnya kita simak lagi bareng-bareng kisah ini semoga bermanfaat bagi kita :

1. Sepenggal Kisah KH Abdullah Syafi'i dengan Buya Hamka

Suatu ketika di hari Jumat, KH. Abdullah Syafi'i mengunjungi sahabatnya Buya Hamka di masjid Al-Azhar Kebayoran Jakarta Selatan. masjid dimana menjadi tempat Buya Hamka melakukan aktifitas sehari-hari, Hari itu menurut jadwal seharusnya giliran Buya Hamka yang jadi khatib. Karena menghormati shahabatnya, maka Buya minta agar KH. Abdullah Syafi'i yang naik menjadi khatib Jumat.

Yang menarik, tiba-tiba adzan Jumat dikumandangkan dua kali, padahal biasanya hanya satu kali. Rupanya, Buya menghormati ulama betawi ini dan tahu bahwa adzan dua kali pada shalat Jumat itu adalah pendapat shahabatnya. Jadi bukan hanya mimbar Jumat yang diserahkan, bahkan adzan pun ditambah jadi dua kali, semata-mata karena ulama ini menghormati ulama lainnya.

Begitulah sikap kedua tokoh ulama besar negeri ini. Siapa yang tidak kenal Buya Hamka, dengan perguruan Al-Azhar dan tafsirnya yang fenomenal. Dan siapa tidak kenal KH Abdullah Syafi'i, pendiri dan pemimpin Perguruan Asy-Syafi'iyah, yang umumnya kiyai betawi hari ini adalah murid-murid beliau.

Bahkan satu lagi menurut penuturan putra Buya Hamka yakni Rusydi Hamka, ayahnya itu ketika mau mengimami shalat tarawih, menawarkan kepada jamaah, mau 23 rakaat atau mau 11 rakaat. Jamaah di masjid Al-Azhar kala itu memilih 23 rakaat, maka beliau pun mengimami shalat tarawih dengan 23 rakaat. Esoknya, jamaah minta 11 rakaat, maka beliau pun mengimami shalat dengan 11 rakaat.

Inilah tipologi ulama sejati yang ilmunya mendalam dan wawasannya luas. Tidak pernah meributkan urusan khilafiyah, sebab pada hakikatnya urusan khilafiyah lahir karena memang proses yang alami, di mana dalil dan nash yang ada menggiring kita ke arah sana. Bukan sekedar asal beda dan cari-cari perhatian orang. Karena itu harus disikapi dengan luas dan luwes.


2. Kisah Kebesaran Hati Seorang Kh Idham Cholid Dan Buya Hamka

Ada sebuah kisah yang patut kita teladani sebagai umat Islam dalam menjaga ukhuwah. Kisah yang terjadi antara pemimpin Nahdlatul Ulama, KH Idham Cholid, dan pemimpin Muhammadiyah, Buya Hamka, yang ketika itu sedang melakukkan perjalanan ke tanah suci. Saat sedang dalam perjalanan menuju tanah suci di dalam sebuah kapal laut, waktu melakukan sholat subuh berjamaah, para pengikut Nadhlatul Ulama heran saat KH Idham Cholid yang mempunyai kebiasaan menggunakan doa qunut dalam kesehariannya, malah tidak memakai doa qunut tatkala Buya hamka dan sebagian pengikut Muhammadiyah menjadi makmumnya.
Demikian pula sebaliknya, tatkala Buya Hamka mengimami shalat subuh, para pengikut Muhammadiyah merasa heran ketika Buya Hamka membaca doa qunut karena KH Idham Cholid dan sebagian pengikut NU menjadi makmumnya.

KH Idham Cholid adalah tokoh pemimpin NU yang mempunyai kebiasaan membaca doa qunut dalam shalat shubuh. Namun, saat ditunjuk menjadi imam shalat subuh, beliau tidak membacanya  demi menghormati sahabatnya Buya Hamka dan para pengikutnya. Padahal, dalam tradisi NU membaca doa qunut dalam shalat subuh adalah sunah muakkad. Sungguh ini adalah tindakan yang begitu arif dan bijak. Begitu pun sifat kearifan ditunjukan oleh pemimpin Muhammadiyah, Buya Hamka, yang kesehariannya tidak membaca doa qunut justru membaca doa qunut saat mengimami shalat subuh dengan alasan yang sama. Mereka malah berpelukan mesra setelah shalat, saling menghormati, dan saling berkasih sayang.
Inilah para pemimpin yang sebenarnya yang begitu dalam dan luas keilmuan dan wawasannya. Meskipun terdapat perbedaan pendapat tetapi tetap bersatu dalam persaudaraan. Mereka lebih mengedapankan ukhuwah Islamiyyah ketimbang masalah khilafiah yang tidak akan ada ujungnya. Mereka tidak mengenal istilah saling mencela, mengejek, atau saling menuduh sesama muslim yang berbeda pandangan yang justru akan menimbulkan suatu fitnah.

3. Kisah Kebesaran Hati Seorang Imam Syafi’i Dan Imam Malik

Imam Syafi’i adalah seorang tokoh besar pendiri Mazhab Syafi’i. Beliau dikenal sangat cerdas. Ada yang mengatakan bahwa sejak usia 7 tahun sudah hafal al-Qur’an. Beliau bukan berasal dari keluarga yang berkelebihan. Namun berkat kecerdasannya itu, beliau bisa belajar pada seorang guru di Mekah tanpa mengeluar biaya sedikit pun.

Imam Malik juga tokoh besar pendiri Mazhab Maliki. Beliau berasal dari keluarga terhormat, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Kakeknya, Abu Amir termasuk keluarga pertama yang memeluk agama Islam dan juga menjadi ulama hadis terpandang di Madinah. Sejak Muda, Imam Malik menjadi orang yang cinta kepada ilmu. Beliau belajar ilmu hadis pada ayah dan paman-pamannya. Al-Muwatta’, kitab fikih yang berdasar dari kumpulan hadis-hadis pilihan, adalah kitab karangan beliau yang menjadi pegangan para santri sampai sekarang.

Imam Syafi’i dan Imam Malik bertemu di Madinah. Ceritanya, setelah berguru pada banyak ulama di Mekah, Imam Syafi’i ingin sekali melanjutkan pengembaraannya ke Madinah. Apalagi beliau mengetahui di Madinah ada Imam Malik, ulama yang termashur itu. Di hadapan Imam Malik, Imam Syafi’i mengucal al-Muwatta’, kitab yang sebelumnya sudah dihafalnya saat berada di Mekah. Imam Malik sangat kagum pada Imam Syafi’i dan begitulah hubungan antara kedua tokoh besar itu selanjutnya.
Dalam tradisi Mazhab Syafi’i, saat melaksanakan shalat Shubuh dibacakan doa Qunut. Berbeda dalam tradisi Mazhab Maliki, tak ada doa Qunut dalam salat subuh. Namun, perbedaan tradisi itu tak membuat hubungan keduanya retak. Mereka tetap menjadi guru dan murid yang saling menghormati pendapat masing-masing.

Suatu hari, Imam Syafi’i berkunjung dan menginap di rumah Imam Malik. Saling berkunjung dan menginap itu sudah menjadi kebiasaan antara keduanya. Imam Syafi’i diminta gurunya menjadi imam saat melaksanakan salat subuh. Karena ingin menghormati gurunya, Imam Syafi’i tak membaca doa Qunut dalam salat berjama’ah itu.

Begitu pun sebaliknya. Di lain hari, Imam Malik menginap di kediaman Imam Syafi’i. Saat Shubuh, mereka melaksanakan salat subuh berjama’ah, Imam Syafi’i meminta gurunya menjadi imam salat. Dengan alasan yang sama, Imam Malik pun membaca doa Qunut.

Ikhtilaf  paham dikalangan kaum muslimin yang pada umumnya hanya dalam masalah furu’(kecil/cabang), sedangkan dalam masalah asas (yang pokok) tidak banyak. Oleh karena itu, kalau ada perbedaan pendapat dalam masalah furu’ kebanyakan hasil ijtihad ulama mujtahid, atau perbedaan penafsiran melalui dalil-dalil yang tidak qath’I, atau perbedaan penemuan mengenai rumah rasul dan lainya, tidak perlu dipertajam, asal masing-masing mempunyai dasr hukumnya. Adapun perbedaan pendapat mengenai masalah Furu’ itu merupakan rahmat Alloh, yang berarti memberi kebebasan berpikir kepada kita.

Begitulah para ulama mencontohkan sikap dalam masalah Khilafiyah mereka tidak menyesatkan,mengkafirkan amalan saudaranya tetapi justru saling menghormati dan menghargai,..indah bukan ? semoga bermanfaat.

Minggu, 23 Juni 2013

SEJARAH MUNCULNYA ALIRAN ALIRAN DALAM ISLAM


ILMU KALAM (USHULUDIN) (ilmu tentang pokok/dasar i’tikad-akidah agama)

I.       Prolog

Ibarat sebuah pohon, i’tikad (keyakinan) yang mendalam merupakan akar pondasi yang menjadi dasar, sedangkan akidah merupakan satu batang penopang yang tegak tidak boleh menyimpang. Salah dalam I’tikad-akidah menyebabkan seseorang tersesat dan keluar dari Islam menjadi kafir.
Sedangkan Fiqih merupakan dahan, ranting dan cabangnya. Dalam masalah Fiqih-amaliah yang ijtihadi sering terjadi perbedaan pendapat (khilafiah) diantara para imam mujtahid dan para ulama. Salah dalam ijtihad fiqih amaliah, tidak menyebabkan seorang muslim menjadi kafir, melainkan yang benar dapat dua pahala yang salah dapat satu pahala.

Hadits Nabi yang menginformasikan akan adanya firqoh-firqoh Islam yang sesat dalam masalah Akidah (bukan masalah fiqih-amaliah Khilafiah) :

“Umatku akan terpecah-belah menjadi 73 golongan, diantara golongan-golongan itu yang selamat hanya satu golongan saja, sedangkan lainnya adalah binasa. Para sahabat bertanya : ‘Siapakah golongan yang selamat itu ?’ Nabi menjawab : ‘golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah’, para sahabat bertanya lagi, ‘Apakah golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu ?’ Nabi menjawab : ‘Yaitu yang mengikuti apa-apa yang sekarang ini dipraktekkan (manhaj) saya dan para sahabatku’ “

“Maka bahwasanya siapa yang hidup (lama) diantara kamu niscaya akan melihat perselisihan (faham) yang banyak. Ketika itu pegang teguhlah Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi hidayah.” (HR. Abu Dawud).

“Ada dua firqah dari umatku yang pada hakikatnya mereka tidak ada sangkut pautnya dengan Islam, yaitu kaum Murji’ah dan kaum Qadariyah.” (HR Tumrmudzi).

“Bagi tiap-tiap umat ada Majusinya. Dan Majusi umatku ini ialah mereka yang mengatakan bahwa tidak ada takdir. Barangsiapa diantara mereka itu mati, maka janganlah kalian menshalati jenazahnya. Dan barangsiapa diantara mereka itu sakit, maka janganlah kalian menjenguknya. Mereka adalah golongan Dajjal dan memang ada hak bagi Allah untuk mengkaitkan mereka itu dengan Dajjal itu.” (HR Abu Dawud).

“Akan keluar suatu kaum di akhir jaman, orang-orang muda berfaham jelek. Mereka banyak mengucapkan perkataan “Khairil Bariyah” (ayat-ayat Allah). Iman mereka tidak melampaui kerongkongan mereka. Mereka keluar dari agama bagai meluncurnya anak panah dari busurnya. Kalau orang-orang ini berjumpa dengan kamu, lawanlah mereka.” (HR Bukhari).
Yang dimaksud oleh Hadits ini adalah firqoh Khawarij.


II.    Pengertian Ilmu Ushuludin

Ilmu Ushuludin adalah ilmu yang membahas pokok-pokok (dasar) agama, yaitu akidah, tauhid dan I’tikad (keyakinan) tentang rukun Iman yang enam : 1) beriman kepada Allah, 2) Al-Qur’an dan kitab-kitab suci samawi, 3) Nabi Muhammad dan para Rasul, 4) para Malaikat, 5) perkara ghaib (alam kubur, alam akhirat, mashar, mizan, sirot, surga-neraka), 6 ) Takdir baik dan buruk.

Sebutan lain bagi Ilmu Ushuludin adalah ilmu Theologi (ketuhanan), karena membahas tentang ke tauhid-an (ke-Esa an) Allah, sifat dan asma’ (nama) Allah.

Sebutan lain yang lebih populer adalah Ilmu Kalam, karena bahasan yang sedang ramai dibahas pada saat lahirnya ilmu kalam adalah masalah kalam (firman Allah) disamping itu pembahasan ilmu ini menggunakan metode ilmu mantiq (logika) sedangkan kata mantiq secara etimologi bahasa sinonim dengan kalam.


III.   Bahasan Ilmu Kalam

Pokok-pokok bahasan dalam Ilmu Kalam adalah :
1.     Masalah ketuhanan :
a.     Wujud Allah
b.     Sifat-sifat Allah
c.     Perbuatan Allah
2.     Al-Qur’an
a. Apakah Al-Qur’an itu makhluk atau bukan
3.     Akhirat
a.     Apakah kebangkitan itu dengan jasad apa ruh saja.
b.     Apakah dapat melihat Allah di akhirat nanti.
4.     Iman
5.     Dosa besar
6.     Takdir dan keadilan Allah
7.     Khilafah dan imamah
8.     Filsafat
9.     Ayat-ayat mutasyabih
a.     Tentang tajsim
b.     Tentang tasybih
c.     Tentang dimana Allah




IV.         Lahirnya Ilmu Kalam

          Dalam Al-Qur’an kita temui ayat-ayat yang berhubungan dengan usaha bebas manusia dan ada pula yang menggambarkan akan adanya jabr (pemkasaan kehendak) Allah dan masalah takdir. Disamping itu Al-Qur’an juga menuturkan tentang adanya sifat-sifat Tuhan yang membawa kepada tanzih mutlaq, juga terdapat ayat-ayat tentang penyerupaan Tuhan dengan mahkluk (tasybih) dan penyebutan anggota tubuh Tuhan (tajsim).
          Menurut Ibnu Khaldun, terhadap berbagai ayat sifat, tasybih dan tajsim para sahabat dan ulama-ulama salaf tidak berselisih dan semuanya menerima dan meng imani tanpa menafsirkannya. Mereka tidak mau menggunakan rasio untuk membahas dan menta’wilkan ayat-ayat mutasyabih tersebut.
          Perkembangan selanjutnya muncul pembahasan dan pendapat mengenai takdir, usaha bebas manusia, pelaku dosa besar, membahas sifat-sifat Tuhan, ayat-ayat tasybih dan tajsim dan masalah theologi lainnya. Maka mulai muncul aliran Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar, Aliran Syiah Sabaiyah yang dipengaruhi filsafat inkarnasi tuhan, Aliran Jabariyah yang menafikan ikhtiar bebas manusia, Aliran Qadariah yang menolak takdir Allah, Aliran murjiah yang menyatakan iman cukup dengan keyakinan hati.
          Pada tahun 148 H Khalifah Abu Ja’far Al Manshur dari Bani Abbas menderita sakit, semua dokter pribadinya tidak ada yang mampu menyembuhkan sakitnya. Atas saran menterinya kemudian didatangkan dokter yang terkenal dari perguruan Jundishapur George Bakhtishu dan berhasil menyembuhkan penyakit Khalifah, kemudian Khalifah memintanya untuk menjadi dokter pribadi di Istana Khalifah.
          Goerge Bakhtishu adalah seorang dokter dan ilmuwan yang luas pengetahuannya dan banyak menulis buku tentang ilmu kedokteran. Dari George Buktishu inilah pihak istana mengenal perguruan Jundishapur dan Khalifah tertarik untuk mendatangkan para ahli ilmu filsafat dari Jundishapur ke Baghdad dan menterjemahkan beberapa buku ilmu pengetahuan Yunani.
          Usaha penterjemahan buku-buku Yunani ini terus berlangsung pada pemerintahan Khalifah Al-Mahdi. Pada era Khalifah Harun Al-Rasyid, dikirim delegasi ke Bizantium untuk membeli manuskrip-manuskrip ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu pengetahuan filsafat Yunani yang lainnya. Usaha penterjemahan buku-buku kedokteran dan filsafat tersebut mencapai puncaknya pada masa Khalifah Al-Ma’mun.
          Pada tahun 217 H, Khalifah Al-Ma’mun mendirikan Baitul Hikmah yang merupakan perpustakaan, pusat penterjemahan, pusat study dan pembahasan ilmu filsafat (meliputi astronomi, fisika, kimia, matematika, ilmu alam, logika) dan kedokteran yang paling “up date” pada jaman itu.
          Usaha penerjemahan dilakukan oleh para penterjemah yang termasyhur pada saat itu antara lain :
1.     Hunain bin Ishaq (809-873 M), pemimpin Darul Hikmah, seorang Kristen yang menguasai Bahasa Arab, Suryani (Syria) dan Yunani. Ia menterjemahkan 20 buku karya Galen kedalam bahasa Syria dan 14 buku lain kedalam bahasa Arab. Menurut riwayat Hunain mempunyai 90 asisten dan murid dalam kegiatan penerjemahan tersebut.
Karya-karya yang diterjemahkan antara lain, filsafat Galen tentang Risalah tentang Pembuktian (Treatise on Demonstration), Sillogisme Hipotesis (Hypothetical syllogism), Etika (Ethics) dan beberapa komentar Galen terhadap karya-karya Plato seperti Sophist, Parmindes, Cryatylus, Euthydenus, Timaeus, Statesman, Republic, Laws.
Hunain juga menulis beberapa Risalah seperti : Gramatika Bahasa Yunani (Greek Grammar), Risalah Air Pasang (A Treatise on the Salinity of Sea Water), Risalah tentang warna (A Treatise on Colors), Risalah tentang Pelangi (A Treatise on Rainbow).
2.     Ishaq bin Hunain (Wafat tahun 910 M) dibantu Hubays keponakan Huain menterjemahkan karya Plato dan Aristoteles seperti Categories, Hermeneutica, Sophist, bagian-bagian dari Timaeus.
3.     Sabit bin Qurra (825-901 M), seorang Shabiin, penyembah bintang. Menterjemahkan Physica Aristoteles, Uraian tentang Bintang-Bintang dan pengaruhnya (The Nature of the Stars and Their Influences), Uraian tentang Azas-Azas Etika dan Musik (Principles of Ethics and Music), Almageste karya Euclidus tentang Astronomi.
4.     Qusta bin Luqa, seorang Kristen menterjemahkan Ungkapan-ungapan para filosof (The Saying of Philosophers), Perbedaan Roh dan Jiwa (The difference between Soul and Spirit), Risalah tentang atom (A Treatise on the Atom), Pengatar Logika (Introduction to Logic).
5.     Abu Bisyr Mata bin Yunus (wafat tahun 939 M), seorang Kristen menterjemahkan karya Aristoteles yaitu : Etegories, Hermeneutica, Analitica Priora dan Analitica Postriora.

          Semua Ilmu-ilmu pasti alam terjemahan dari buku-buku Ilmu pengetahuan Yunani itu pada waktu itu semuanya disebut ilmu filsafat dan merupakan ilmu yang dianggap “elit”. Metode ilmiah dan logika berpikir rasional menurut ilmu filsafat Yunani itu disebut dengan metode “scholastic” yang dianggap lebih superior dan bergengsi pada jaman itu.
          Sebagian ulama kaum muslimin yang telah mempelajari metode scholastic ala filsafat Yunani akhirnya terpengaruh dalam pola pikir yang rasional, terstruktur, logic dan mengedepankan akal (rasio). Metode scholastik itu banyak digunakan oleh para ahli ilmu kalam untuk menjelaskan dan mempertahankan argumen mereka tentang bahasan-bahasan ilmu kalam yang berseberangan pendapat dengan mereka.

Firman Allah dalam QS An-Nahl : 125 :
“Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu dengan secara bijaksana dan perkataan yang baik dan bantahlah mereka itu dengan jalan yang lebih baik.”

a.     Terhadap orang musyrik yang menuhankan benda langit (bintang, bulan, matahari), maka  ditolak dengan ayat :
“Ketika malam telah menjadi gelap, Ibrahim melihat bintang, lalu dia berkata : “Inilah Tuhanku.” Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata : “Aku tidak suka kepada sesuatu yang tenggelam”. Kemudian tatkala dia melihat bulan itu terbit, dia berkata : “Inilah Tuhanku.” Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata : “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata : “Inilah Tuhanku, inilah yang lebih besar.” Tetapi setelah matahari itu terbenam, dia berkata : “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan” (QS Al-An’am 76-78).
b.     Terhadap yang menuhankan Nabi Isa, maka ditolak dengan ayat :
“Dan ingatlah ketika Allah berfirman : “Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia : Jadikanlah aku dan ibuku sebagai Tuhan selain Allah ? Isa menjawab : “Maha suci Engkau, tidaklah patut bagiku apa yang bukan hakku mengatakannya” (QS Al-Maidah : 116).
c.     Terhadap orang yang menyembah patung-berhala, maka ditolak dengan ayat :
“Dan ingatlah diwaktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Azar : ‘Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai Tuhan ? Sesungguhnya aku melihat kaummu dalam kesesatan yang nyata.” (QS Al-An’am : 74).
d.     Terhadap yang tidak percaya kepada hari kiamat dan kehidupan akhirat, maka dibantah dengan ayat :
“Yaitu pada hari Kami gulung langit bagai menggulung lembaran-lembaran kertas, sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama. Begitulah Kami mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati, bahwasanya Kami benar-benar akan melaksanakannya.” (Al-Anbiya : 104).
e.     Terhadap orang yang menolak adanya takdir, maka mereka termasuk orang munafik berdasarkan ayat :
“Mereka (orang Munafik) berkata : “Apakah bagi kita barang sesuatu hak campur tangan dalam urusan ini ? Katakanlah : ‘Sesungguhnya urusan itu seluruhnya ditangan Allah. Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu. Mereka berkata : ‘Sekiranya bagi kita ada barang sesuatu atau hak campur tangan dalam urusan ini niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) disini. Katakanlah : ‘Sekiranya kamu ada dirumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar juga ke tempat mereka terbunuh. Dan Allah berbuat demikian untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Dan Allah Mengetahui apa yang didalam hati.” (QS Ali-Imran :154).

          Pada perkembangan selanjutnya metode scholastik yang rasional itu diterapkan juga dalam pemahaman dalam agama Islam yaitu dalam membahas sifat-sifat Tuhan, dosa besar, takdir, ayat-ayat mutasyabih, tasybih, tajsim dan masalah kemakhlukan Al-Qur’an. Kelompok tersebut dikenal sebagai aliran Mu’tazilah.
          Mereka banyak mempelajari buku-buku terjemahan filsafat Yunani, lebih mengedepankan rasio, menguasai ilmu mantiq (logika) dan metode perdebatan versi Aristoteles. Aliran Mu’tazilah ini dikenal suka berdebat dan didukung penuh oleh Khalifah Al Ma’mun.
          Sebagian ulama Islam yang mendapat hidayah Allah, lurus hatinya dan benar akidahnya tergugah untuk menghadapi segala pemikiran akidah yang menyimpang (terutama dari kalangan ahli filsafat kaum Mu’tazilah) dan berusaha membela sunnah dan akidah Islam yang benar menurut manhaj salafus saleh menggunakan metode scholastik ahli ilmu kalam dengan keterangan, argumen dan alasan yang terstruktur rapi hingga dapat menjelaskan kepalsuan pemikiran yang menyimpang tersebut.  Dengan demikian lahirlah ilmu kalam dan para ulama ahli ilmu kalam.



V.      Aliran Khawarij

Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar (seperti keluar melesatnya anak pakah dari busurnya). Setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, seluruh kaum muslimin membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, namun gubernur Syam yaitu Muawiyyah bin Abu Sofyan tidak mau membaiatnya, bahkan memberontak dan berusaha merebut kekhalifahan. Maka terjadilah perang Shiffin antara Ali melawan Muawiyyah.

Tentara Syam sudah tersudut dan hampir kalah, untuk menunda kekalahan Amr bin Ash, salah seorang panglima Muawiyah mengusulkan agar Al-Qur’an diikat pada ujung tombak dan menawarkan perundingan damai dengan pihak Ali. Siasat tersebut kemudian dilaksanakan dan berhasil membuat para Qurra (penghafal Al-Qur’an) dari kalangan tentara Ali bin Abi Thalib menghentikan peperangan dan didukung oleh sebagian anggota tentara Ali bin Abi Thalib.

Akhirnya antara pihak Ali dan Muawiyah masing-masing mengirimkan seorang wakil untuk melakukan perundingan arbitrase mencari solusi damai atas pertikaian perebutan kekhalifahan yang sedang terjadi. Khalifah Ali mula-mula menunjuk Abdullah bin Abbas sebagai wakilnya, namun penunjukan Ali tersebut ditolak dan ditentang oleh sebagian tentaranya. Akhirnya pihak Ali diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari, sedangkan pihak Muawiyah diwakili oleh Amr bin Ash.

Kedua juru runding itu sebelumnya sepakat menurunkan Ali dan Muawiyah dari kekhalifahan untuk kemudian mencari orang ke tiga yang akan diangkat sebagai khalifah yang baru. Mula-mula yang pertama naik ke mimbar adalah Abu Musa Al-Asy’ari wakil dari kelompok Ali menyatakan menurunkan Ali dari kekhalifahan. Giliran kedua Amr bin Ash naik ke mimbar, tetapi Amr bin Ash tidak menepati kesepakatan sebelumnya yang telah dibuat. Saat diatas mimbar Amr bin Ash menetapkan Muawiyah sebagai khalifah yang syah. Menyadari kelicikan siasat Amr bin Ash maka hasil arbitrase tersebut tidak diakui oleh pihak Ali.

Sebagian pengikut Ali tiba-tiba menolak dan mengecam arbitrase tersebut dan menyalahkan Ali karena mau melakukan “tahkim” atau arbitrase tersebut. Mereka keluar dari barisan pengikut Ali dan membentuk kelompok sendiri yang dikenal sebagai kelompok khawarij.

Mereka berjumlah sekitar 12.000 orang dan memusatkan gerakannya di Harurah, sehingga kelompok ini dikenal juga dengan istilah kelompok Haruriah. Mereka berpendapat bahwa Ali telah menjadi kafir karena mau melakukan tahkim arbritase dan menuntut Ali agar melakukan tobat. Demikian juga mereka mengkafirkan Muawiyah yang dianggap salah satu penyebab pertumpahan darah sesama kaum muslimin.

Kaum khawarij dikenal banyak membaca Al-Qur’an, rajin puasa dan tahajud namun suka berbuat anarkis, merampok baitul mal gubernur Basrah, mengkafirkan dan membunuh orang-orang yang tidak sefaham dengan mereka. Suatu ketika ada khafilah yang berpapasan dengan mereka, kemudian khafilah itu ditanya pendapatnya tentang Ali dan peristiwa arbitrase, khalifah itu memberi penilaian yang baik kepada Ali, maka merekapun membunuhnya dan semua anggota rombongan khalifah termasuk seorang wanita yang sedang hamil. 

(Uraian yang lebih rinci dan detail tentang perang Shiffin, awal mula munculnya kelompok Khawarij, dialog dan diskusi Ibnu Abbas dengan mereka sebagai usaha untuk menarik kembali mereka kebarisan Khalifah Ali, penumpasan kelompok Khawarij oleh Khalifah Ali dalam perang Nahawan, dsb bisa dibaca pada buku Bidayah wa Nihayah karya Ibnu Katsir atau Tharikh (sejarah) Khulafaur Rasyidin atau buku Nahjul Balagah atau buku-buku tentang biografi Imam Ali bin Abi Thalib)

Kelompok Khawarij awal mulanya hanya kelompok politik, tapi kemudian berkembang menjadi aliran ilmu kalam. Mereka telah keluar dan memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin.

Adapun pokok-pokok pikiran mereka dalam ilmu kalam adalah :
a.     Menolak tahkim / arbitrase.
b.     Membolehkan Khalifah bukan dari suku Quraisy, bahkan dari kalangan mana saja.
c.     Mengharuskan seorang khalifah berbuat adil dan menetapi syariat Islam.
d.     Khalifah yang dianggap telah menyimpang dari syariat Islam wajib diturunkan, bila perlu secara paksa dan dibunuh.
e.     Melakukan pemberontakan kepada Khalifah yang mereka anggap dzalim dan tidak adil.
f.       Menganggap pelaku dosa besar adalah kafir.
g.     Membolehkan membunuh golongan diluar kelompoknya.
Aliran Khawarij dalam perkembangan selanjutnya pecah lagi menjadi beberapa sekte dari yang paling keras adalah sekte Azariqah dibawah pimpinan Nafi Ibnu Azraq. Golongan ini berpendapat bahwa orang-orang Islam yang tidak sefaham dengan mereka adalah kafir dan akan kekal selama-lamanya dalam neraka, walaupun ia meninggal ketika masih anak-anak. Termasuk dalam sekte ini adalah Abdurrahman bin Muljam yang membunuh Khalifah Ali ketika sedang sholat Subuh di Kufah.

Ada juga sekte yang lebih lunak seperti kelompok Najdah Ibnu Amir Al-Hanafi dari Yamamah, kelompok Ziad Ibnu Asfar. Sedangkan yang paling lunak adalah sekte Ibadiah pimpinan Abdullah bin Ibad yang tidak sampai mengkafirkan dan masih menganggap Islam kelompok diluar mereka.


VI.     Aliran Syiah

Syiah artinya pendukung, maksudnya pendukung Ali bin Abi Thalib. Pada akhir masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan, seorang Yahudi yang bernama Abdullah bin Saba menyatakan diri masuk Islam. Sewaktu masih menganut agama Yahudi ia pernah mengatakan bahwa Yusya’ bin Nun adalah seorang yang diberi wasiat oleh Nabi Musa untuk melanjutkan memimpin Bani Israil. Setelah masuk Islam, dia menghembuskan doktrin bahwa Ali telah menerima wasiat dari Nabi Muhammad sebagai khalifah sepeninggal beliau. Lebih dari itu Abdullah bin Saba mengajarkan bahwa pada diri Ali itu mengandung unsur ketuhanan.

Abdullah bin Saba mengembara ke kota-kota Islam seperti Mesir, Basrah dan Kufah menyebarkan ajarannya itu. Pada tahun ke enam masa kekhalifahan Usman bin Affan, kerabat Usman dari kalangan Bani Umayyah banyak yang menduduki jabatan penting, seperti gubernur, sekretaris, bendahara baitul mal. Tindakan para pejabat yang terdiri atas Bani Umayah kerabat Khalifah Usman banyak yang menyengsarakan rakyat dan dikenal korup. Pada tahun ke dua belas datanglah delegasi rakyat Mesir, Basrah dan Kufah mengadukan kezaliman para Gubernur mereka. Mereka menuntut agar Usman memecat dan mengganti mereka. Khalifah Usman menyanggupi tuntutan mereka dan mengeluarkan surat pemecatan Abdullah bin Abu Sarah, Gubernur Mesir. Sebagai penggantinya Khalifah Usman mengangkat Muhammad bin Abu Bakar. Delegasi penduduk Mesir pun pulang disertai Muhammad bin Abu Bakar, calon gubernur yang baru dengan membawa surat pemecatan dari Khalifah Usman.

Pada saat perjalanan kembali ke Mesir, ditengah jalan rombongan penduduk Mesir disalip oleh seorang penunggang kuda yang berkuda cepat menuju ke arah Mesir pula. Merasa curiga rombongan penduduk Mesir mengejar dan menangkap penunggang kuda  itu. Setelah diinterogasi, pada kantung minumannya ditemukan surat perintah berstempel resmi Khalifah Usman yang isinya perintah untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar dan beberapa tokoh penduduk Mesir yang sebelumnya ikut datang ke Madinah.

Mengetahui hal itu penduduk Mesir dan Muhammad bin Abu Bakar tidak jadi meneruskan perjalanan pulang ke Mesir, melainkan kembali lagi ke Madinah. Khabar perintah pembunuhan dari Khalifah Usman itu pun cepat menyebar dan sampai pula pada rombongan penduduk Basrah dan Kufah. Mereka semua pun datang kembali ke Madinah.

Dengan suasana emosional mereka mengepung rumah Khalifah Usman dan meminta penjelasan atas perintah pembunuhan tersebut. Khalifah Usman bersumpah tidak menuliskan dan tidak pernah menyuruh seseorang untuk membuat surat perintah tersebut. Kecurigaan mengarah kepada Marwan bin Hakam, keponakan sekaligus menantu Khalifah Usman yang merupakan pemegang stempel ke khalifahan. Namun Khalifah Usman enggan untuk menyerahkan Marwan bin Hakam kepada pihak pengepung.

Ketegangan terus terjadi dan semakin memuncak dan berakhir dengan terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan oleh orang-orang yang mengepung rumahnya. Mayoritas kaum Muslimin akhirnya membaiat Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah namun Muawiyah bin Abi Sofyan tidak mau mengakuinya dan bahkan menyatakan dirinya sebagai khalifah.

Talhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mulanya turut membaiat Ali sebagai khalifah, kemudian mereka berdua menuntut jabatan sebagai gubernur Basrah dan Kufah, namun tuntutan mereka tidak dikabulkan oleh Khalifah Ali, dengan alasan tidak mau memberikan jabatan kepada orang yang berambisi dan menuntutnya.

Akhirnya Talhah dan Zubair memberontak kepada Ali dengan alasan menuntut bela atas terbunuhnya Usman bin Affan. Keduanya berhasil membujuk Aisyah Ummul Mukminin untuk turut bergabung dalam perang Jamal. Khalifah Ali pun mengirim tentara untuk memadamkan pemberontakan itu dan terjadilah pertempuran di kota Basrah. Pada perang Jamal pihak Khalifah Ali berhasil memenangkan pertempuran. Talhah dan Zubair terbunuh, sedangkan Aisyah Ummul Mukiminin dikembalikan dengan hormat ke Madinah.

Dalam perang Jamal, Khalifah Ali melihat tentaranya yang berasal dari penduduk Kufah paling loyal terhadap dirinya. Setelah perang Jamal Khalifah Ali memutuskan memindahkan ibukota pemerintahannya ke Kufah. Pada saat di Kufah sebagian orang Kufah yang telah terpengaruh oleh ajaran Abdullah bin Saba ada yang mendatanginya dan berlebihan dalam mendukung dan mencintainya dan bahkan ada yang mengatakan bahwa “engkau Ali adalah tuhan”. Ketika khalifah Ali bertanya kepada mereka, “Siapa kalian ?” mereka menjawab, “Kami adalah syiah (pendukung) Ali.” Sejak itu kelompok yang dikenal sangat fanatik kepada Ali bin Abi Thalib disebut sebagai “Syiah”

Kaum Syiah pengikut Abdullah bin Saba dikenal sebagai Syiah Sabaiyah. Syiah Sabaiyah ini termasuk dalam kelompok Syiah Ghulat (ekstrim) yang sampai pada taraf menuhankan Ali bin Abi Thalib. Syiah Ghulat mempercayai adanya reinkarnasi (hulul) unsur ketuhanan pada Ali dan keturunannya.

Syiah Bayaniah, pengikut Bayan bin Sam’an menyatakan bahwa Tuhan tercipta dari cahaya yang berbentuk tubuh sebagaimana manusia dan semuanya akan hancur terkecuali ‘wajah’ nya saja.

Syiah Mughiyitah pimpinan Al-Mughirah bin Said mengatakan Tuhan itu laki-laki, berjisim (bertubuh) dari cahaya, diatas kepalanya ada mahkota yang juga dari cahaya, memiliki jantung yang memancarkan ilmu-ilmu hikmah.

Mereka mengambil dari makna literal ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan tentang Tuhan dan menjadi penganut anthropomorpisme (menyerupakan Tuhan seperti manusia). Mereka jatuh pada tasybih (penyerupaan Tuhan dengan makhluk), faham yang demikian dinamakan Musyabbihah. Mereka juga jatuh pada tajsim (menetapkan Tuhan ber jism / bertubuh), faham yang demikian disebut Mujasimah.

Syiah Imamiah berpendapat bahwa yang berhak menjadi Khalifah adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Mereka menganggap Abu Bakar, Umar dan Usman telah menyerobot hak khilafah Ali bin Abi Thalib sehingga syiah imamiah sangat membenci dan suka mencaci-maki para Sahabat Nabi tersebut.

Syiah Itsna Asyariyyah (dua belas imam) menetapkan dua belas imam Syiah yang dianggap maksum, yaitu :
1.     Ali bin Abi Thalib
2.     Hasan bin Ali
3.     Husein bin Ali
4.     Ali Zainal Abidin bin Husein
5.     Muhammad Al-Baqir
6.     Ja’far Shodiq
7.     Musa Al-Kazhim
8.     Ali Al-Ridha
9.     Muhammad Al-Jawad
10. Ali an Naqi
11. Hasan Al-Asykari
12.       Muhammad bin Hasan Al-Asykari, Al-Mahdi Al-Mukthadhar, imam yang kedua belas ini dipercaya ghaib (menghilang) di Samarah dan dipercaya akan muncul kembali sebagai Imam Mahdi Al-Muktadhar (yang ditunggu) menjelang akhir jaman.

Namun kaum syiah berbeda pendapat mengenai siapa imam-imam syiah keturunan Ali yang diakui sebagai imam, Syiah Ismailiyyah menetapkan Ismail bin Ja’far Shadiq sebagai imam yang syah. Dalam perkembangan selanjutnya Syiah Ismailiyyah ini pecah lagi menjadi beberapa sekte yaitu Syiah Bathiniyyah, Karmatiyyah, Qaramithah dan Ta’limiyyah. Disebut Bathiniyyah karena keyakinan mereka bahwa imam-imam mereka yang maksum mengetahui ta’wil ayat-ayat Al-Qur’an secara ‘isoterik’ atau imam mereka memahami makna ‘batin’ dari Al-Qur’an. Kelompok Syiah Ismailiyyah-Batiniyyah inilah yang dikemudian hari berhasil mendirikan pemerintahan Syiah Buwaitih-Fatimiyyah di Mesir, lepas dari kekuasaan Bani Abbas di Baghdad.

Kelompok Syiah yang lebih moderat dan dekat dengan faham suni adalah Syiah Zaidiyah, pengikut Zaid bin Ali Zainal Abidin. Imam Zaid dikenal sebagai ahli fiqih dari kalangan syiah yang fahamnya dekat dengan faham suni. Imam Zaid berpendapat bahwa walaupun Ali lebih berhak menjadi khalifah, namun kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Usman tetap syah. Jadi Imam Zaid membolehkan mengangkat imam yang utama walaupun bukan yang paling utama.

Kelompok Syiah yang tidak setuju dengan pandangan Imam Zaid ini dikenal sebagai Syiah Rafidah (menolak) yaitu menolak pendapat imam Zaid dalam masalah imamah. Kelompok Syiah Rafidah ini dikenal paling suka mencaci maki Sahabat Nabi (terutama Abu Bakar dan umar) yang dianggap telah menyerobot hak kekhalifahan Ali bin Abi Thalib dan dikenal banyak memalsukan hadits untuk memperkuat pendapat kelompoknya.

Kaum Syiah memperbolehkan  “taqiyyah” yaitu menyembunyikan mazhab Syiah mereka, apabila keadaan tidak memungkinkan dan mengancam keselamatan dan eksistensi mereka. Pada masa kekhalifahan Al-Mustashim (609-659 H), salah seorang menteri kepercayaannya adalah Muayyidin Al-Alqami, seorang penganut Syiah Rafidah yang ber “taqiyyah”  menyembunyikan faham Syiah Rafidahnya. Menteri ini selalu berhubungan secara rahasia dengan orang-orang Mongol dan mengatur siasat agar orang-orang Mongol dapat memasuki Baghdad. Tujuannya agar kekuasaan Bani Abbas yang sunni runtuh dan dia menginginkan agar kekuasaan beralih ke tangan orang-orang alawiyin (keturunan Ali). Konspirasi itu berhasil dengan baik, pada tanggal 10 Muharram 656 H akhirnya Baghdad jatuh ketangan orang-orang Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan.

(Uraian yang lebih rinci dan detail tentang jatuhnya kota Baghdad ketangan Mongol dapat dibaca pada buku Tarikh Khulafa’ –Sejarah Para Khalifah- karangan Imam Jallludin As Suyuthi, pada Bab Khalifah Al-Mustashim)

Kaum Syiah yang sekarang banyak terdapat di Iran adalah Syiah Itsna Asyariyyah yang mempercayai bahwa imam imam mereka adalah wakil dan mendapat  “legitimasi” dari Imam Syiah kedua belas yang sedang ghaib. Fiqih mereka mengikuti Imam Ja’far Shadiq dan Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin. Kaum Syiah hanya mau menerima hadits dari riwayat ahlul bait atau dari sahabat Nabi yang dikenal setia mendukung Ali seperti Salman Al-Farisi, Ammar bin Yasir dan Abdullah bin Abbas.



VII.         Aliran Murji’ah

          Murji’ah berasal dari kata arja’a yang berarti penundaan atau penagguhan. Kaum Murji’ah berendapat bahwa seorang muslim yang melakukan dosa besar status ke-Islaman ditangguhkan, apakah masih termasuk muslim atau sudah menjadi kafir. Keputusannya diserahkan kelak kepada Allah di hari perhitungan di akhirat.
          Setelah Terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, timbul kemelut politik yang berlanjut dengan perang Nahrawan dan perang Shiffin dan munculnya firqoh Syiah dan Khawarij. Setelah Khalifah Ali terbunuh oleh kaum Khawarij, Bani Umayyah menduduki singgasana kekhalifahan dengan cara paksa dan bertindak represif.
          Antara Syiah, Khawarij dan Bani Umayyah satu sama lain saling bermusuhan dan saling menumpahkan darah. Ditengah kondisi yang demikian muncullah firqoh Murji’ah yang bersikap netral tidak memihak ke salah satu pihak  yang saling bertikai tersebut dan tidak mau terlibat dalam pertikaian politik yang sedang terjadi.
          Mereka menegaskan posisi politiknya dengan menyatakan bahwa mereka mengakui pemerintahan Bani Umayyah karena kenyataannya Bani Umayyah adalah Khalifah yang sedang berkuasa.
          Mereka tidak memberi penilain terhadap semua kelompok yang bertikai. Mereka juga mengatakan bahwa kaum muslimin yang tidak kuasa melawan kekuasaan Bani Umayah yang telah merebut kekhalifahan dengan kekerasan dan banyak berbuat dzalim tidaklah mengurangi nilai keiimanannya.
          Pokok pikirannya ini kemudian berkembang menjadi theologi Murji’ah yang berpendapat bahwa iman itu cukup dengan keyakinan yang mantap didalam hati, adapun perkataan dan perbuatan tidak termasuk dalam iman. Sebagaimana  amal kebaikan tidaklah membawa manfaat bagi orang yang kafir, mereka juga berpendapat bahwa dosa-kemaksiatan tidaklah mempengaruhi keimanan seorang muslim yang hatinya tetap mantap pada Islam.




Firqoh Murjia’h terbagi dalam beberapa sekte, diantaranya :
a.     Yunusiah, pengikut Yunus bin ‘Ain An Numairi, berpendapat bahwa iman itu ma’rifat kepada Allah, tunduk dan cinta dalam hati secara yakin. Seseorang yang berbuat maksiat tidaklah merusak keimanannya.
b.     Ghassaniah, pengikut Ghassan Al-Murji, berpendapat iman itu adalah ikrar atau mencintai dan membersihkan. Iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang. Masalah-masalah diluar iman, tidaklah mempengaruhi kepada iman. Seperti tuhan mewajibkan naik haji, tapi ada orang yang tidak tahu apakah Ka’bah itu di India atau di negara lain, maka orang tersebut tetap sebagai mukmin bukan kafir.
c.     Tsaubaniah, pengikut Abi Tsauban Al-Murji, berpendapat bahwa iman adalah ma’rifah atas dasar ikrar atas Allah dan Rasul-Nya. Masalah amal bagi sekte ini merupakan soal kedua saja. Abi Mu’az at-Tumany dengan pengikut-pengikutnya yang dikenal dengan at-Tumaniah berpendapat, iman berintikan ma’rifah, membenarkan, mahabbah, ikhlas dan iqrar atas segala yang dibawa oleh Rasulullah. Inilah inti dari iman, selain itu tidak akan membawa kepada kekufuran. Seseorang yang menyembah kepada matahari atau bulan pada dasarnya bukan kafir tetapi mengandung benih kekafiran.
d.     Al-Marisah, pengikut Bisyr Al-Murisy tidak begitu berbeda dengan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan sebelumnya diatas. Mereka mengatakan, iman itu adalah membenarkan dengan hati dan ikrar dengan lisan. Kekafiran terjadi kalau menentang dan ingkar. Tapi kalau seseorang sujud kepada berhala atau matahari, dia tidak kafir tetapi menyandang tanda-tanda saja dari kekafiran.
e.     As-Shalihiah, pengikut Abdul Hasan As-Salehi, berpendapat iman itu mengetahui Tuhan dan kalau kufur adalah tidak mengetahui Tuhan. Mereka berpendirian bahwa iman adalah ibadat dalam arti ma’rifah kepada Tuhan. Sedang amal saleh seperti shalat, zakat, puasa, haji semuanya hanyalah gambaran dari kepatuhan tidak termasuk ibadah kepada Allah. Sedang ibadahnya sendiri itu adalah iman.



VIII.            Aliran Qadariyah

          Qadariah pertama kali muncul sekitar tahun 70 H / 689 M, dipimpin oleh Ma’bad Al Juhni Al Bisri dan Ja’ad bin Dirham pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (687-705 M). Tetapi ada juga pendapat yang mengatakan bahwa yang pertama kali mengajarkan faham Jabariyah adalah seorang Kristen bernama Abu Yunus Sansaweh di Iraq.
          Latar belakang timbulnya firqoh Qadariyah ini sebagai isyarat menentang kebijaksanaan politik Bani Umayyah yang dianggap kejam dan dzalim. Apabila firqoh Jabariyah berpendapat bahwa khalifah Bani Umayyah membunuh orang, hal itu karena sudah ditakdirkan Allah dan hal ini berarti merupakan ‘legitimasi’ kekejaman Bani Umayyah, maka firqoh Qadariyah mau membatasi masalah takdir tersebut.
          Mereka mengatakan bahwa kalau Allah itu adil, maka Allah akan menghukum orang yang bersalah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat kebajikan. Manusia harus bebas memilih dalam menentukan nasibnya sendiri dengan memilih perbuatan yang baik atau yang buruk. Jika Allah telah menentukan takdir manusia dan memaksakan berlakunya, maka Allah itu zalim. Mengapa Allah menyiksa manusia karena sesuatu yang telah ditadirkan dan dipaksakan terjadi oleh Nya ? Karena itu manusia harus merdeka memilih atau ikhtiar bebas atas perbuatannya.
          Orang-orang yang berpendapat bahwa amal perbuatan dan nasib manusia hanyalah tergantung pada takdir Allah saja, selamat atau celaka sudah ditentukan oleh takdir Allah sebelumnya, pendapat tersebut adalah sesat. Sebab pendapat tersebut berarti menentang keutamaan Allah dan berarti menganggapNya pula yang menjadi sebab terjadinya kejahatan-kejahatan. Mustahil Allah melakukan kejahatan. Jadi firqoh Qadariyah menolak adanya takdir Allah dan berpendapat bahwa manusia bebas merdeka menentukan perbuatannya.

Firqoh Qadariyah mendasarkan ajarannya kepada beberapa ayat Al-Qur’an :
“Katakanlah, kebenaran itu datang dari Tuhanmu. Siapa yang mau beriman maka berimanlah dan siapa yang mau kafir maka kafirlah ia.” (QS Al-Kahfi :29).

“Berbuatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya Dia melihat apa yang kamu perbuat.” (QS Fushilat : 40).
“Bagaimana apabila bencana menimpa diri kamu sedang kamu telah menimpakan bencana yang berlipat ganda, sedang kamu bertanya : Dari mana datangnya (kekalahan) ini ? katakanlah dari kamu sendiri.” (QS Al-Imran : 164).

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka sendiri yang merubahnya.” (QS Ar-Ra’d : 11)

          Faham Qadariyah segera mendapat pengikut yang cukup banyak. Karena ajarannya dianggap membahayakan kekuasaan Bani Umayah, dengan alasan ajaran Qadariyah dianggap menyimpang dari syariat dan membahayakan ketertiban umum. Penguasa Bani Umayah, melalui Panglima Hajjaj bin Yusuf menangkap Ma’bad Al Juhni dan beberapa pengikutnya kemudian dihukum mati di Damaskus pada tahun 80 H/690 M.
          Gailan Ad Dimsyaqi adalah salah satu tokoh Qadariyah, penduduk kota Damaskus. Ayahnya pernah bekerja pada Khalifah Usman bin Affan. Ia datang ke Damaskus pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam bin Abdul Malik (102-125 H). Gailan juga dihukum mati karena faham Qadariyahnya.
          Sehubungan pendapat-pendapat Qadariyah tersebut, sebelumnya ada Hadits Nabi Muhammad SAW sebagai berikut :
Dari Hudzaifah ra. berkata : “Rasulullah bersabda : Bagi tiap-tiap umat ada Majusinya. Dan Majusi umatku ini ialah mereka yang mengatakan bahwa tidak ada takdir. Barangsiapa diantara mereka itu mati, maka janganlah kalian menshalati jenazahnya. Dan barangsiapa diantara mereka itu sakit, maka janganlah kalian menjenguknya. Mereka adalah golongan Dajjal dan memang ada hak bagi Allah untuk mengkaitkan mereka itu dengan Dajjal itu.” (HR Abu Dawud).

          Mereka dikatakan Majusi karena berpendapat ada dua pencipta, yaitu pencipta kebaikan dan keburukan. Hal ini sama persis dengan ajaran agama Majusi (Zoroaster) yang mengatakan ada Tuhan Terang (Ahura Mazda) dan ada Tuhan Gelap (Ahriman).


        
IX.   Aliran Jabariyah

Firqoh Jabariyah timbulnya hampir bersamaan dengan timbulnya Qadariyah dan tampaknya merupakan reaksi daripadanya. Daerah tempat timbulnya juga tidak berjauhan. Qadariyah muncul di Iraq, sedangkan Jabariyah muncul di Khurasan (Iran).
        Pemimpinnya yang pertama adalah Jahm bin Sofyan, oleh sebab itu kadang firqoh ini disebut Jahmiyah. Ajaran-ajarannya banyak persamaannya dengal aliran Qurro’ agama Yahudi dan aliran Yacobiyah agama Nasrani.
Pada mulanya Jahm bin Sofyan adalah juru tulis dari seorang pemimpin bernama Suraih bin Harits Ali Nashar bin Sayyar yang memberontak di daerah Khurasan terhadap kekuasaan Bani Umayyah. Dia terkenal orang yang tekun dan rajin menyiarkan agama. Fatwanya yang menarik adalah bahwa manusia tidak mempunyai daya upaya, tidak ada ikhtiar dan tidak ada kasab. Segala perbuatan manusia itu terpaksa (majbur) diluar kemauannya, sebagaimana keadaan bulu ayam terbang kemana arah angin bertiup atau sepotong kayu ditengah lautan mengikuti arah hempasan ombak. Singkatnya bahwa orang-orang Jabariyah berpendapat manusia itu tidak mempunyai daya ikhtiar, semuanya sudah ditakdirkan, segala gerak perbuatan manusia dipaksa oleh adanya kehendak Allah, jadi merupakan kebalikan dari faham Qadariyah.
Jabariyah berpendapat bahwa hanya Allah sajalah yang menentukan dan memutuskan segala amal perbuatan manusia. Semua perbuatan manusia itu sejak semula sudah diketahui Allah dan semua amal perbuatan itu adalah berlaku dengan kodrat dan iradat-Nya. Manusia tidak mencampurinya sama sekali. Usaha manusia sama sekali bukan ditentukan oleh manusia sendiri. Kodrat dan Iradat Allah adalah mencabut kekuasaan manusia sama sekali. Pada hakikatnya segala perbuatan dan gerak-gerik manusia semuanya merupakan paksaan (majbur) oleh Allah semata-mata. Kebaikan dan kejahatan itupun semata-mata paksaan pula, sekalipun nantinya manusia memperoleh balasan surga atau neraka.
Pembalasan berupa surga atau neraka itu bukan sebagai ganjaran atas kebaikan dan kejahatan yang diperbuat manusia semasa hidupnya. Surga dan neraka itu semata-mat abukti kebesaran Allah dalam Kodrat dan Iradat-Nya.
Kalau manusia itu diserahi kodrat dan iradat sendiri dalam mewujudkan usahanya dan Allah saja yang menanggung kodrat dan iradat yang menentukan perbuatan manusia tersebut, hal itu sulit diterima. Ibaratnya orang yang diikat lalu dilemparkan kelaut, seraya diserukan kepadanya  “Jagalah dirimu, jangan sampai tenggelam.”
Akan tetapi faham Jabariyah ini melampaui batasm, sehingga berkeyakinan bahwa tidak berdosa kalau berbuat kejahatan, karena yang berbuat itu pada hakekatnya Allah juga. Sesatnya lagi, mereka berpendapat bahwa bila seseorang mencuri maka pada hakekatnya Allah juga yang melakukan pencurian. Bila seseorang mengerjakan shalat maka Tuhan pula yang melakukan shalat. Jadi kalau orang yang berbuat buruk atau jahat lalu dimasukkan kedalam neraka, maka Tuhan itu tidak adil, karena apapun yang diperbuat manusia kebaikan atau keburukan tidak satupun lepas dari kodrat dan iradat Nya.
Sebagian pengikut Jabariyah beranggapan telah bersatu dengan Tuhan. Disini menimbulkan faham wihdatul wujud, yaitu manunggaling kawulo gusti, bersatunya manusia dengan Tuhan.



Jabariyah dalam fahamnya, mendasarkan pada beberapa ayat Al-Qur’an :

“Tidak dapat kamu berbuat adil diantara perempuan-perempuan itu …” (QS An-Nisa’ : 129).

“Perhatikanlah pada hari kiamat yang amat susah itu, alalu mereka diseru supaya sujud” (Al-Qalam : 24).

“Mereka sebenarnya tidak akan percaya, sekirannya Allah tidak menghendaki” (QS Al-An’am : 112).
“Allah menciptakan kamu dan apa-apa yang kamu perbuat” (QS As-Shaffat : 96).

“Bukanlah engkau yang melempar ketika engkau melempar (musuh) tetapi Allah lah yang melempar (mereka)” (QS Al-Hadid : 22).

“Tidak ada bencana yang menimpa di bumi dan diri kamu, kecuali telah (ditentukan) didalam kitab sebelum ia kamu ciptakan.” (QS Al-Insan : 30).

Faham jabariyah dalam dalam theologi Islam mirip dengan faham fatalisme dalam filsafat, yaitu beranggapan secara determinis bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan dan kebebasan, sebab segala-galanya telah ditentukan sebelumnya. Bagi mereka yang berfaham Deteminis Theologi maka ketentuan itu datang dari alam makrokosmos dan mikrokosmos sebagaimana tampak dalam filasafat Tiongkok kuno, filsafat Mesir kuno dan filsafat Parmenides dari Yunani. Aliran Determinis Theologi berpendapat segala-galanya telah ditentukan oleh Tuhan, sehingga manusia tidak dapat berbuat apa-apa selain menjalani takdirnya yang dipaksakan kepadanya. Mereka rela tunduk kepada ketentuan takdir (fatalist) yang telah ditetapkan sebelumnya (predestination) tanpa ada ikhtiar bebas dan mereka menolak adanya kehendak bebas (libre ar bitre).



X.            Aliran Mu’tazilah

Kata Mu’tazilah berasal dari kata ‘itazala, artinya menyisihkan diri. Imam Hasan Al Basri (wafat 110 H) adalah seorang tabi’in besar di Basrah yang mempunyai perguruan di Masjid Raya kota Basrah. Diantara murid-muridnya yang tergolong pandai adalah Washil bin Atho’ (wafat 131 H). Suatu hari Imam Hasan Al Basri menerangkan bahwa seorang muslim yang melakukan dosa besar, lalu ia meninggal sebelum bertaubat, menurut Imam Hasan Al Basri orang itu tetap muslim, hanya saja muslim yang durhakan dan nanti kelak di akhirat akan dimasukkan neraka sebagai hukum atas perbuatan dosanya sampai batas waktu tertentu. Setelah itu ia akan dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga.
Washil bin Ato’ menyanggah pendapat gurunya tersebut dan mengemukakan pendapat yang berbeda. Ia berpendapat bahwa seorang muslim yang melakukan dosa besar dan meninggal sebelum ber-taubat termasuk fasik, tidak muslim dan tidak kafir. Di ahirat nanti akan berada pada suatu tempat antara surga dan neraka. Karena itu Washil memisahkan diri dari majelis gurunya dan membentuk halaqoh pengajian sendiri disalah satu sudut masjid Basrah. Washil bin Atho’ diikuti oleh salah seorang temannya yang setia yaitu Amr bin Ubaid (wafat 144 H). Terjadinya peristiwa tersebut merupakan awal timbulnya firqoh Mu’tazilah. Saat itu Khalifah Bani Umayyah yang sedang berkuasa adalah Hisyam bin Abdul Malik (101 – 125 H).

Pusat pergerakan Aliran Mu’tazilah :
1.  Basrah, pada permulaan abad ke-2 Hijriah, dipimpin Washil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid. Pada permulaan abad ke-3 Hijriah dipimpin oleh Abu Hudzail Al Allaf (w. 221 H), Ibrahim bin Sayyar An Naddham (w 221 H), Abu Basyar Al Marisi (w 218 H), Utsman Al Jahiz (w 255 H), Ibnu Al Mu’ammar (w 210 H) dan Abu Ali Al Juba’i (w 303 H).
2.     Baghdad, dipimpin oleh Basyar bin Al Mu’tamar dibantu oleh Abu Musa Al Murdan, Ahmad bin Abi Dawud (w 240 H), Ja’far bin Mubasysyar ( w 234 H) dan Ja’far bin Harib Al Hamdani (w 235 H).

Ajaran-ajaran Mu’tazilah mendapat dukungan dari penguasa Bani Umayyah yaitu Khalifah Yazid bin Walid (125-126 H), sedangkan dari Bani Abbasyah : Al Ma’mun (198-218 H), Al-Mu’tashim (218-227 H), Al-Watsiq (227-232 H). Karena didukung penguasa faham-faham Mu’tazilah menjadi tersebar luas. Ulama-ulama Mu’tazilah yang terkenal, diantaranya :
1.     Utsman Al Jahiz (w. 255 H) mengarang kitab Al Hiwan.
2.     Syarif Radli (w. 406 H) mengarang kitab Majazul Qur’an.
3.     Abdul Jabbar bin Ahmad, lebih dikenal dengan Qadli Qudlot, mengarang kitab Syarah Ushulil Khamsah.
4.     Zamakhsyari (w. 528 H) mengarang kitab tafsir Al-Kasysyaf.
5.     Ibnu Abil Haddad (w. 655 H) mengarang kitab Syarah Nahjul Balaghah.

Aliran Mu’tazilah banyak terpengaruh oleh unsur-unsur dari luar Islam. Mereka dikenal giat mempelajari kitab-kitab filsafat Yunani untuk mempertahankan pendapat-pendapatnya, terutama filasaf Platodan Aristoteles. Ilmu logika sangat menarik perhatian mereka, karena menunjang berfikir logis dan sistematis. Aliran Mu’tazilah dikenal lebih mengedepankan akal pikiran (rasio) dan liberal, baru sesudah itu merujuk pada nash-nash Al-Qur’an atau hadits.
          Ciri khas lainnya dari kelompok Mu’tazilah adalah suka berdebat, terutama dihadapan umum. Mereka yakin dengan kemapuan logika dan akal pikiran mereka, kerena itu mereka suka berdebat dengan siapa saja yang berbeda pendapat dengan mereka.
        Meskipun firqoh Mu’tazilah terpecah lagi menjadi 22 sekte, namun semuanya masih mempunyai lima prinsip ajaran yang mereka sepakati yaitu ushulil khamsah, yaitu :
1.     Tauhid, bahwa Allah itu Esa. Mereka menolak sifat-sifat Allah, menetapkan sifat-sifat bagi Allah dianggap menodai ke Esa an Allah.
2.     Keadilan Tuhan, menetapkan bahwa Allah itu adil memberi pahala bagi yang berbuat baik dan menyiksa yang berbuat dosa, mendukung faham kehendak bebas (Qadariah) dan menolak paham Jabariyah.
3.     Janji dan Ancaman, Mereka berpendapat karena Allah itu Maha Adil, maka mereka mewajibkan bagi Allah memberi pahala dan surga bagi yang berbuat baik dan menyiksa dalam neraka bagi yang berbuat jahat. Kalau hal itu tidak dipenuhi maka Allah dinilai tidak adil.
4.     Manzilah baina Manzilatain (tempat diantara dua tempat), seorang muslim yang melakukan dosa besar maka menjadi fasik yaitu diantara muslim dan kafir. Bila sampai meninggal belum bertaubat, mereka berpendapat orang tersebut akan berada pada suatu tempat diantara surga dan neraka.
5.     Amar ma’ruh nahi munkar, mereka dikenal gigih memberantas pemikiran-pemikiran sesat aliran kebatinan dan yang tidak rasional. Bahkan sampai kepada hal-hal yang melampaui batas yaitu ketika mereka dengan dukungan penguasa Bani Abbas mempropagandakan kemahklukan Al-Qur’an.

Peristiwa Mihnah
Pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid, salah seorang ulama Mu’tazilah bernama Basyar Al Marisy melontarkan pendapat bahwa “Al-Qur’an adalah makhluk”. Pada waktu itu Khalifah Harun Al-Rasyid mengancam orang-orang yang berpendapat seperti itu dengan hukuman yang berat. Bahkah Khalifah Harun Al-Rasyid pernah berkata : “Jika Allah SWT memberiku umur panjang, bila aku berjumpa dengan Basyar, niscaya akan aku bunuh dia dengan pembunuhan yang belum pernah aku jatuhkan kepada orang lain.”
Maka Basyar Al Marisy pun ketakutan dan menyembunyikan diri dalam waktu sekitar 20 tahun, hingga Khalifah Harun Al-Rasyid meninggal. Sepeninggal Khalifah Harun Al-Rasyid, barulah Basyar keluar menampakkan diri dan menyebarkan fahamnya ditengah masyarakat ramai. Maka ajaran ini menjadi buah bibir dan pembicaraan yang ramai ditengah masarakat, namun Khalifah Al-Amin pengganti ayahnya Harun Al-Rasyid masih bisa mengatasinya dan memberikan ancaman dan hukuman berat kepada orang-orang yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.
Ketika pemerintahan berada pada Khalifah Al-Ma’mun (saudara Al-Amin), orang-orang Mu’tazilah mendapat hati disisi Khalifah dan mereka berhasil mempengaruhi Khalifah Al-Ma’mun dan mendukung faham bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.
Khalifah Al-Ma’mun (198-218 H) dikenal penganut dan pendukung utama aliran rasionalis Mu’tazilah. Atas usulan menterinya yang menjabat sebagai Qadhi Qudhat bernama Ahmad bin Abi Daud yang juga pentolah aliran Mu’tazilah. Pada tahun 215 H Khalifah Al-Ma’mun yang sedang berada di Tharsus memerintahkan pejabatnya di Baghdad yang bernama Ishaq bin Ibrahim yang juga seorang penganut Mu’tazilah untuk memprogandakan ajaran “Al-Qur’an adalah Makhluk” dan memaksakan faham itu kepada seluruh rakyat dan para ulama.
Menurut kitab Tarikh At-Thabari, dalam suratnya kepada Ishaq bin Ibrahim, Al-Ma’mun menuliskan  :
“Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya.” (QS Az-Zukhruf : 3)
Semua orang tahu bahwa apa pun yang Allah jadikan adalah merupakan coptaan-Nya dengan demikian dia (Al-Qur’an) adalah makhluk. Sedangkan Allah berfirman :
“Dan Dia jadikan kegelapan dan cahaya.” (QS Thaha : 99)
dan firman-Nya :
“Demikianlah kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang telah lalu.” (QS Thaha : 99).
Dalam dua ayat ini Allah memberitahukan bahwa Dia mengisahkan beberapa kisah yang terjadi setelah Dia ciptakan. Allah jug berfirman :
“(Inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci.” (QS Hud : 1)
Allah telah menyusun kitab-Nya dengan rapi dan menjelaskannya. Dengan demikian jelas Dia adalah pencipta Al-Qur’an, maka yang diciptakan berarti makhluk.”
(perhatikan betapa rasionalnya cara pemikiran kaum Mu’tazilah)
Hampir semua ulama besar dipanggil ke Baghdad untuk diuji apakah mereka sependapat dengan faham mereka. Bila tidak sependapat para ulama itu dipaksa bahkan disiksa. Akhirnya sebagian besar ulama banyak yang dengan terpaksa pura pura mengikuti pendapat mereka karena takut dibunuh.
Salah satu ulama yang diinterogasi adalah Imam Ahmad bin Hanbal, beliau satu-satunya yang tidak mau mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Berikut ini tanya jawab antara Ishaq bin Ibrahim dengan Imam Ahmad bin Hanbal :

Ishaq bin Ibrahim   : “Bagaimana pendapatmu tentang Al-Qur’an ?”
Ahmad bin Hanbal : “Al-Qur’an adalah Kalamullah.”

Ishaq bin Ibrahim   : “Apakah ia makhluk ?”
Ahmad bin Hanbal : “Ia Kalamullah aku tidak menambahi yang lebih dari itu.”

Ishaq bin Ibrahim   : “Apakah arti bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha Melihat ?”
Ahmad bin Hanbal : “Itu seperti apa yang Dia sifatkan kepada diri-Nya.”

Ishaq bin Ibrahim   : “Apa maksudnya ?”
Ahmad bin Hanbal : “Aku tidak tahu, Dia seperti apa yang Dia sifatkan bagi diri-Nya.”

Karena pendiriannya itu Imam Ahmad bin Hanbal dipenjara dan dihukum cambuk dan aneka perlakuan kasar lainnya. Salah seorang sahabatnya yang bernama Abu Bakar Al Mawarzi, ketika menjenguknya berusaha membujuk dan menasehati beliau : “Ahmad, mereka memukuli anda, padahal Allah telah berfirman : Janganlah kamu menjatuhkan dirimu dalam kebinasaan.” Maka Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Silahkan nada keluar dari sini, dan lihatlah yang diluar sana.” Maka Abu Bakar Al Mawarzi pun melihat keluar dilihatnya banyak orang berkerumun diserambi istana Khalifah membawa kertas dan pena. Abu Bakar Al Mawarzi pun bertanya, “Untuk apa kalian membawa kertas dan pena ?” Orang-orang itu menjawab, “Kami menunggu dan akan menuliskan apa yang diucapkan Imam Ahmad bin Hanbal.” Abu Bakar Al Mawarzi kembali lagi dan menceritakan hal itu kepada Imam Ahmad bin Hanbal, kemudian Imam Ahmad berkata : “ Wahai Mawarzi apakah aku akan menyesatkan mereka semua ?, aku yakin tidak. Biarlah aku mati, asalkan aku tidak menyesatkan orang-orang itu.” Abu Bakar Al Mawarzi lalu berguman : “Ia mengorbankan dirinya karena Allah.”
Nyaris saja Imam Ahmad bin Hanbal akan dibunuh, kalau saja tidak datang khabar dari Tharsus bahwa Khalifah Al-Ma’mun telah meninggal secara mendadak.
Sepeninggal Al-Ma’mun faham Al-Qur’an adalah makhluk masih dilanjutkan oleh Khalifah penggantinya yaitu Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq. Propaganda itu baru berhenti setelah ada peristiwa Al-Watsiq menginterogasi seorang ulama bernama Abu Abdurrahman Abdullah bin Muhammad Adzrami (guru Imam Abu Dawud dan Imam An-Nasa’i) yang juga dihadiri oleh tokok-tokoh ulama Mu’tazilah
Al-Watsiq bertanya kepada para tokoh Mu’tazilah : “Beritahukan kepada saya tentang seruan kalian kepada manusia itu –maksudnya tentang kemakhlukan Al-Qur’an- apakah Rasulullah mengetahuinya, namun dia tidak menyerukannya kepada manusia, atau beliau sama sekali tidak mengetahuinya ?”
Seorang ulama Mu’tazilah,  berkata : “Rasulullah pasti tahu tentang itu.”
Abu Abdurrahman Abdullah bin Muhammad Adzrami yang dalam keadaan diborgol, berkata : “Rasulullah mampu bersabar tidak menyeru manusia kepada apa yang diketahuinya, sedangkan kalian tidak mampu.”
Mendengar jawaban yang diplomatis dan cerdik itu Al-Watsiq kagum bercampur geli dan akhirnya menghentikan propaganda tentang kemakhlukan Al-Qur’an.

Disamping lima prinsip dasar (ushulil khomsah) dan Al-Qur’an adalah makhluk, ada beberapa ajaran-ajaran mereka yang lain, diantaranya :
a.     Menolak memberikan sifat kepada Allah (Maha Mendengar, Maha Melihat, dsb) karena hal itu dianggap menodai ke Esa-an Allah.
b.     Baik dan buruk itu berdasarkan akal.
c.     Orang yang berdosa besar akan kekal dalam neraka
d.     Perbuatan manusia itu usaha bebas sendiri.
e.     Allah tidak bisa dilihat walaupun di Akhirat kelak.
f.       Surga dan neraka tidak kekal.
g.     Alam semesta itu qadim.



XI.    Aliran Shifatiyyah

Aliran Shifatiyyah adalah faham yang menerima adanya sifat-sifat Allah yang dikhabarkan dalam nash Al-Qur’an dan Hadits (sifat khabariyah). Aliran ini bertentangan dengan faham Mu’tazilah yang menolak memberikan sifat khabariah bagi Allah. Aliran Shifatiyyah dibagi menjadi empat sekte, yaitu :
1.     Musyabbihah / Mujasimah (Anthropomorpisme), yaitu memegangi sifat khabariyah tentang tasybih dan tajsim berdasarkan makna literalnya. Syiah Bayaniah, pengikut Bayan bin Sam’an menyatakan bahwa Tuhan tercipta dari cahaya yang berbentuk tubuh sebagaimana manusia dan semuanya akan hancur terkecuali ‘wajah’ nya saja. Syiah Mughiyitah pimpinan Al-Mughirah bin Said mengatakan Tuhan itu laki-laki, berjisim (bertubuh) dari cahaya, diatas kepalanya ada mahkota yang juga dari cahaya, memiliki jantung yang memancarkan ilmu-ilmu hikmah

2.     Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
a.     Asy’ariyah, pengikut Imam Abu Hasan Al-Asy’ari.
b.     Maturidiyah, pengikut Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
Imam Muhammad As Zabidi dalam kitab Ittikaf Sadatul Muttaqin, Juz II halaman 6 menyatakan :
“Bila dinyatakan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka maksudnya adalah aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah ”

3.     Aliran Khalaf (mutakallimin), yaitu sebagian ulama setelah abad ke-3 Hijriah yang menta’wilkan ayat-ayat tasybih dan tajsim yang ada qarinah itu lafazh majazi yang masih memungkinkan untuk di ta’wilkan dari makna hakikatnya, guna menghindari penyerupaan Allah dengan makhluknya.

Contohnya :
a. “Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah, tangan Allah diatas tangan mereka.”  (QS Al-Fath : 10)
Ulama khalaf menafsirkan kata “tangan Allah” dengan kekuatan, kekuasaan dan keridloan Allah.

b. “Dan buatlah perahu dengan mata Kami dan wahyu kami.” (QS Hud : 37).
     Kata “mata Kami” ditafsirkan dengan pengawasan Kami.

c.  “Tuhan yang Rahman bersemayam diatas Arsy.” (Q Thaha : 5)
Kata “bersemayam” ditafsirkan dengan berkuasa.

d.  “Dan datanglah Tuhanmu, sedang para Malaikat berbaris-baris” (QS Al Fajr : 22).
Kata “datang Tuhanmu” ditafsirkan datang perintah Tuhanmu.

e. “Aduhai, sesalanku atas kelalaianku dalam mengurus sisi rusuk Tuhanku.” (QS Az Zumar : 56)
     Kata “sisi rusuk Tuhanku” ditafsirkan dengan menunaikan kewajiban tuhan.

f.  “Segala yang didunia akan lenyap binasa, dan yang akan kekal hanyalah wajah Tuhanmu.” (QS Ar Rahman : 26)
Kata “wajah” ditafsirkan dengan dzat Tuhan.

g. “Dan Dia (Allah) bersama kamu dimana saja kamu berada.” (QS AL-Hadid : 4)
Kata “bersama kamu” ditafsirkan dengan melihat, mengetahui, mendengar dan memantau

h. “Adakah kamu merasa ama terhadap (Tuhan) yang dilangit itu, bahwa kamu akan ditenggelamkan kedalam bumi, yang ketika itu berguncang keras ?” (QS Al Mulk : 16)
Kata “di langit” ditafsirkan diketinggian (kemulyaan) dzatNya dan langit kekuasaannya.

i.   Hadits Riwayat Bukhari :
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda : “Tuhan kita, tiap-tiap malam turun kelangit dunia pada ketika tinggal sepertiga malam yang terakhir, lalu Dia berkata : ‘Siapakah yang akan berdo’a maka Aku kabulkan, siapakah yang meminta maka akan Aku beri, siapakah yang mohon ampunan, maka Aku ampuni.”
Kata “turun” ditafsirkan dilimpahkan Rahmat Allah.

j.        Hadits riwayat Bukhari dan Muslim :
“Kepada neraka jahanam selalu dilemparkan sesuatu, dan ia selalu bertanya : ‘Adakah tambahannya ?’ sampai tuhan meletakkan tumit-Nya dalam neraka jahanam itu, sehingga berhimpit isi neraka itu yang satu dengan yang lainnya, lalu jahanam berkata : ‘Cukuplah, cukup’.”
Kata ‘qadamahu” tidak ditafsirkan “tumit Allah” tapi semua orang-orang penghuni neraka.

k.      Hadits riwayat Muslim :
“Bahwasanya hati anak Adam seluruhnya terletak diantara dua anak jari Tuhan yang Rahman.”
Kata “diantara anak jari” ditafsirkan anatara sifat Qudrat dan Iradat Allah.

l.        Hadits riwayat Muslim:
“Tuhan menjadikan Adam atas rupa (citra) Nya.”
Kata rupa ditafsirkan dengan kehendak Nya.

m.   Hadits riwayat Bukhari dan Muslim
“Barangsiapa bersedekah setimbang kurma hasil pencarian yang halal niscaya Tuhan menerima sedekah itu dengan tangan kanan-Nya.”
Kata “tangan kanan-Nya” ditafsirkan dengan keridloan-Nya.


4.     Aliran Salaf,  yaitu mengimani semua nash Al-Qur’an dan Hadits yang mengandung tasybih, tajsim dan sifat khabariyah Allah tetapi tanpa mau membahas mendetail dan tidak mau memberikan ta’wilnya. Ulama-ulama yang beraliran seperti ini antara lain : Imam Malik bin Anas, Muqatil bin Sulaiman, Sufyan Tsauri, Dawud bin Ali Al-Ashafani, Harits bin Asad Al Muhasibi. Diantara perkataan aliran salaf  :

“Kami beriman dengan segala apa yang diberitakan didalam Kitab dan Sunnah, dan kami tidak mencoba menafsirkannya, mengetahui dengan yakin bahwa Allah tidak seupa dengan makhluk apa pun dan bahwa semua pencitraan yang kami katakan mengenai Dia, berdasarkan yang diciptakan sendiri oleh-Nya dan berasal dari diri-Nya.”



XII.   Aliran Ahlussunnah wal Jama’ah

A.    Asy’ariyah
Aliran ini disandarkan kepada perumusnya yaitu Imam Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324 H). Mula-mula beliau berguru kepada tokoh Mu’tazilah bernama Abu Ali Al Jubai yang juga merupakan bapak tirinya. Beliau pun juga dikenal sebagai penganut faham Mu’tazilah yang utama. Imam Abu Hasan Al-Asy’ari juga sering diminta menggantikan mengajar di majelis pengajian gurunya Al-jubai. Namun seiring perjalanan waktu, dikemudian hari beliau merasa ketidakcocokan dengan aliran Mu’tazilah. Hal itu mencapai puncaknya setelah terjadi diskusi-perdebatan antara Imam Asy’ari dengan gurunya Al-Jubai ;

Asy’ari  : Bagaimana menurut pendapat anda tentang tiga orang yang meninggal dalam keadaan berlainan : mukmin, kafir dan anak kecil.
Al Jubai :  Orang mukmin masuk surga, orang kafir masuk neraka dan anak kecil selamat dari neraka.
Asy’ari   :   Apabila anak kecil itu ingin masuk surga, apakah mungkin ?
Al Jubai :   Tidak mungkin, bahkan dikatakan kepadanya bahwa surga itu dapat dicapai dengan taat kepada Allah, sedangkan engkau (anak kecil) belum beramal seperti itu.
Asy’ari   : Seandainya anak kecil itu berkata : memang aku belum beramal. Seandainya aku dihidupkan sampai dewasa, tentu aku akan beramal seperti amalnya orang mukmin.
Al Jubai :  Allah akan menjawab : Aku mengetahui bahwa seandainya engkau sampai umur dewasa niscaya engkau bermaksiat dan engkau akan masuk neraka. Karena itu Aku sengaja mematikanmu sebelum engkau dewasa.
Asy’ari  : Seandainya orang kafir itu bertanya kepada Allah : Engkau telah mengetahui keadaanku sebagaimana mengetahui keadaan si anak kecil, mengapa Engkau tidak menjaga kemaslahatanku dan mematikan aku selagi masih kecil ?
                 (maka Al Jubai terdiam, tidak mampu menjawab)

        Beberapa waktu lamanya ia merenungkan dan mempertimbangkan antara ajaran-ajaran Mu’tazilah dan faham ahli fiqih-Hadits. Ketika mencapai umur 40 tahun, Imam Abu Hasan Al-Asy’ari mengurung diri dirumahnya selama 15 hari untuk memikirkan hal tersebut. Pada hari jum’at, dia naik mimbar Masjid Basrah, menyatakan secara resmi keluar dari aliran Mu’tazilah dengan berpidato :
“Wahai sekalian manusia, barang siapa mengenalku sungguh dia telah mengenalku. Barangsiapa belum mengenalku, maka aku mengenalnya sendiri. Aku adalah fulan bin fulan, dahulu aku berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk; bahwa sesungguhnya Allah tidak melihat dengan mata; bahwa perbuatan-perbuatan jelek aku sendiri yang memperbuatnya. Aku bertaubat dan menolak faham-faham Mu’tazilah dan keluar daripadanya.”
Imam Abu Hasan Al Asy’ari setelah keluar dari Mu’tazilah beliau merumuskan ajaran-ajarannya kembali berdasarkan manhaj salafus saleh, beliau mengikuti pendapat imam Malik bin Anas dan Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau merumuskan ajarannya berada ditengah-tengah antara kaum Mu’tazilah yang rasionalis-liberalis dengan kaum Anthropomorpis-literalis.
Beliau kembali ke manhaj salaf dengan mendasarkan kepada nash Al-Qur’an dan Hadits, tetapi menerangkannya dengan menggunakan metode scholastis yang rasional sebatas memperkuat dan menjelaskan pemahaman nash. Ternyata perumusan ajaran-ajaran beliau diterima oleh mayoritas umat Islam.
Imam Abu Hasan Asy’ari  pernah mengatakan :
“Sesungguhnya banyak pengikut aliran Mu’tazilah dan Qadariyah yang menuruti hawa nafsu mereka untuk bertaqlid pada pimpinan-pimpinan mereka dan orang-orang yang mendahului mereka, sehingga mereka mentakwilkan Al-Qur’an menurut pendapat mereka sendiri, degan suatu ta’wilan dimana Allah tidak menurunkan padanya suatu kekuasaan dan tidak menjelaskan padanya suatu bukti dan merekapun tidak menukilkan dari Rasul, begitu pula tidak dari orang-orang salaf terdahulu.”
Seorang Ulama dan peneliti asal Mesir, Dr. Muhammad Abu Zahrah menuliskan metodologi dan pemikiran Imam Hasan Asy’ari sebagai berikut :
1.     Menempatkan Al-Qur’an dan hadits sebagai sumber inspirasi akidah dan sebagai bahan argumentasi atas segala macam bantahan yang datang. Maka dapat diartikan, bahwa AL-Qur’an maupun Hadits sebagai dasar metodologi berhujjah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah).
2.     Meletakkan tekstual nash (Dhawahur An Nushus) yang masih mungkin membutuhkan interpretasi dan masuk dalam kategori tasybih, tanpa harus dipaksakan masuk dalam tasybih secara murni. Dalam hal ini mempunyai dampak atau konsekuensi logis, bahwa ia tidak bisa lepas dari sebuah pemahaman kalau Allah mempunyai wajah, akan tetapi sangat berbeda dengan wajah semua mahkluk-Nya. Demikian pula mempunyai tangan yang tidak sama dengan tangan makhluk-nya.
3.     Memperbolehkan berhujjah dalam hal akidah, meskipun bersumber dari hadits-hadits ahad. Sebagai bukti, bahwa sebenarnya hadits ahad pun sah-sah saja sebagai pedoman. Secara tegas ia menjelaskan, betapa banyak hadits-hadits ahad yang dijadikan rujuan akidah (tentunya hadits ahad yang sahih).

Imam Abu Hasan Asy’ari telah menulis sekitar 300 judul kitab dalam berbagai bidang ilmu. Diantara kitabnya yang terkenal adalah Al Ibanah ‘An Ushul Ad Dinayah, sebuah kitab besar tentang Ushuludin, akidah Ahlus Sunnah wal Jama’a, Maqalatul Islamiyyin dan Al-Luma’. .
Orang-orang yang mengaku pengikut Imam Ahmad bin Hanbal (kaum Hanbaliyin) yang juga kadang disebut kaum salaf tetap mencurigai beliau, karena beliau sebelumnya dikenal sebagai penganut Mu’tazilah disamping karena Imam Asy’ari menggunakan metode scholastik yang dianggap masih berbau Mu’tazilah dan bermazhab Syafi’i. Akibatnya orang-orang Hanbaliyin-Salafiyin menentangnya dan mengkafirkannya bahkan menghalalkan darah orang-orang yang mendukung ajarannya.

Penentangan orang-orang Hanbaliyin-Salafiyin terhadap faham Asy’ariyah, bisa diruntut sebagai berikut :
a.     Sepeninggal Khalifah Al-Watsiq, tampuk kekuasaan ada ditangan Khalifah Al-Mutawakkil (205-247 H). Khalifah Al-Mutawakkil tidak mendukung faham Mu’tazilah, beliau kembali melarang ajaran tentang kemakhlukan Al-Qur’an bahkan beliau melakukan pembersihan terhadap ulama-ulama Mu’tazilah yang dulu mempropagandakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Beliau sangat menghoramati dan mendukung ajaran-ajaran Imam Ahmad bin Hanbal.
b.     Sejak masa pemerintahan Khalifah Al-Mutawakkil, banyak menteri yang diangkat dari kalangan Hanbaliyin, pengikut Imam Ahmad bin Hanbal. Jadi lingkungan istana didominasi oleh ulama-ulama Hanbaliyin.
c.     Ajaran-ajaran Imam Abu Hasan Asy’ari yang eks Mu’tazilah dan bermazhab Syafi’i yang merumuskan kembali manhaj salafus-saleh berdasarkan nash Al-Qur’an dan Hadits tetapi dengan metode scholastik, kenyataannya menarik perhatian dan diterima oleh banyak orang. Hal ini tidak disukai dan dicurigai oleh kaum Hanbaliyin-Salafiyin yang merasa lebih “salaf” dari dulunya. Popularitas ajaran Asy’ariyah yang bermazhab Syafi’iyah dikhawatirkan mengurangi pengaruh kaum Hanbaliyin-Salafiyin dilingkungan istana Khalifah.
d.     Salah seorang menteri pada masa Khalifah Al-Qaim Biamrillah (391-467 H) yang bernama ‘Amid al Mulk sampai-sampai mengeluarkan praturan-peraturan yang mendiskreditkan orang-orang penganut Asy’ariyah.

Disatu pihak orang-orang Hanbaliyin-Salafiyin yang menentang ajaran Asy’ariyah, di pihak lain banyak ulama-ulama besar Syafiiyah yang mendukung ajaran-ajaran Imam Abu Hasan Asy’ari, diantaranya :
1.     Abu Bakar bin Tayyib Al Baqillany (wafat 403 H). Beliau lahir dikota Basrah. Kitab karangannya yang terkenal adalah At Tahmid, artinya pendahuluan, Kitab At Tahmid ini perlu dipelajari sebelum seseorang memasuki Ilmu Kalam, berisi antara lain tentang atom (jauhar fard), sifat (‘ardl) dan cara pembuktian.
2.     Abu Ma’aly bin Abdillah Al Juwainy (419-478 H), lahir di Nisabur kemudian berpindah ke Baghdad, Beliau mengikuti ajaran Imam Asy’ari dan Al Baqillany. Imam Al juwainy sempat menjadi sasaran amarah orang-orang Hanbaliyin-Salafiyin karena mengikuti ajaran Asy’ariyah yang dianggap terlalu memberi porsi kepada akal. Karena peristiwa itu, terpaksa beliau meninggalkan Baghdad dan bermukim di Mekkah dan Madinah untuk memberi pelajaran. Karena itu beliau digelari “Imam Haramain” (imam dua tanah suci). Beliau mengarang beberapa kitab, diantaranya kitab “Qowaidlu ‘Aqaidu Ahli Sunnah wal Jama’ah” yaitu Prinsip-Prinsip Akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah berdasarkan perumusan Imam Abu Hasan Asy’ari. Dari sinilah selanjutnya aliran Asy’ariyah menjadi populer, diterima oleh mayoritas umat Islam dan disebut dengan aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah sampai sekarang.
3.     Imam Syarastani (479-574 H) lahir di Khurasan, pengarang kitab Al Milal wa An Nihal kitab terbaik tentang firqoh-firqoh dalam theologi Islam yang sangat terkenal.
4.      Imam Abu Hamid Al Ghazali (450-505 H), murid Imam Al-Juwainy. Menguasai hampir semua ilmu keislaman temasuk filsafat, digelari “Hujjatul Islam” pengarang kitab “IHYA ULUMIDDIN” yang sangat terkenal. Kitab Ihya’ ini berisi uraian yang panjang lebar tentang fiqih, akhlak dan penyucian jiwa (tasawuf) tanpa memasuki area ittihad dan hulul. Kitab Ihya’ ini berhasil mengkompromikan dan meredam polemik perselisihan antara ahli tasawuf dan ahli syariat.
5.     Imam Fahruddin Ar Razi (lahir 543 H) di Persia. Banyak menulis kitab-kitab tentang ilmu kalam, Fiqih, Tafsir dan lain-lain.
6.     Imam As Sanusi (833-895 H), lahir di Tilimsan Aljazair. Mengarang kitab “Aqidah Ahli Tauhid” tentang pandangan tauhid Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan kitab “Ummul Barahin” berisi sifat-sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah dan RasulNya, isinya praktis sangat populer di pesantren-pesantren di Indonesia.


B.  Maturidiyah
Aliran ini disandarkan kepada perumusnya yaitu Imam Abu Manshur Al-Maturidy (wafat 333 H). Lahir di kota Maturid Samarkand. Hidup hampir sejaman dengan Imam Abu Hasan Asy’ari, hanya saja kota tempat tinggalnya berbeda. Imam Maturidy bermazhab Hanafy, maka tidak heran kebanyakan pengikutnya adalah orang-orang pengikut mazhab Abu Hanifah, sedangkan Imam Asy’ari bermazhab Syafi’i.
Secara umum pemikiran dan ajarannya tidak jauh berbeda dengan Imam Abu Hasan Asy’ari. Banyak segi persamaannya, hanya sekitar 10 masalah saja yang berbeda, antara lain : masalah takdir. Asy’ari lebih dekat kepada Jabariyah, sedangkan Maturidy lebih dekat kepada Qadariyah. Persamaannya keduanya sama-sama menentang Mu’tazilah dan membela faham salafus saleh berdasarkan nash Al-Qur’an dan Hadits.
Perbedaan lain, Asy’ari berpendapat bahwa ma’rifat kepada Allah berdasarkan tuntutan syara’, sedangkan Maturidy berpendapat hal itu diwajibkan oleh akal. Menurut Asy’ari sesuatu itu baik atau buruk menurut syara’, sedangkan menurut Maturidy sesuatu itu sendiri mempunyai sifat baik dan buruk.
Al Maturidy menaruh porsi akal lebih banyak dalam hal ma’rifat kepada Allah dan penentuan apakah sesuatu itu baik dan buruk. Tetapi juga disadari bahwa akal semata-mata belum cukup untuk mengetahui hukum-hukum ta’kifiah. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Abu Hanifah.
Berbeda halnya dengan Asy’ari yang kitab-kitab karangannya mudah didapatkan sampai sekarang, seperti Maqalatul Islamiyyin, Al Ibanah dan Al Luma’, maka kita kesulitan mendapatkan kitab Maturidiyah. Yang jelas beliau bermazhab Hanafi. Pandangan-pandangan tauhidnya berasal dari pendapat Imam Abu Hanifah.


Jadi Asy’ariyah dan Maturidiyah, keduanya sama-sama kembali ke manhaj Salafus Saleh, (mengikuti faham Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal) mendasarkan pada nash Al-Qur’an dan Hadits, beriman kepada semua ayat-ayat mutasyabih dan sifat khabariyah tanpa terlalu jauh menta’wilkannya. Keduanya sama-sama menentang aliran Mu’tazilah yang ultra rasionalis-liberalis dan keduanya juga menentang aliran Musyabbihah-Mujasimah yang ultra tekstualis-literalis sehingga jatuh pada anthropomorpisme (menyerupakan Allah dengan keadaan makhluk, seperti mempunyai anggota tubuh (jism), duduk, datang, melempar dsb).




XII.        Aliran Salaf (Hanbaliyah)

Kalau yang dimaksud aliran salaf dalam masalah akidah dan theologi adalah mengikuti manhaj salafus saleh (faham Imam Malik, Ahmad bin Hanbal), maka sebenarnya aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Ays’ariyah dan Maturidiyah) juga mengikuti manhaj salaf tersebut. Maka bisa dikatakan dalam theologi : aliran Salafiyah-Asy’ariyah dan Salafiyah-Maturidiyah.
Namun pada kenyataannya, karena sebagian orang-orang penganut mazhab fiqih Hanbali masih mencurigai aliran Asy’ariyah (bermazhab Syafi’i dalam fiqih) dan Maturidiyah (bermazhab Hanafi dalam fiqih) mereka tetap menentang kedua aliran tersebut. Jadi yang dimaksud aliran salaf dalam pembahasan sekarang ini adalah aliran salaf pengikut mazhab Hanbali dalam fikih atau aliran Salafiyah-Hanbaliyah.
          Istilah aliran Salaf, sering dinisbatkan kepada para pengikut Ibnu Taimiyah (661-728 H) yang juga bermazhab Hanbali dalam fiqih. Disamping itu dimasa sekarang ini telah marak gerakan (harokah) dakwah yang menamakan diri “SALAFI” sehingga seakan-akan aliran Salafi ini aliran tersendiri yang berbeda dengan aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, padahal kalau dalam theologi sebenarnya alirannya sama dengan aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah / Maturudiyah). Selanjutnya yang dimaksud istilah aliran / kaum salaf dalam pembahasan disini adalah kaum Salafi Hanbaliyah.
Aliran salaf ini mengalami perkembangan, pergeseran  dan metamorfosa dalam 9 periode waktu  yang diwakili oleh pemikiran tokoh-tokoh utamanya pada masing-masing periode, yaitu :


1.     Periode Generasi Sahabat Nabi.
Pada periode ini belum muncul yang namanya “Aliran Salaf” karena secara umum tiga generasi awal ini memiliki manhaj dan karakteristik yang masih “original” sesuai dengan masa kenabian, terutama dalam bidang akidah dan teologi (ilmu kalam).

BERSAMBUNG.