ILMU KALAM (USHULUDIN) (ilmu tentang pokok/dasar i’tikad-akidah agama)

I. Prolog
Ibarat
sebuah pohon, i’tikad (keyakinan) yang mendalam merupakan akar pondasi
yang menjadi dasar, sedangkan akidah merupakan satu batang penopang yang
tegak tidak boleh menyimpang. Salah dalam I’tikad-akidah menyebabkan
seseorang tersesat dan keluar dari Islam menjadi kafir.
Sedangkan
Fiqih merupakan dahan, ranting dan cabangnya. Dalam masalah
Fiqih-amaliah yang ijtihadi sering terjadi perbedaan pendapat
(khilafiah) diantara para imam mujtahid dan para ulama. Salah dalam
ijtihad fiqih amaliah, tidak menyebabkan seorang muslim menjadi kafir,
melainkan yang benar dapat dua pahala yang salah dapat satu pahala.
Hadits
Nabi yang menginformasikan akan adanya firqoh-firqoh Islam yang sesat
dalam masalah Akidah (bukan masalah fiqih-amaliah Khilafiah) :
“Umatku
akan terpecah-belah menjadi 73 golongan, diantara golongan-golongan itu
yang selamat hanya satu golongan saja, sedangkan lainnya adalah binasa.
Para sahabat bertanya : ‘Siapakah golongan yang selamat itu ?’ Nabi
menjawab : ‘golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah’, para sahabat bertanya
lagi, ‘Apakah golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu ?’ Nabi menjawab :
‘Yaitu yang mengikuti apa-apa yang sekarang ini dipraktekkan (manhaj)
saya dan para sahabatku’ “
“Maka bahwasanya siapa yang
hidup (lama) diantara kamu niscaya akan melihat perselisihan (faham)
yang banyak. Ketika itu pegang teguhlah Sunnahku dan Sunnah Khulafaur
Rasyidin yang diberi hidayah.” (HR. Abu Dawud).
“Ada
dua firqah dari umatku yang pada hakikatnya mereka tidak ada sangkut
pautnya dengan Islam, yaitu kaum Murji’ah dan kaum Qadariyah.” (HR
Tumrmudzi).
“Bagi tiap-tiap umat ada Majusinya. Dan
Majusi umatku ini ialah mereka yang mengatakan bahwa tidak ada takdir.
Barangsiapa diantara mereka itu mati, maka janganlah kalian menshalati
jenazahnya. Dan barangsiapa diantara mereka itu sakit, maka janganlah
kalian menjenguknya. Mereka adalah golongan Dajjal dan memang ada hak
bagi Allah untuk mengkaitkan mereka itu dengan Dajjal itu.” (HR Abu
Dawud).
“Akan keluar suatu kaum di akhir jaman,
orang-orang muda berfaham jelek. Mereka banyak mengucapkan perkataan
“Khairil Bariyah” (ayat-ayat Allah). Iman mereka tidak melampaui
kerongkongan mereka. Mereka keluar dari agama bagai meluncurnya anak
panah dari busurnya. Kalau orang-orang ini berjumpa dengan kamu,
lawanlah mereka.” (HR Bukhari).
Yang dimaksud oleh Hadits ini adalah firqoh Khawarij.
II. Pengertian Ilmu Ushuludin
Ilmu
Ushuludin adalah ilmu yang membahas pokok-pokok (dasar) agama, yaitu
akidah, tauhid dan I’tikad (keyakinan) tentang rukun Iman yang enam : 1)
beriman kepada Allah, 2) Al-Qur’an dan kitab-kitab suci samawi, 3) Nabi
Muhammad dan para Rasul, 4) para Malaikat, 5) perkara ghaib (alam
kubur, alam akhirat, mashar, mizan, sirot, surga-neraka), 6 ) Takdir
baik dan buruk.
Sebutan lain bagi Ilmu Ushuludin adalah
ilmu Theologi (ketuhanan), karena membahas tentang ke tauhid-an (ke-Esa
an) Allah, sifat dan asma’ (nama) Allah.
Sebutan lain
yang lebih populer adalah Ilmu Kalam, karena bahasan yang sedang ramai
dibahas pada saat lahirnya ilmu kalam adalah masalah kalam (firman
Allah) disamping itu pembahasan ilmu ini menggunakan metode ilmu mantiq
(logika) sedangkan kata mantiq secara etimologi bahasa sinonim dengan
kalam.
III. Bahasan Ilmu Kalam
Pokok-pokok bahasan dalam Ilmu Kalam adalah :
1. Masalah ketuhanan :
a. Wujud Allah
b. Sifat-sifat Allah
c. Perbuatan Allah
2. Al-Qur’an
a. Apakah Al-Qur’an itu makhluk atau bukan
3. Akhirat
a. Apakah kebangkitan itu dengan jasad apa ruh saja.
b. Apakah dapat melihat Allah di akhirat nanti.
4. Iman
5. Dosa besar
6. Takdir dan keadilan Allah
7. Khilafah dan imamah
8. Filsafat
9. Ayat-ayat mutasyabih
a. Tentang tajsim
b. Tentang tasybih
c. Tentang dimana Allah
IV. Lahirnya Ilmu Kalam
Dalam Al-Qur’an kita temui ayat-ayat yang berhubungan dengan usaha
bebas manusia dan ada pula yang menggambarkan akan adanya jabr
(pemkasaan kehendak) Allah dan masalah takdir. Disamping itu Al-Qur’an
juga menuturkan tentang adanya sifat-sifat Tuhan yang membawa kepada
tanzih mutlaq, juga terdapat ayat-ayat tentang penyerupaan Tuhan dengan
mahkluk (tasybih) dan penyebutan anggota tubuh Tuhan (tajsim).
Menurut Ibnu Khaldun, terhadap berbagai ayat sifat, tasybih dan tajsim
para sahabat dan ulama-ulama salaf tidak berselisih dan semuanya
menerima dan meng imani tanpa menafsirkannya. Mereka tidak mau
menggunakan rasio untuk membahas dan menta’wilkan ayat-ayat mutasyabih
tersebut.
Perkembangan selanjutnya muncul pembahasan
dan pendapat mengenai takdir, usaha bebas manusia, pelaku dosa besar,
membahas sifat-sifat Tuhan, ayat-ayat tasybih dan tajsim dan masalah
theologi lainnya. Maka mulai muncul aliran Khawarij yang mengkafirkan
pelaku dosa besar, Aliran Syiah Sabaiyah yang dipengaruhi filsafat
inkarnasi tuhan, Aliran Jabariyah yang menafikan ikhtiar bebas manusia,
Aliran Qadariah yang menolak takdir Allah, Aliran murjiah yang
menyatakan iman cukup dengan keyakinan hati.
Pada tahun
148 H Khalifah Abu Ja’far Al Manshur dari Bani Abbas menderita sakit,
semua dokter pribadinya tidak ada yang mampu menyembuhkan sakitnya. Atas
saran menterinya kemudian didatangkan dokter yang terkenal dari
perguruan Jundishapur George Bakhtishu dan berhasil menyembuhkan
penyakit Khalifah, kemudian Khalifah memintanya untuk menjadi dokter
pribadi di Istana Khalifah.
Goerge Bakhtishu adalah
seorang dokter dan ilmuwan yang luas pengetahuannya dan banyak menulis
buku tentang ilmu kedokteran. Dari George Buktishu inilah pihak istana
mengenal perguruan Jundishapur dan Khalifah tertarik untuk mendatangkan
para ahli ilmu filsafat dari Jundishapur ke Baghdad dan menterjemahkan
beberapa buku ilmu pengetahuan Yunani.
Usaha
penterjemahan buku-buku Yunani ini terus berlangsung pada pemerintahan
Khalifah Al-Mahdi. Pada era Khalifah Harun Al-Rasyid, dikirim delegasi
ke Bizantium untuk membeli manuskrip-manuskrip ilmu kedokteran dan
ilmu-ilmu pengetahuan filsafat Yunani yang lainnya. Usaha penterjemahan
buku-buku kedokteran dan filsafat tersebut mencapai puncaknya pada masa
Khalifah Al-Ma’mun.
Pada tahun 217 H, Khalifah Al-Ma’mun
mendirikan Baitul Hikmah yang merupakan perpustakaan, pusat
penterjemahan, pusat study dan pembahasan ilmu filsafat (meliputi
astronomi, fisika, kimia, matematika, ilmu alam, logika) dan kedokteran
yang paling “up date” pada jaman itu.
Usaha penerjemahan dilakukan oleh para penterjemah yang termasyhur pada saat itu antara lain :
1.
Hunain bin Ishaq (809-873 M), pemimpin Darul Hikmah, seorang Kristen
yang menguasai Bahasa Arab, Suryani (Syria) dan Yunani. Ia
menterjemahkan 20 buku karya Galen kedalam bahasa Syria dan 14 buku lain
kedalam bahasa Arab. Menurut riwayat Hunain mempunyai 90 asisten dan
murid dalam kegiatan penerjemahan tersebut.
Karya-karya yang
diterjemahkan antara lain, filsafat Galen tentang Risalah tentang
Pembuktian (Treatise on Demonstration), Sillogisme Hipotesis
(Hypothetical syllogism), Etika (Ethics) dan beberapa komentar Galen
terhadap karya-karya Plato seperti Sophist, Parmindes, Cryatylus,
Euthydenus, Timaeus, Statesman, Republic, Laws.
Hunain juga
menulis beberapa Risalah seperti : Gramatika Bahasa Yunani (Greek
Grammar), Risalah Air Pasang (A Treatise on the Salinity of Sea Water),
Risalah tentang warna (A Treatise on Colors), Risalah tentang Pelangi (A
Treatise on Rainbow).
2. Ishaq bin Hunain (Wafat tahun 910 M)
dibantu Hubays keponakan Huain menterjemahkan karya Plato dan
Aristoteles seperti Categories, Hermeneutica, Sophist, bagian-bagian
dari Timaeus.
3. Sabit bin Qurra (825-901 M), seorang Shabiin,
penyembah bintang. Menterjemahkan Physica Aristoteles, Uraian tentang
Bintang-Bintang dan pengaruhnya (The Nature of the Stars and Their
Influences), Uraian tentang Azas-Azas Etika dan Musik (Principles of
Ethics and Music), Almageste karya Euclidus tentang Astronomi.
4.
Qusta bin Luqa, seorang Kristen menterjemahkan Ungkapan-ungapan para
filosof (The Saying of Philosophers), Perbedaan Roh dan Jiwa (The
difference between Soul and Spirit), Risalah tentang atom (A Treatise on
the Atom), Pengatar Logika (Introduction to Logic).
5. Abu
Bisyr Mata bin Yunus (wafat tahun 939 M), seorang Kristen menterjemahkan
karya Aristoteles yaitu : Etegories, Hermeneutica, Analitica Priora dan
Analitica Postriora.
Semua Ilmu-ilmu pasti
alam terjemahan dari buku-buku Ilmu pengetahuan Yunani itu pada waktu
itu semuanya disebut ilmu filsafat dan merupakan ilmu yang dianggap
“elit”. Metode ilmiah dan logika berpikir rasional menurut ilmu filsafat
Yunani itu disebut dengan metode “scholastic” yang dianggap lebih
superior dan bergengsi pada jaman itu.
Sebagian ulama
kaum muslimin yang telah mempelajari metode scholastic ala filsafat
Yunani akhirnya terpengaruh dalam pola pikir yang rasional, terstruktur,
logic dan mengedepankan akal (rasio). Metode scholastik itu banyak
digunakan oleh para ahli ilmu kalam untuk menjelaskan dan mempertahankan
argumen mereka tentang bahasan-bahasan ilmu kalam yang berseberangan
pendapat dengan mereka.
Firman Allah dalam QS An-Nahl : 125 :
“Ajaklah
mereka ke jalan Tuhanmu dengan secara bijaksana dan perkataan yang baik
dan bantahlah mereka itu dengan jalan yang lebih baik.”
a. Terhadap orang musyrik yang menuhankan benda langit (bintang, bulan, matahari), maka ditolak dengan ayat :
“Ketika
malam telah menjadi gelap, Ibrahim melihat bintang, lalu dia berkata :
“Inilah Tuhanku.” Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata :
“Aku tidak suka kepada sesuatu yang tenggelam”. Kemudian tatkala dia
melihat bulan itu terbit, dia berkata : “Inilah Tuhanku.” Tetapi setelah
bulan itu terbenam, dia berkata : “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak
memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang
sesat.” Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata :
“Inilah Tuhanku, inilah yang lebih besar.” Tetapi setelah matahari itu
terbenam, dia berkata : “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari
apa yang kamu persekutukan” (QS Al-An’am 76-78).
b. Terhadap yang menuhankan Nabi Isa, maka ditolak dengan ayat :
“Dan
ingatlah ketika Allah berfirman : “Hai Isa putra Maryam, adakah kamu
mengatakan kepada manusia : Jadikanlah aku dan ibuku sebagai Tuhan
selain Allah ? Isa menjawab : “Maha suci Engkau, tidaklah patut bagiku
apa yang bukan hakku mengatakannya” (QS Al-Maidah : 116).
c. Terhadap orang yang menyembah patung-berhala, maka ditolak dengan ayat :
“Dan
ingatlah diwaktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Azar : ‘Pantaskah kamu
menjadikan berhala-berhala sebagai Tuhan ? Sesungguhnya aku melihat
kaummu dalam kesesatan yang nyata.” (QS Al-An’am : 74).
d. Terhadap yang tidak percaya kepada hari kiamat dan kehidupan akhirat, maka dibantah dengan ayat :
“Yaitu
pada hari Kami gulung langit bagai menggulung lembaran-lembaran kertas,
sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama. Begitulah Kami
mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati, bahwasanya
Kami benar-benar akan melaksanakannya.” (Al-Anbiya : 104).
e. Terhadap orang yang menolak adanya takdir, maka mereka termasuk orang munafik berdasarkan ayat :
“Mereka
(orang Munafik) berkata : “Apakah bagi kita barang sesuatu hak campur
tangan dalam urusan ini ? Katakanlah : ‘Sesungguhnya urusan itu
seluruhnya ditangan Allah. Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa
yang tidak mereka terangkan kepadamu. Mereka berkata : ‘Sekiranya bagi
kita ada barang sesuatu atau hak campur tangan dalam urusan ini niscaya
kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) disini. Katakanlah : ‘Sekiranya
kamu ada dirumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati
terbunuh itu keluar juga ke tempat mereka terbunuh. Dan Allah berbuat
demikian untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Dan Allah
Mengetahui apa yang didalam hati.” (QS Ali-Imran :154).
Pada perkembangan selanjutnya metode scholastik yang rasional itu
diterapkan juga dalam pemahaman dalam agama Islam yaitu dalam membahas
sifat-sifat Tuhan, dosa besar, takdir, ayat-ayat mutasyabih, tasybih,
tajsim dan masalah kemakhlukan Al-Qur’an. Kelompok tersebut dikenal
sebagai aliran Mu’tazilah.
Mereka banyak mempelajari
buku-buku terjemahan filsafat Yunani, lebih mengedepankan rasio,
menguasai ilmu mantiq (logika) dan metode perdebatan versi Aristoteles.
Aliran Mu’tazilah ini dikenal suka berdebat dan didukung penuh oleh
Khalifah Al Ma’mun.
Sebagian ulama Islam yang mendapat
hidayah Allah, lurus hatinya dan benar akidahnya tergugah untuk
menghadapi segala pemikiran akidah yang menyimpang (terutama dari
kalangan ahli filsafat kaum Mu’tazilah) dan berusaha membela sunnah dan
akidah Islam yang benar menurut manhaj salafus saleh menggunakan metode
scholastik ahli ilmu kalam dengan keterangan, argumen dan alasan yang
terstruktur rapi hingga dapat menjelaskan kepalsuan pemikiran yang
menyimpang tersebut. Dengan demikian lahirlah ilmu kalam dan para ulama
ahli ilmu kalam.
V. Aliran Khawarij
Khawarij
berasal dari kata kharaja yang berarti keluar (seperti keluar
melesatnya anak pakah dari busurnya). Setelah terbunuhnya Khalifah Usman
bin Affan, seluruh kaum muslimin membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai
khalifah, namun gubernur Syam yaitu Muawiyyah bin Abu Sofyan tidak mau
membaiatnya, bahkan memberontak dan berusaha merebut kekhalifahan. Maka
terjadilah perang Shiffin antara Ali melawan Muawiyyah.
Tentara
Syam sudah tersudut dan hampir kalah, untuk menunda kekalahan Amr bin
Ash, salah seorang panglima Muawiyah mengusulkan agar Al-Qur’an diikat
pada ujung tombak dan menawarkan perundingan damai dengan pihak Ali.
Siasat tersebut kemudian dilaksanakan dan berhasil membuat para Qurra
(penghafal Al-Qur’an) dari kalangan tentara Ali bin Abi Thalib
menghentikan peperangan dan didukung oleh sebagian anggota tentara Ali
bin Abi Thalib.
Akhirnya antara pihak Ali dan Muawiyah
masing-masing mengirimkan seorang wakil untuk melakukan perundingan
arbitrase mencari solusi damai atas pertikaian perebutan kekhalifahan
yang sedang terjadi. Khalifah Ali mula-mula menunjuk Abdullah bin Abbas
sebagai wakilnya, namun penunjukan Ali tersebut ditolak dan ditentang
oleh sebagian tentaranya. Akhirnya pihak Ali diwakili oleh Abu Musa
Al-Asy’ari, sedangkan pihak Muawiyah diwakili oleh Amr bin Ash.
Kedua
juru runding itu sebelumnya sepakat menurunkan Ali dan Muawiyah dari
kekhalifahan untuk kemudian mencari orang ke tiga yang akan diangkat
sebagai khalifah yang baru. Mula-mula yang pertama naik ke mimbar adalah
Abu Musa Al-Asy’ari wakil dari kelompok Ali menyatakan menurunkan Ali
dari kekhalifahan. Giliran kedua Amr bin Ash naik ke mimbar, tetapi Amr
bin Ash tidak menepati kesepakatan sebelumnya yang telah dibuat. Saat
diatas mimbar Amr bin Ash menetapkan Muawiyah sebagai khalifah yang
syah. Menyadari kelicikan siasat Amr bin Ash maka hasil arbitrase
tersebut tidak diakui oleh pihak Ali.
Sebagian pengikut
Ali tiba-tiba menolak dan mengecam arbitrase tersebut dan menyalahkan
Ali karena mau melakukan “tahkim” atau arbitrase tersebut. Mereka keluar
dari barisan pengikut Ali dan membentuk kelompok sendiri yang dikenal
sebagai kelompok khawarij.
Mereka berjumlah sekitar
12.000 orang dan memusatkan gerakannya di Harurah, sehingga kelompok ini
dikenal juga dengan istilah kelompok Haruriah. Mereka berpendapat bahwa
Ali telah menjadi kafir karena mau melakukan tahkim arbritase dan
menuntut Ali agar melakukan tobat. Demikian juga mereka mengkafirkan
Muawiyah yang dianggap salah satu penyebab pertumpahan darah sesama kaum
muslimin.
Kaum khawarij dikenal banyak membaca
Al-Qur’an, rajin puasa dan tahajud namun suka berbuat anarkis, merampok
baitul mal gubernur Basrah, mengkafirkan dan membunuh orang-orang yang
tidak sefaham dengan mereka. Suatu ketika ada khafilah yang berpapasan
dengan mereka, kemudian khafilah itu ditanya pendapatnya tentang Ali dan
peristiwa arbitrase, khalifah itu memberi penilaian yang baik kepada
Ali, maka merekapun membunuhnya dan semua anggota rombongan khalifah
termasuk seorang wanita yang sedang hamil.
(Uraian
yang lebih rinci dan detail tentang perang Shiffin, awal mula munculnya
kelompok Khawarij, dialog dan diskusi Ibnu Abbas dengan mereka sebagai
usaha untuk menarik kembali mereka kebarisan Khalifah Ali, penumpasan
kelompok Khawarij oleh Khalifah Ali dalam perang Nahawan, dsb bisa
dibaca pada buku Bidayah wa Nihayah karya Ibnu Katsir atau Tharikh
(sejarah) Khulafaur Rasyidin atau buku Nahjul Balagah atau buku-buku
tentang biografi Imam Ali bin Abi Thalib)
Kelompok
Khawarij awal mulanya hanya kelompok politik, tapi kemudian berkembang
menjadi aliran ilmu kalam. Mereka telah keluar dan memisahkan diri dari
jamaah kaum muslimin.
Adapun pokok-pokok pikiran mereka dalam ilmu kalam adalah :
a. Menolak tahkim / arbitrase.
b. Membolehkan Khalifah bukan dari suku Quraisy, bahkan dari kalangan mana saja.
c. Mengharuskan seorang khalifah berbuat adil dan menetapi syariat Islam.
d. Khalifah yang dianggap telah menyimpang dari syariat Islam wajib diturunkan, bila perlu secara paksa dan dibunuh.
e. Melakukan pemberontakan kepada Khalifah yang mereka anggap dzalim dan tidak adil.
f. Menganggap pelaku dosa besar adalah kafir.
g. Membolehkan membunuh golongan diluar kelompoknya.
Aliran
Khawarij dalam perkembangan selanjutnya pecah lagi menjadi beberapa
sekte dari yang paling keras adalah sekte Azariqah dibawah pimpinan Nafi
Ibnu Azraq. Golongan ini berpendapat bahwa orang-orang Islam yang tidak
sefaham dengan mereka adalah kafir dan akan kekal selama-lamanya dalam
neraka, walaupun ia meninggal ketika masih anak-anak. Termasuk dalam
sekte ini adalah Abdurrahman bin Muljam yang membunuh Khalifah Ali
ketika sedang sholat Subuh di Kufah.
Ada juga sekte
yang lebih lunak seperti kelompok Najdah Ibnu Amir Al-Hanafi dari
Yamamah, kelompok Ziad Ibnu Asfar. Sedangkan yang paling lunak adalah
sekte Ibadiah pimpinan Abdullah bin Ibad yang tidak sampai mengkafirkan
dan masih menganggap Islam kelompok diluar mereka.
VI. Aliran Syiah
Syiah
artinya pendukung, maksudnya pendukung Ali bin Abi Thalib. Pada akhir
masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan, seorang Yahudi yang bernama
Abdullah bin Saba menyatakan diri masuk Islam. Sewaktu masih menganut
agama Yahudi ia pernah mengatakan bahwa Yusya’ bin Nun adalah seorang
yang diberi wasiat oleh Nabi Musa untuk melanjutkan memimpin Bani
Israil. Setelah masuk Islam, dia menghembuskan doktrin bahwa Ali telah
menerima wasiat dari Nabi Muhammad sebagai khalifah sepeninggal beliau.
Lebih dari itu Abdullah bin Saba mengajarkan bahwa pada diri Ali itu
mengandung unsur ketuhanan.
Abdullah bin Saba
mengembara ke kota-kota Islam seperti Mesir, Basrah dan Kufah
menyebarkan ajarannya itu. Pada tahun ke enam masa kekhalifahan Usman
bin Affan, kerabat Usman dari kalangan Bani Umayyah banyak yang
menduduki jabatan penting, seperti gubernur, sekretaris, bendahara
baitul mal. Tindakan para pejabat yang terdiri atas Bani Umayah kerabat
Khalifah Usman banyak yang menyengsarakan rakyat dan dikenal korup. Pada
tahun ke dua belas datanglah delegasi rakyat Mesir, Basrah dan Kufah
mengadukan kezaliman para Gubernur mereka. Mereka menuntut agar Usman
memecat dan mengganti mereka. Khalifah Usman menyanggupi tuntutan mereka
dan mengeluarkan surat pemecatan Abdullah bin Abu Sarah, Gubernur
Mesir. Sebagai penggantinya Khalifah Usman mengangkat Muhammad bin Abu
Bakar. Delegasi penduduk Mesir pun pulang disertai Muhammad bin Abu
Bakar, calon gubernur yang baru dengan membawa surat pemecatan dari
Khalifah Usman.
Pada saat perjalanan kembali ke Mesir,
ditengah jalan rombongan penduduk Mesir disalip oleh seorang penunggang
kuda yang berkuda cepat menuju ke arah Mesir pula. Merasa curiga
rombongan penduduk Mesir mengejar dan menangkap penunggang kuda itu.
Setelah diinterogasi, pada kantung minumannya ditemukan surat perintah
berstempel resmi Khalifah Usman yang isinya perintah untuk membunuh
Muhammad bin Abu Bakar dan beberapa tokoh penduduk Mesir yang sebelumnya
ikut datang ke Madinah.
Mengetahui hal itu penduduk
Mesir dan Muhammad bin Abu Bakar tidak jadi meneruskan perjalanan pulang
ke Mesir, melainkan kembali lagi ke Madinah. Khabar perintah pembunuhan
dari Khalifah Usman itu pun cepat menyebar dan sampai pula pada
rombongan penduduk Basrah dan Kufah. Mereka semua pun datang kembali ke
Madinah.
Dengan suasana emosional mereka mengepung
rumah Khalifah Usman dan meminta penjelasan atas perintah pembunuhan
tersebut. Khalifah Usman bersumpah tidak menuliskan dan tidak pernah
menyuruh seseorang untuk membuat surat perintah tersebut. Kecurigaan
mengarah kepada Marwan bin Hakam, keponakan sekaligus menantu Khalifah
Usman yang merupakan pemegang stempel ke khalifahan. Namun Khalifah
Usman enggan untuk menyerahkan Marwan bin Hakam kepada pihak pengepung.
Ketegangan
terus terjadi dan semakin memuncak dan berakhir dengan terbunuhnya
Khalifah Usman bin Affan oleh orang-orang yang mengepung rumahnya.
Mayoritas kaum Muslimin akhirnya membaiat Ali bin Abi Thalib menjadi
khalifah namun Muawiyah bin Abi Sofyan tidak mau mengakuinya dan bahkan
menyatakan dirinya sebagai khalifah.
Talhah bin
Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mulanya turut membaiat Ali sebagai
khalifah, kemudian mereka berdua menuntut jabatan sebagai gubernur
Basrah dan Kufah, namun tuntutan mereka tidak dikabulkan oleh Khalifah
Ali, dengan alasan tidak mau memberikan jabatan kepada orang yang
berambisi dan menuntutnya.
Akhirnya Talhah dan Zubair
memberontak kepada Ali dengan alasan menuntut bela atas terbunuhnya
Usman bin Affan. Keduanya berhasil membujuk Aisyah Ummul Mukminin untuk
turut bergabung dalam perang Jamal. Khalifah Ali pun mengirim tentara
untuk memadamkan pemberontakan itu dan terjadilah pertempuran di kota
Basrah. Pada perang Jamal pihak Khalifah Ali berhasil memenangkan
pertempuran. Talhah dan Zubair terbunuh, sedangkan Aisyah Ummul
Mukiminin dikembalikan dengan hormat ke Madinah.
Dalam
perang Jamal, Khalifah Ali melihat tentaranya yang berasal dari penduduk
Kufah paling loyal terhadap dirinya. Setelah perang Jamal Khalifah Ali
memutuskan memindahkan ibukota pemerintahannya ke Kufah. Pada saat di
Kufah sebagian orang Kufah yang telah terpengaruh oleh ajaran Abdullah
bin Saba ada yang mendatanginya dan berlebihan dalam mendukung dan
mencintainya dan bahkan ada yang mengatakan bahwa “engkau Ali adalah
tuhan”. Ketika khalifah Ali bertanya kepada mereka, “Siapa kalian ?”
mereka menjawab, “Kami adalah syiah (pendukung) Ali.” Sejak itu kelompok
yang dikenal sangat fanatik kepada Ali bin Abi Thalib disebut sebagai
“Syiah”
Kaum Syiah pengikut Abdullah bin Saba dikenal
sebagai Syiah Sabaiyah. Syiah Sabaiyah ini termasuk dalam kelompok Syiah
Ghulat (ekstrim) yang sampai pada taraf menuhankan Ali bin Abi Thalib.
Syiah Ghulat mempercayai adanya reinkarnasi (hulul) unsur ketuhanan pada
Ali dan keturunannya.
Syiah Bayaniah, pengikut Bayan
bin Sam’an menyatakan bahwa Tuhan tercipta dari cahaya yang berbentuk
tubuh sebagaimana manusia dan semuanya akan hancur terkecuali ‘wajah’
nya saja.
Syiah Mughiyitah pimpinan Al-Mughirah bin
Said mengatakan Tuhan itu laki-laki, berjisim (bertubuh) dari cahaya,
diatas kepalanya ada mahkota yang juga dari cahaya, memiliki jantung
yang memancarkan ilmu-ilmu hikmah.
Mereka mengambil
dari makna literal ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan tentang Tuhan
dan menjadi penganut anthropomorpisme (menyerupakan Tuhan seperti
manusia). Mereka jatuh pada tasybih (penyerupaan Tuhan dengan makhluk),
faham yang demikian dinamakan Musyabbihah. Mereka juga jatuh pada tajsim
(menetapkan Tuhan ber jism / bertubuh), faham yang demikian disebut
Mujasimah.
Syiah Imamiah berpendapat bahwa yang berhak
menjadi Khalifah adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Mereka
menganggap Abu Bakar, Umar dan Usman telah menyerobot hak khilafah Ali
bin Abi Thalib sehingga syiah imamiah sangat membenci dan suka
mencaci-maki para Sahabat Nabi tersebut.
Syiah Itsna Asyariyyah (dua belas imam) menetapkan dua belas imam Syiah yang dianggap maksum, yaitu :
1. Ali bin Abi Thalib
2. Hasan bin Ali
3. Husein bin Ali
4. Ali Zainal Abidin bin Husein
5. Muhammad Al-Baqir
6. Ja’far Shodiq
7. Musa Al-Kazhim
8. Ali Al-Ridha
9. Muhammad Al-Jawad
10. Ali an Naqi
11. Hasan Al-Asykari
12.
Muhammad bin Hasan Al-Asykari, Al-Mahdi Al-Mukthadhar, imam yang kedua
belas ini dipercaya ghaib (menghilang) di Samarah dan dipercaya akan
muncul kembali sebagai Imam Mahdi Al-Muktadhar (yang ditunggu) menjelang
akhir jaman.
Namun kaum syiah berbeda pendapat
mengenai siapa imam-imam syiah keturunan Ali yang diakui sebagai imam,
Syiah Ismailiyyah menetapkan Ismail bin Ja’far Shadiq sebagai imam yang
syah. Dalam perkembangan selanjutnya Syiah Ismailiyyah ini pecah lagi
menjadi beberapa sekte yaitu Syiah Bathiniyyah, Karmatiyyah, Qaramithah
dan Ta’limiyyah. Disebut Bathiniyyah karena keyakinan mereka bahwa
imam-imam mereka yang maksum mengetahui ta’wil ayat-ayat Al-Qur’an
secara ‘isoterik’ atau imam mereka memahami makna ‘batin’ dari
Al-Qur’an. Kelompok Syiah Ismailiyyah-Batiniyyah inilah yang dikemudian
hari berhasil mendirikan pemerintahan Syiah Buwaitih-Fatimiyyah di
Mesir, lepas dari kekuasaan Bani Abbas di Baghdad.
Kelompok
Syiah yang lebih moderat dan dekat dengan faham suni adalah Syiah
Zaidiyah, pengikut Zaid bin Ali Zainal Abidin. Imam Zaid dikenal sebagai
ahli fiqih dari kalangan syiah yang fahamnya dekat dengan faham suni.
Imam Zaid berpendapat bahwa walaupun Ali lebih berhak menjadi khalifah,
namun kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Usman tetap syah. Jadi Imam Zaid
membolehkan mengangkat imam yang utama walaupun bukan yang paling utama.
Kelompok
Syiah yang tidak setuju dengan pandangan Imam Zaid ini dikenal sebagai
Syiah Rafidah (menolak) yaitu menolak pendapat imam Zaid dalam masalah
imamah. Kelompok Syiah Rafidah ini dikenal paling suka mencaci maki
Sahabat Nabi (terutama Abu Bakar dan umar) yang dianggap telah
menyerobot hak kekhalifahan Ali bin Abi Thalib dan dikenal banyak
memalsukan hadits untuk memperkuat pendapat kelompoknya.
Kaum
Syiah memperbolehkan “taqiyyah” yaitu menyembunyikan mazhab Syiah
mereka, apabila keadaan tidak memungkinkan dan mengancam keselamatan dan
eksistensi mereka. Pada masa kekhalifahan Al-Mustashim (609-659 H),
salah seorang menteri kepercayaannya adalah Muayyidin Al-Alqami, seorang
penganut Syiah Rafidah yang ber “taqiyyah” menyembunyikan faham Syiah
Rafidahnya. Menteri ini selalu berhubungan secara rahasia dengan
orang-orang Mongol dan mengatur siasat agar orang-orang Mongol dapat
memasuki Baghdad. Tujuannya agar kekuasaan Bani Abbas yang sunni runtuh
dan dia menginginkan agar kekuasaan beralih ke tangan orang-orang
alawiyin (keturunan Ali). Konspirasi itu berhasil dengan baik, pada
tanggal 10 Muharram 656 H akhirnya Baghdad jatuh ketangan orang-orang
Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan.
(Uraian yang lebih
rinci dan detail tentang jatuhnya kota Baghdad ketangan Mongol dapat
dibaca pada buku Tarikh Khulafa’ –Sejarah Para Khalifah- karangan Imam
Jallludin As Suyuthi, pada Bab Khalifah Al-Mustashim)
Kaum
Syiah yang sekarang banyak terdapat di Iran adalah Syiah Itsna
Asyariyyah yang mempercayai bahwa imam imam mereka adalah wakil dan
mendapat “legitimasi” dari Imam Syiah kedua belas yang sedang ghaib.
Fiqih mereka mengikuti Imam Ja’far Shadiq dan Imam Zaid bin Ali Zainal
Abidin. Kaum Syiah hanya mau menerima hadits dari riwayat ahlul bait
atau dari sahabat Nabi yang dikenal setia mendukung Ali seperti Salman
Al-Farisi, Ammar bin Yasir dan Abdullah bin Abbas.
VII. Aliran Murji’ah
Murji’ah berasal dari kata arja’a yang berarti penundaan atau
penagguhan. Kaum Murji’ah berendapat bahwa seorang muslim yang melakukan
dosa besar status ke-Islaman ditangguhkan, apakah masih termasuk muslim
atau sudah menjadi kafir. Keputusannya diserahkan kelak kepada Allah di
hari perhitungan di akhirat.
Setelah Terbunuhnya
Khalifah Usman bin Affan, timbul kemelut politik yang berlanjut dengan
perang Nahrawan dan perang Shiffin dan munculnya firqoh Syiah dan
Khawarij. Setelah Khalifah Ali terbunuh oleh kaum Khawarij, Bani Umayyah
menduduki singgasana kekhalifahan dengan cara paksa dan bertindak
represif.
Antara Syiah, Khawarij dan Bani Umayyah satu
sama lain saling bermusuhan dan saling menumpahkan darah. Ditengah
kondisi yang demikian muncullah firqoh Murji’ah yang bersikap netral
tidak memihak ke salah satu pihak yang saling bertikai tersebut dan
tidak mau terlibat dalam pertikaian politik yang sedang terjadi.
Mereka menegaskan posisi politiknya dengan menyatakan bahwa mereka
mengakui pemerintahan Bani Umayyah karena kenyataannya Bani Umayyah
adalah Khalifah yang sedang berkuasa.
Mereka tidak
memberi penilain terhadap semua kelompok yang bertikai. Mereka juga
mengatakan bahwa kaum muslimin yang tidak kuasa melawan kekuasaan Bani
Umayah yang telah merebut kekhalifahan dengan kekerasan dan banyak
berbuat dzalim tidaklah mengurangi nilai keiimanannya.
Pokok pikirannya ini kemudian berkembang menjadi theologi Murji’ah yang
berpendapat bahwa iman itu cukup dengan keyakinan yang mantap didalam
hati, adapun perkataan dan perbuatan tidak termasuk dalam iman.
Sebagaimana amal kebaikan tidaklah membawa manfaat bagi orang yang
kafir, mereka juga berpendapat bahwa dosa-kemaksiatan tidaklah
mempengaruhi keimanan seorang muslim yang hatinya tetap mantap pada
Islam.
Firqoh Murjia’h terbagi dalam beberapa sekte, diantaranya :
a.
Yunusiah, pengikut Yunus bin ‘Ain An Numairi, berpendapat bahwa iman
itu ma’rifat kepada Allah, tunduk dan cinta dalam hati secara yakin.
Seseorang yang berbuat maksiat tidaklah merusak keimanannya.
b.
Ghassaniah, pengikut Ghassan Al-Murji, berpendapat iman itu adalah
ikrar atau mencintai dan membersihkan. Iman itu tidak bertambah dan
tidak berkurang. Masalah-masalah diluar iman, tidaklah mempengaruhi
kepada iman. Seperti tuhan mewajibkan naik haji, tapi ada orang yang
tidak tahu apakah Ka’bah itu di India atau di negara lain, maka orang
tersebut tetap sebagai mukmin bukan kafir.
c. Tsaubaniah,
pengikut Abi Tsauban Al-Murji, berpendapat bahwa iman adalah ma’rifah
atas dasar ikrar atas Allah dan Rasul-Nya. Masalah amal bagi sekte ini
merupakan soal kedua saja. Abi Mu’az at-Tumany dengan
pengikut-pengikutnya yang dikenal dengan at-Tumaniah berpendapat, iman
berintikan ma’rifah, membenarkan, mahabbah, ikhlas dan iqrar atas segala
yang dibawa oleh Rasulullah. Inilah inti dari iman, selain itu tidak
akan membawa kepada kekufuran. Seseorang yang menyembah kepada matahari
atau bulan pada dasarnya bukan kafir tetapi mengandung benih kekafiran.
d.
Al-Marisah, pengikut Bisyr Al-Murisy tidak begitu berbeda dengan
pendapat-pendapat yang telah dikemukakan sebelumnya diatas. Mereka
mengatakan, iman itu adalah membenarkan dengan hati dan ikrar dengan
lisan. Kekafiran terjadi kalau menentang dan ingkar. Tapi kalau
seseorang sujud kepada berhala atau matahari, dia tidak kafir tetapi
menyandang tanda-tanda saja dari kekafiran.
e. As-Shalihiah,
pengikut Abdul Hasan As-Salehi, berpendapat iman itu mengetahui Tuhan
dan kalau kufur adalah tidak mengetahui Tuhan. Mereka berpendirian bahwa
iman adalah ibadat dalam arti ma’rifah kepada Tuhan. Sedang amal saleh
seperti shalat, zakat, puasa, haji semuanya hanyalah gambaran dari
kepatuhan tidak termasuk ibadah kepada Allah. Sedang ibadahnya sendiri
itu adalah iman.
VIII. Aliran Qadariyah
Qadariah pertama kali muncul sekitar tahun 70 H / 689 M, dipimpin oleh
Ma’bad Al Juhni Al Bisri dan Ja’ad bin Dirham pada masa pemerintahan
Khalifah Abdul Malik bin Marwan (687-705 M). Tetapi ada juga pendapat
yang mengatakan bahwa yang pertama kali mengajarkan faham Jabariyah
adalah seorang Kristen bernama Abu Yunus Sansaweh di Iraq.
Latar belakang timbulnya firqoh Qadariyah ini sebagai isyarat menentang
kebijaksanaan politik Bani Umayyah yang dianggap kejam dan dzalim.
Apabila firqoh Jabariyah berpendapat bahwa khalifah Bani Umayyah
membunuh orang, hal itu karena sudah ditakdirkan Allah dan hal ini
berarti merupakan ‘legitimasi’ kekejaman Bani Umayyah, maka firqoh
Qadariyah mau membatasi masalah takdir tersebut.
Mereka
mengatakan bahwa kalau Allah itu adil, maka Allah akan menghukum orang
yang bersalah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat kebajikan.
Manusia harus bebas memilih dalam menentukan nasibnya sendiri dengan
memilih perbuatan yang baik atau yang buruk. Jika Allah telah menentukan
takdir manusia dan memaksakan berlakunya, maka Allah itu zalim. Mengapa
Allah menyiksa manusia karena sesuatu yang telah ditadirkan dan
dipaksakan terjadi oleh Nya ? Karena itu manusia harus merdeka memilih
atau ikhtiar bebas atas perbuatannya.
Orang-orang yang
berpendapat bahwa amal perbuatan dan nasib manusia hanyalah tergantung
pada takdir Allah saja, selamat atau celaka sudah ditentukan oleh takdir
Allah sebelumnya, pendapat tersebut adalah sesat. Sebab pendapat
tersebut berarti menentang keutamaan Allah dan berarti menganggapNya
pula yang menjadi sebab terjadinya kejahatan-kejahatan. Mustahil Allah
melakukan kejahatan. Jadi firqoh Qadariyah menolak adanya takdir Allah
dan berpendapat bahwa manusia bebas merdeka menentukan perbuatannya.
Firqoh Qadariyah mendasarkan ajarannya kepada beberapa ayat Al-Qur’an :
“Katakanlah,
kebenaran itu datang dari Tuhanmu. Siapa yang mau beriman maka
berimanlah dan siapa yang mau kafir maka kafirlah ia.” (QS Al-Kahfi
:29).
“Berbuatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya Dia melihat apa yang kamu perbuat.” (QS Fushilat : 40).
“Bagaimana
apabila bencana menimpa diri kamu sedang kamu telah menimpakan bencana
yang berlipat ganda, sedang kamu bertanya : Dari mana datangnya
(kekalahan) ini ? katakanlah dari kamu sendiri.” (QS Al-Imran : 164).
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka sendiri yang merubahnya.” (QS Ar-Ra’d : 11)
Faham Qadariyah segera mendapat pengikut yang cukup banyak. Karena
ajarannya dianggap membahayakan kekuasaan Bani Umayah, dengan alasan
ajaran Qadariyah dianggap menyimpang dari syariat dan membahayakan
ketertiban umum. Penguasa Bani Umayah, melalui Panglima Hajjaj bin Yusuf
menangkap Ma’bad Al Juhni dan beberapa pengikutnya kemudian dihukum
mati di Damaskus pada tahun 80 H/690 M.
Gailan Ad
Dimsyaqi adalah salah satu tokoh Qadariyah, penduduk kota Damaskus.
Ayahnya pernah bekerja pada Khalifah Usman bin Affan. Ia datang ke
Damaskus pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam bin Abdul Malik (102-125
H). Gailan juga dihukum mati karena faham Qadariyahnya.
Sehubungan pendapat-pendapat Qadariyah tersebut, sebelumnya ada Hadits Nabi Muhammad SAW sebagai berikut :
Dari
Hudzaifah ra. berkata : “Rasulullah bersabda : Bagi tiap-tiap umat ada
Majusinya. Dan Majusi umatku ini ialah mereka yang mengatakan bahwa
tidak ada takdir. Barangsiapa diantara mereka itu mati, maka janganlah
kalian menshalati jenazahnya. Dan barangsiapa diantara mereka itu sakit,
maka janganlah kalian menjenguknya. Mereka adalah golongan Dajjal dan
memang ada hak bagi Allah untuk mengkaitkan mereka itu dengan Dajjal
itu.” (HR Abu Dawud).
Mereka dikatakan Majusi
karena berpendapat ada dua pencipta, yaitu pencipta kebaikan dan
keburukan. Hal ini sama persis dengan ajaran agama Majusi (Zoroaster)
yang mengatakan ada Tuhan Terang (Ahura Mazda) dan ada Tuhan Gelap
(Ahriman).
IX. Aliran Jabariyah
Firqoh
Jabariyah timbulnya hampir bersamaan dengan timbulnya Qadariyah dan
tampaknya merupakan reaksi daripadanya. Daerah tempat timbulnya juga
tidak berjauhan. Qadariyah muncul di Iraq, sedangkan Jabariyah muncul di
Khurasan (Iran).
Pemimpinnya yang pertama adalah Jahm bin
Sofyan, oleh sebab itu kadang firqoh ini disebut Jahmiyah.
Ajaran-ajarannya banyak persamaannya dengal aliran Qurro’ agama Yahudi
dan aliran Yacobiyah agama Nasrani.
Pada mulanya Jahm bin Sofyan
adalah juru tulis dari seorang pemimpin bernama Suraih bin Harits Ali
Nashar bin Sayyar yang memberontak di daerah Khurasan terhadap kekuasaan
Bani Umayyah. Dia terkenal orang yang tekun dan rajin menyiarkan agama.
Fatwanya yang menarik adalah bahwa manusia tidak mempunyai daya upaya,
tidak ada ikhtiar dan tidak ada kasab. Segala perbuatan manusia itu
terpaksa (majbur) diluar kemauannya, sebagaimana keadaan bulu ayam
terbang kemana arah angin bertiup atau sepotong kayu ditengah lautan
mengikuti arah hempasan ombak. Singkatnya bahwa orang-orang Jabariyah
berpendapat manusia itu tidak mempunyai daya ikhtiar, semuanya sudah
ditakdirkan, segala gerak perbuatan manusia dipaksa oleh adanya kehendak
Allah, jadi merupakan kebalikan dari faham Qadariyah.
Jabariyah
berpendapat bahwa hanya Allah sajalah yang menentukan dan memutuskan
segala amal perbuatan manusia. Semua perbuatan manusia itu sejak semula
sudah diketahui Allah dan semua amal perbuatan itu adalah berlaku dengan
kodrat dan iradat-Nya. Manusia tidak mencampurinya sama sekali. Usaha
manusia sama sekali bukan ditentukan oleh manusia sendiri. Kodrat dan
Iradat Allah adalah mencabut kekuasaan manusia sama sekali. Pada
hakikatnya segala perbuatan dan gerak-gerik manusia semuanya merupakan
paksaan (majbur) oleh Allah semata-mata. Kebaikan dan kejahatan itupun
semata-mata paksaan pula, sekalipun nantinya manusia memperoleh balasan
surga atau neraka.
Pembalasan berupa surga atau neraka itu bukan
sebagai ganjaran atas kebaikan dan kejahatan yang diperbuat manusia
semasa hidupnya. Surga dan neraka itu semata-mat abukti kebesaran Allah
dalam Kodrat dan Iradat-Nya.
Kalau manusia itu diserahi kodrat dan
iradat sendiri dalam mewujudkan usahanya dan Allah saja yang menanggung
kodrat dan iradat yang menentukan perbuatan manusia tersebut, hal itu
sulit diterima. Ibaratnya orang yang diikat lalu dilemparkan kelaut,
seraya diserukan kepadanya “Jagalah dirimu, jangan sampai tenggelam.”
Akan
tetapi faham Jabariyah ini melampaui batasm, sehingga berkeyakinan
bahwa tidak berdosa kalau berbuat kejahatan, karena yang berbuat itu
pada hakekatnya Allah juga. Sesatnya lagi, mereka berpendapat bahwa bila
seseorang mencuri maka pada hakekatnya Allah juga yang melakukan
pencurian. Bila seseorang mengerjakan shalat maka Tuhan pula yang
melakukan shalat. Jadi kalau orang yang berbuat buruk atau jahat lalu
dimasukkan kedalam neraka, maka Tuhan itu tidak adil, karena apapun yang
diperbuat manusia kebaikan atau keburukan tidak satupun lepas dari
kodrat dan iradat Nya.
Sebagian pengikut Jabariyah beranggapan
telah bersatu dengan Tuhan. Disini menimbulkan faham wihdatul wujud,
yaitu manunggaling kawulo gusti, bersatunya manusia dengan Tuhan.
Jabariyah dalam fahamnya, mendasarkan pada beberapa ayat Al-Qur’an :
“Tidak dapat kamu berbuat adil diantara perempuan-perempuan itu …” (QS An-Nisa’ : 129).
“Perhatikanlah pada hari kiamat yang amat susah itu, alalu mereka diseru supaya sujud” (Al-Qalam : 24).
“Mereka sebenarnya tidak akan percaya, sekirannya Allah tidak menghendaki” (QS Al-An’am : 112).
“Allah menciptakan kamu dan apa-apa yang kamu perbuat” (QS As-Shaffat : 96).
“Bukanlah engkau yang melempar ketika engkau melempar (musuh) tetapi Allah lah yang melempar (mereka)” (QS Al-Hadid : 22).
“Tidak
ada bencana yang menimpa di bumi dan diri kamu, kecuali telah
(ditentukan) didalam kitab sebelum ia kamu ciptakan.” (QS Al-Insan :
30).
Faham jabariyah dalam dalam theologi Islam mirip
dengan faham fatalisme dalam filsafat, yaitu beranggapan secara
determinis bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan dan kebebasan, sebab
segala-galanya telah ditentukan sebelumnya. Bagi mereka yang berfaham
Deteminis Theologi maka ketentuan itu datang dari alam makrokosmos dan
mikrokosmos sebagaimana tampak dalam filasafat Tiongkok kuno, filsafat
Mesir kuno dan filsafat Parmenides dari Yunani. Aliran Determinis
Theologi berpendapat segala-galanya telah ditentukan oleh Tuhan,
sehingga manusia tidak dapat berbuat apa-apa selain menjalani takdirnya
yang dipaksakan kepadanya. Mereka rela tunduk kepada ketentuan takdir
(fatalist) yang telah ditetapkan sebelumnya (predestination) tanpa ada
ikhtiar bebas dan mereka menolak adanya kehendak bebas (libre ar bitre).
X. Aliran Mu’tazilah
Kata
Mu’tazilah berasal dari kata ‘itazala, artinya menyisihkan diri. Imam
Hasan Al Basri (wafat 110 H) adalah seorang tabi’in besar di Basrah yang
mempunyai perguruan di Masjid Raya kota Basrah. Diantara murid-muridnya
yang tergolong pandai adalah Washil bin Atho’ (wafat 131 H). Suatu hari
Imam Hasan Al Basri menerangkan bahwa seorang muslim yang melakukan
dosa besar, lalu ia meninggal sebelum bertaubat, menurut Imam Hasan Al
Basri orang itu tetap muslim, hanya saja muslim yang durhakan dan nanti
kelak di akhirat akan dimasukkan neraka sebagai hukum atas perbuatan
dosanya sampai batas waktu tertentu. Setelah itu ia akan dikeluarkan
dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga.
Washil bin Ato’
menyanggah pendapat gurunya tersebut dan mengemukakan pendapat yang
berbeda. Ia berpendapat bahwa seorang muslim yang melakukan dosa besar
dan meninggal sebelum ber-taubat termasuk fasik, tidak muslim dan tidak
kafir. Di ahirat nanti akan berada pada suatu tempat antara surga dan
neraka. Karena itu Washil memisahkan diri dari majelis gurunya dan
membentuk halaqoh pengajian sendiri disalah satu sudut masjid Basrah.
Washil bin Atho’ diikuti oleh salah seorang temannya yang setia yaitu
Amr bin Ubaid (wafat 144 H). Terjadinya peristiwa tersebut merupakan
awal timbulnya firqoh Mu’tazilah. Saat itu Khalifah Bani Umayyah yang
sedang berkuasa adalah Hisyam bin Abdul Malik (101 – 125 H).
Pusat pergerakan Aliran Mu’tazilah :
1.
Basrah, pada permulaan abad ke-2 Hijriah, dipimpin Washil bin Atho’ dan
Amr bin Ubaid. Pada permulaan abad ke-3 Hijriah dipimpin oleh Abu
Hudzail Al Allaf (w. 221 H), Ibrahim bin Sayyar An Naddham (w 221 H),
Abu Basyar Al Marisi (w 218 H), Utsman Al Jahiz (w 255 H), Ibnu Al
Mu’ammar (w 210 H) dan Abu Ali Al Juba’i (w 303 H).
2.
Baghdad, dipimpin oleh Basyar bin Al Mu’tamar dibantu oleh Abu Musa Al
Murdan, Ahmad bin Abi Dawud (w 240 H), Ja’far bin Mubasysyar ( w 234 H)
dan Ja’far bin Harib Al Hamdani (w 235 H).
Ajaran-ajaran
Mu’tazilah mendapat dukungan dari penguasa Bani Umayyah yaitu Khalifah
Yazid bin Walid (125-126 H), sedangkan dari Bani Abbasyah : Al Ma’mun
(198-218 H), Al-Mu’tashim (218-227 H), Al-Watsiq (227-232 H). Karena
didukung penguasa faham-faham Mu’tazilah menjadi tersebar luas.
Ulama-ulama Mu’tazilah yang terkenal, diantaranya :
1. Utsman Al Jahiz (w. 255 H) mengarang kitab Al Hiwan.
2. Syarif Radli (w. 406 H) mengarang kitab Majazul Qur’an.
3. Abdul Jabbar bin Ahmad, lebih dikenal dengan Qadli Qudlot, mengarang kitab Syarah Ushulil Khamsah.
4. Zamakhsyari (w. 528 H) mengarang kitab tafsir Al-Kasysyaf.
5. Ibnu Abil Haddad (w. 655 H) mengarang kitab Syarah Nahjul Balaghah.
Aliran
Mu’tazilah banyak terpengaruh oleh unsur-unsur dari luar Islam. Mereka
dikenal giat mempelajari kitab-kitab filsafat Yunani untuk
mempertahankan pendapat-pendapatnya, terutama filasaf Platodan
Aristoteles. Ilmu logika sangat menarik perhatian mereka, karena
menunjang berfikir logis dan sistematis. Aliran Mu’tazilah dikenal lebih
mengedepankan akal pikiran (rasio) dan liberal, baru sesudah itu
merujuk pada nash-nash Al-Qur’an atau hadits.
Ciri khas
lainnya dari kelompok Mu’tazilah adalah suka berdebat, terutama
dihadapan umum. Mereka yakin dengan kemapuan logika dan akal pikiran
mereka, kerena itu mereka suka berdebat dengan siapa saja yang berbeda
pendapat dengan mereka.
Meskipun firqoh Mu’tazilah
terpecah lagi menjadi 22 sekte, namun semuanya masih mempunyai lima
prinsip ajaran yang mereka sepakati yaitu ushulil khamsah, yaitu :
1.
Tauhid, bahwa Allah itu Esa. Mereka menolak sifat-sifat Allah,
menetapkan sifat-sifat bagi Allah dianggap menodai ke Esa an Allah.
2.
Keadilan Tuhan, menetapkan bahwa Allah itu adil memberi pahala bagi
yang berbuat baik dan menyiksa yang berbuat dosa, mendukung faham
kehendak bebas (Qadariah) dan menolak paham Jabariyah.
3.
Janji dan Ancaman, Mereka berpendapat karena Allah itu Maha Adil, maka
mereka mewajibkan bagi Allah memberi pahala dan surga bagi yang berbuat
baik dan menyiksa dalam neraka bagi yang berbuat jahat. Kalau hal itu
tidak dipenuhi maka Allah dinilai tidak adil.
4. Manzilah
baina Manzilatain (tempat diantara dua tempat), seorang muslim yang
melakukan dosa besar maka menjadi fasik yaitu diantara muslim dan kafir.
Bila sampai meninggal belum bertaubat, mereka berpendapat orang
tersebut akan berada pada suatu tempat diantara surga dan neraka.
5.
Amar ma’ruh nahi munkar, mereka dikenal gigih memberantas
pemikiran-pemikiran sesat aliran kebatinan dan yang tidak rasional.
Bahkan sampai kepada hal-hal yang melampaui batas yaitu ketika mereka
dengan dukungan penguasa Bani Abbas mempropagandakan kemahklukan
Al-Qur’an.
Peristiwa Mihnah
Pada masa
pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid, salah seorang ulama Mu’tazilah
bernama Basyar Al Marisy melontarkan pendapat bahwa “Al-Qur’an adalah
makhluk”. Pada waktu itu Khalifah Harun Al-Rasyid mengancam orang-orang
yang berpendapat seperti itu dengan hukuman yang berat. Bahkah Khalifah
Harun Al-Rasyid pernah berkata : “Jika Allah SWT memberiku umur panjang,
bila aku berjumpa dengan Basyar, niscaya akan aku bunuh dia dengan
pembunuhan yang belum pernah aku jatuhkan kepada orang lain.”
Maka
Basyar Al Marisy pun ketakutan dan menyembunyikan diri dalam waktu
sekitar 20 tahun, hingga Khalifah Harun Al-Rasyid meninggal. Sepeninggal
Khalifah Harun Al-Rasyid, barulah Basyar keluar menampakkan diri dan
menyebarkan fahamnya ditengah masyarakat ramai. Maka ajaran ini menjadi
buah bibir dan pembicaraan yang ramai ditengah masarakat, namun Khalifah
Al-Amin pengganti ayahnya Harun Al-Rasyid masih bisa mengatasinya dan
memberikan ancaman dan hukuman berat kepada orang-orang yang mengatakan
bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.
Ketika pemerintahan berada pada
Khalifah Al-Ma’mun (saudara Al-Amin), orang-orang Mu’tazilah mendapat
hati disisi Khalifah dan mereka berhasil mempengaruhi Khalifah Al-Ma’mun
dan mendukung faham bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.
Khalifah
Al-Ma’mun (198-218 H) dikenal penganut dan pendukung utama aliran
rasionalis Mu’tazilah. Atas usulan menterinya yang menjabat sebagai
Qadhi Qudhat bernama Ahmad bin Abi Daud yang juga pentolah aliran
Mu’tazilah. Pada tahun 215 H Khalifah Al-Ma’mun yang sedang berada di
Tharsus memerintahkan pejabatnya di Baghdad yang bernama Ishaq bin
Ibrahim yang juga seorang penganut Mu’tazilah untuk memprogandakan
ajaran “Al-Qur’an adalah Makhluk” dan memaksakan faham itu kepada
seluruh rakyat dan para ulama.
Menurut kitab Tarikh At-Thabari, dalam suratnya kepada Ishaq bin Ibrahim, Al-Ma’mun menuliskan :
“Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya.” (QS Az-Zukhruf : 3)
Semua
orang tahu bahwa apa pun yang Allah jadikan adalah merupakan
coptaan-Nya dengan demikian dia (Al-Qur’an) adalah makhluk. Sedangkan
Allah berfirman :
“Dan Dia jadikan kegelapan dan cahaya.” (QS Thaha : 99)
dan firman-Nya :
“Demikianlah kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang telah lalu.” (QS Thaha : 99).
Dalam
dua ayat ini Allah memberitahukan bahwa Dia mengisahkan beberapa kisah
yang terjadi setelah Dia ciptakan. Allah jug berfirman :
“(Inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci.” (QS Hud : 1)
Allah
telah menyusun kitab-Nya dengan rapi dan menjelaskannya. Dengan
demikian jelas Dia adalah pencipta Al-Qur’an, maka yang diciptakan
berarti makhluk.”
(perhatikan betapa rasionalnya cara pemikiran kaum Mu’tazilah)
Hampir
semua ulama besar dipanggil ke Baghdad untuk diuji apakah mereka
sependapat dengan faham mereka. Bila tidak sependapat para ulama itu
dipaksa bahkan disiksa. Akhirnya sebagian besar ulama banyak yang dengan
terpaksa pura pura mengikuti pendapat mereka karena takut dibunuh.
Salah
satu ulama yang diinterogasi adalah Imam Ahmad bin Hanbal, beliau
satu-satunya yang tidak mau mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.
Berikut ini tanya jawab antara Ishaq bin Ibrahim dengan Imam Ahmad bin
Hanbal :
Ishaq bin Ibrahim : “Bagaimana pendapatmu tentang Al-Qur’an ?”
Ahmad bin Hanbal : “Al-Qur’an adalah Kalamullah.”
Ishaq bin Ibrahim : “Apakah ia makhluk ?”
Ahmad bin Hanbal : “Ia Kalamullah aku tidak menambahi yang lebih dari itu.”
Ishaq bin Ibrahim : “Apakah arti bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha Melihat ?”
Ahmad bin Hanbal : “Itu seperti apa yang Dia sifatkan kepada diri-Nya.”
Ishaq bin Ibrahim : “Apa maksudnya ?”
Ahmad bin Hanbal : “Aku tidak tahu, Dia seperti apa yang Dia sifatkan bagi diri-Nya.”
Karena
pendiriannya itu Imam Ahmad bin Hanbal dipenjara dan dihukum cambuk dan
aneka perlakuan kasar lainnya. Salah seorang sahabatnya yang bernama
Abu Bakar Al Mawarzi, ketika menjenguknya berusaha membujuk dan
menasehati beliau : “Ahmad, mereka memukuli anda, padahal Allah telah
berfirman : Janganlah kamu menjatuhkan dirimu dalam kebinasaan.” Maka
Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Silahkan nada keluar dari sini, dan
lihatlah yang diluar sana.” Maka Abu Bakar Al Mawarzi pun melihat keluar
dilihatnya banyak orang berkerumun diserambi istana Khalifah membawa
kertas dan pena. Abu Bakar Al Mawarzi pun bertanya, “Untuk apa kalian
membawa kertas dan pena ?” Orang-orang itu menjawab, “Kami menunggu dan
akan menuliskan apa yang diucapkan Imam Ahmad bin Hanbal.” Abu Bakar Al
Mawarzi kembali lagi dan menceritakan hal itu kepada Imam Ahmad bin
Hanbal, kemudian Imam Ahmad berkata : “ Wahai Mawarzi apakah aku akan
menyesatkan mereka semua ?, aku yakin tidak. Biarlah aku mati, asalkan
aku tidak menyesatkan orang-orang itu.” Abu Bakar Al Mawarzi lalu
berguman : “Ia mengorbankan dirinya karena Allah.”
Nyaris saja
Imam Ahmad bin Hanbal akan dibunuh, kalau saja tidak datang khabar dari
Tharsus bahwa Khalifah Al-Ma’mun telah meninggal secara mendadak.
Sepeninggal
Al-Ma’mun faham Al-Qur’an adalah makhluk masih dilanjutkan oleh
Khalifah penggantinya yaitu Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq. Propaganda itu
baru berhenti setelah ada peristiwa Al-Watsiq menginterogasi seorang
ulama bernama Abu Abdurrahman Abdullah bin Muhammad Adzrami (guru Imam
Abu Dawud dan Imam An-Nasa’i) yang juga dihadiri oleh tokok-tokoh ulama
Mu’tazilah
Al-Watsiq bertanya kepada para tokoh Mu’tazilah :
“Beritahukan kepada saya tentang seruan kalian kepada manusia itu
–maksudnya tentang kemakhlukan Al-Qur’an- apakah Rasulullah
mengetahuinya, namun dia tidak menyerukannya kepada manusia, atau beliau
sama sekali tidak mengetahuinya ?”
Seorang ulama Mu’tazilah, berkata : “Rasulullah pasti tahu tentang itu.”
Abu
Abdurrahman Abdullah bin Muhammad Adzrami yang dalam keadaan diborgol,
berkata : “Rasulullah mampu bersabar tidak menyeru manusia kepada apa
yang diketahuinya, sedangkan kalian tidak mampu.”
Mendengar
jawaban yang diplomatis dan cerdik itu Al-Watsiq kagum bercampur geli
dan akhirnya menghentikan propaganda tentang kemakhlukan Al-Qur’an.
Disamping
lima prinsip dasar (ushulil khomsah) dan Al-Qur’an adalah makhluk, ada
beberapa ajaran-ajaran mereka yang lain, diantaranya :
a.
Menolak memberikan sifat kepada Allah (Maha Mendengar, Maha Melihat,
dsb) karena hal itu dianggap menodai ke Esa-an Allah.
b. Baik dan buruk itu berdasarkan akal.
c. Orang yang berdosa besar akan kekal dalam neraka
d. Perbuatan manusia itu usaha bebas sendiri.
e. Allah tidak bisa dilihat walaupun di Akhirat kelak.
f. Surga dan neraka tidak kekal.
g. Alam semesta itu qadim.
XI. Aliran Shifatiyyah
Aliran
Shifatiyyah adalah faham yang menerima adanya sifat-sifat Allah yang
dikhabarkan dalam nash Al-Qur’an dan Hadits (sifat khabariyah). Aliran
ini bertentangan dengan faham Mu’tazilah yang menolak memberikan sifat
khabariah bagi Allah. Aliran Shifatiyyah dibagi menjadi empat sekte,
yaitu :
1. Musyabbihah / Mujasimah (Anthropomorpisme), yaitu
memegangi sifat khabariyah tentang tasybih dan tajsim berdasarkan makna
literalnya. Syiah Bayaniah, pengikut Bayan bin Sam’an menyatakan bahwa
Tuhan tercipta dari cahaya yang berbentuk tubuh sebagaimana manusia dan
semuanya akan hancur terkecuali ‘wajah’ nya saja. Syiah Mughiyitah
pimpinan Al-Mughirah bin Said mengatakan Tuhan itu laki-laki, berjisim
(bertubuh) dari cahaya, diatas kepalanya ada mahkota yang juga dari
cahaya, memiliki jantung yang memancarkan ilmu-ilmu hikmah
2. Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
a. Asy’ariyah, pengikut Imam Abu Hasan Al-Asy’ari.
b. Maturidiyah, pengikut Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
Imam Muhammad As Zabidi dalam kitab Ittikaf Sadatul Muttaqin, Juz II halaman 6 menyatakan :
“Bila dinyatakan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka maksudnya adalah aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah ”
3.
Aliran Khalaf (mutakallimin), yaitu sebagian ulama setelah abad ke-3
Hijriah yang menta’wilkan ayat-ayat tasybih dan tajsim yang ada qarinah
itu lafazh majazi yang masih memungkinkan untuk di ta’wilkan dari makna
hakikatnya, guna menghindari penyerupaan Allah dengan makhluknya.
Contohnya :
a.
“Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad),
sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah, tangan Allah diatas
tangan mereka.” (QS Al-Fath : 10)
Ulama khalaf menafsirkan kata “tangan Allah” dengan kekuatan, kekuasaan dan keridloan Allah.
b. “Dan buatlah perahu dengan mata Kami dan wahyu kami.” (QS Hud : 37).
Kata “mata Kami” ditafsirkan dengan pengawasan Kami.
c. “Tuhan yang Rahman bersemayam diatas Arsy.” (Q Thaha : 5)
Kata “bersemayam” ditafsirkan dengan berkuasa.
d. “Dan datanglah Tuhanmu, sedang para Malaikat berbaris-baris” (QS Al Fajr : 22).
Kata “datang Tuhanmu” ditafsirkan datang perintah Tuhanmu.
e. “Aduhai, sesalanku atas kelalaianku dalam mengurus sisi rusuk Tuhanku.” (QS Az Zumar : 56)
Kata “sisi rusuk Tuhanku” ditafsirkan dengan menunaikan kewajiban tuhan.
f. “Segala yang didunia akan lenyap binasa, dan yang akan kekal hanyalah wajah Tuhanmu.” (QS Ar Rahman : 26)
Kata “wajah” ditafsirkan dengan dzat Tuhan.
g. “Dan Dia (Allah) bersama kamu dimana saja kamu berada.” (QS AL-Hadid : 4)
Kata “bersama kamu” ditafsirkan dengan melihat, mengetahui, mendengar dan memantau
h.
“Adakah kamu merasa ama terhadap (Tuhan) yang dilangit itu, bahwa kamu
akan ditenggelamkan kedalam bumi, yang ketika itu berguncang keras ?”
(QS Al Mulk : 16)
Kata “di langit” ditafsirkan diketinggian (kemulyaan) dzatNya dan langit kekuasaannya.
i. Hadits Riwayat Bukhari :
Dari
Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda : “Tuhan kita, tiap-tiap malam
turun kelangit dunia pada ketika tinggal sepertiga malam yang terakhir,
lalu Dia berkata : ‘Siapakah yang akan berdo’a maka Aku kabulkan,
siapakah yang meminta maka akan Aku beri, siapakah yang mohon ampunan,
maka Aku ampuni.”
Kata “turun” ditafsirkan dilimpahkan Rahmat Allah.
j. Hadits riwayat Bukhari dan Muslim :
“Kepada
neraka jahanam selalu dilemparkan sesuatu, dan ia selalu bertanya :
‘Adakah tambahannya ?’ sampai tuhan meletakkan tumit-Nya dalam neraka
jahanam itu, sehingga berhimpit isi neraka itu yang satu dengan yang
lainnya, lalu jahanam berkata : ‘Cukuplah, cukup’.”
Kata ‘qadamahu” tidak ditafsirkan “tumit Allah” tapi semua orang-orang penghuni neraka.
k. Hadits riwayat Muslim :
“Bahwasanya hati anak Adam seluruhnya terletak diantara dua anak jari Tuhan yang Rahman.”
Kata “diantara anak jari” ditafsirkan anatara sifat Qudrat dan Iradat Allah.
l. Hadits riwayat Muslim:
“Tuhan menjadikan Adam atas rupa (citra) Nya.”
Kata rupa ditafsirkan dengan kehendak Nya.
m. Hadits riwayat Bukhari dan Muslim
“Barangsiapa bersedekah setimbang kurma hasil pencarian yang halal niscaya Tuhan menerima sedekah itu dengan tangan kanan-Nya.”
Kata “tangan kanan-Nya” ditafsirkan dengan keridloan-Nya.
4.
Aliran Salaf, yaitu mengimani semua nash Al-Qur’an dan Hadits yang
mengandung tasybih, tajsim dan sifat khabariyah Allah tetapi tanpa mau
membahas mendetail dan tidak mau memberikan ta’wilnya. Ulama-ulama yang
beraliran seperti ini antara lain : Imam Malik bin Anas, Muqatil bin
Sulaiman, Sufyan Tsauri, Dawud bin Ali Al-Ashafani, Harits bin Asad Al
Muhasibi. Diantara perkataan aliran salaf :
“Kami
beriman dengan segala apa yang diberitakan didalam Kitab dan Sunnah, dan
kami tidak mencoba menafsirkannya, mengetahui dengan yakin bahwa Allah
tidak seupa dengan makhluk apa pun dan bahwa semua pencitraan yang kami
katakan mengenai Dia, berdasarkan yang diciptakan sendiri oleh-Nya dan
berasal dari diri-Nya.”
XII. Aliran Ahlussunnah wal Jama’ah
A. Asy’ariyah
Aliran
ini disandarkan kepada perumusnya yaitu Imam Abu Hasan Al-Asy’ari
(260-324 H). Mula-mula beliau berguru kepada tokoh Mu’tazilah bernama
Abu Ali Al Jubai yang juga merupakan bapak tirinya. Beliau pun juga
dikenal sebagai penganut faham Mu’tazilah yang utama. Imam Abu Hasan
Al-Asy’ari juga sering diminta menggantikan mengajar di majelis
pengajian gurunya Al-jubai. Namun seiring perjalanan waktu, dikemudian
hari beliau merasa ketidakcocokan dengan aliran Mu’tazilah. Hal itu
mencapai puncaknya setelah terjadi diskusi-perdebatan antara Imam
Asy’ari dengan gurunya Al-Jubai ;
Asy’ari : Bagaimana
menurut pendapat anda tentang tiga orang yang meninggal dalam keadaan
berlainan : mukmin, kafir dan anak kecil.
Al Jubai : Orang mukmin masuk surga, orang kafir masuk neraka dan anak kecil selamat dari neraka.
Asy’ari : Apabila anak kecil itu ingin masuk surga, apakah mungkin ?
Al
Jubai : Tidak mungkin, bahkan dikatakan kepadanya bahwa surga itu
dapat dicapai dengan taat kepada Allah, sedangkan engkau (anak kecil)
belum beramal seperti itu.
Asy’ari : Seandainya anak kecil itu
berkata : memang aku belum beramal. Seandainya aku dihidupkan sampai
dewasa, tentu aku akan beramal seperti amalnya orang mukmin.
Al
Jubai : Allah akan menjawab : Aku mengetahui bahwa seandainya engkau
sampai umur dewasa niscaya engkau bermaksiat dan engkau akan masuk
neraka. Karena itu Aku sengaja mematikanmu sebelum engkau dewasa.
Asy’ari
: Seandainya orang kafir itu bertanya kepada Allah : Engkau telah
mengetahui keadaanku sebagaimana mengetahui keadaan si anak kecil,
mengapa Engkau tidak menjaga kemaslahatanku dan mematikan aku selagi
masih kecil ?
(maka Al Jubai terdiam, tidak mampu menjawab)
Beberapa waktu lamanya ia merenungkan dan mempertimbangkan antara
ajaran-ajaran Mu’tazilah dan faham ahli fiqih-Hadits. Ketika mencapai
umur 40 tahun, Imam Abu Hasan Al-Asy’ari mengurung diri dirumahnya
selama 15 hari untuk memikirkan hal tersebut. Pada hari jum’at, dia naik
mimbar Masjid Basrah, menyatakan secara resmi keluar dari aliran
Mu’tazilah dengan berpidato :
“Wahai sekalian manusia, barang
siapa mengenalku sungguh dia telah mengenalku. Barangsiapa belum
mengenalku, maka aku mengenalnya sendiri. Aku adalah fulan bin fulan,
dahulu aku berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk; bahwa
sesungguhnya Allah tidak melihat dengan mata; bahwa perbuatan-perbuatan
jelek aku sendiri yang memperbuatnya. Aku bertaubat dan menolak
faham-faham Mu’tazilah dan keluar daripadanya.”
Imam Abu Hasan Al
Asy’ari setelah keluar dari Mu’tazilah beliau merumuskan
ajaran-ajarannya kembali berdasarkan manhaj salafus saleh, beliau
mengikuti pendapat imam Malik bin Anas dan Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau
merumuskan ajarannya berada ditengah-tengah antara kaum Mu’tazilah yang
rasionalis-liberalis dengan kaum Anthropomorpis-literalis.
Beliau
kembali ke manhaj salaf dengan mendasarkan kepada nash Al-Qur’an dan
Hadits, tetapi menerangkannya dengan menggunakan metode scholastis yang
rasional sebatas memperkuat dan menjelaskan pemahaman nash. Ternyata
perumusan ajaran-ajaran beliau diterima oleh mayoritas umat Islam.
Imam Abu Hasan Asy’ari pernah mengatakan :
“Sesungguhnya
banyak pengikut aliran Mu’tazilah dan Qadariyah yang menuruti hawa
nafsu mereka untuk bertaqlid pada pimpinan-pimpinan mereka dan
orang-orang yang mendahului mereka, sehingga mereka mentakwilkan
Al-Qur’an menurut pendapat mereka sendiri, degan suatu ta’wilan dimana
Allah tidak menurunkan padanya suatu kekuasaan dan tidak menjelaskan
padanya suatu bukti dan merekapun tidak menukilkan dari Rasul, begitu
pula tidak dari orang-orang salaf terdahulu.”
Seorang Ulama dan
peneliti asal Mesir, Dr. Muhammad Abu Zahrah menuliskan metodologi dan
pemikiran Imam Hasan Asy’ari sebagai berikut :
1. Menempatkan
Al-Qur’an dan hadits sebagai sumber inspirasi akidah dan sebagai bahan
argumentasi atas segala macam bantahan yang datang. Maka dapat
diartikan, bahwa AL-Qur’an maupun Hadits sebagai dasar metodologi
berhujjah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah).
2. Meletakkan
tekstual nash (Dhawahur An Nushus) yang masih mungkin membutuhkan
interpretasi dan masuk dalam kategori tasybih, tanpa harus dipaksakan
masuk dalam tasybih secara murni. Dalam hal ini mempunyai dampak atau
konsekuensi logis, bahwa ia tidak bisa lepas dari sebuah pemahaman kalau
Allah mempunyai wajah, akan tetapi sangat berbeda dengan wajah semua
mahkluk-Nya. Demikian pula mempunyai tangan yang tidak sama dengan
tangan makhluk-nya.
3. Memperbolehkan berhujjah dalam hal
akidah, meskipun bersumber dari hadits-hadits ahad. Sebagai bukti, bahwa
sebenarnya hadits ahad pun sah-sah saja sebagai pedoman. Secara tegas
ia menjelaskan, betapa banyak hadits-hadits ahad yang dijadikan rujuan
akidah (tentunya hadits ahad yang sahih).
Imam Abu
Hasan Asy’ari telah menulis sekitar 300 judul kitab dalam berbagai
bidang ilmu. Diantara kitabnya yang terkenal adalah Al Ibanah ‘An Ushul
Ad Dinayah, sebuah kitab besar tentang Ushuludin, akidah Ahlus Sunnah
wal Jama’a, Maqalatul Islamiyyin dan Al-Luma’. .
Orang-orang yang
mengaku pengikut Imam Ahmad bin Hanbal (kaum Hanbaliyin) yang juga
kadang disebut kaum salaf tetap mencurigai beliau, karena beliau
sebelumnya dikenal sebagai penganut Mu’tazilah disamping karena Imam
Asy’ari menggunakan metode scholastik yang dianggap masih berbau
Mu’tazilah dan bermazhab Syafi’i. Akibatnya orang-orang
Hanbaliyin-Salafiyin menentangnya dan mengkafirkannya bahkan
menghalalkan darah orang-orang yang mendukung ajarannya.
Penentangan orang-orang Hanbaliyin-Salafiyin terhadap faham Asy’ariyah, bisa diruntut sebagai berikut :
a.
Sepeninggal Khalifah Al-Watsiq, tampuk kekuasaan ada ditangan Khalifah
Al-Mutawakkil (205-247 H). Khalifah Al-Mutawakkil tidak mendukung faham
Mu’tazilah, beliau kembali melarang ajaran tentang kemakhlukan Al-Qur’an
bahkan beliau melakukan pembersihan terhadap ulama-ulama Mu’tazilah
yang dulu mempropagandakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Beliau sangat
menghoramati dan mendukung ajaran-ajaran Imam Ahmad bin Hanbal.
b.
Sejak masa pemerintahan Khalifah Al-Mutawakkil, banyak menteri yang
diangkat dari kalangan Hanbaliyin, pengikut Imam Ahmad bin Hanbal. Jadi
lingkungan istana didominasi oleh ulama-ulama Hanbaliyin.
c.
Ajaran-ajaran Imam Abu Hasan Asy’ari yang eks Mu’tazilah dan bermazhab
Syafi’i yang merumuskan kembali manhaj salafus-saleh berdasarkan nash
Al-Qur’an dan Hadits tetapi dengan metode scholastik, kenyataannya
menarik perhatian dan diterima oleh banyak orang. Hal ini tidak disukai
dan dicurigai oleh kaum Hanbaliyin-Salafiyin yang merasa lebih “salaf”
dari dulunya. Popularitas ajaran Asy’ariyah yang bermazhab Syafi’iyah
dikhawatirkan mengurangi pengaruh kaum Hanbaliyin-Salafiyin dilingkungan
istana Khalifah.
d. Salah seorang menteri pada masa Khalifah
Al-Qaim Biamrillah (391-467 H) yang bernama ‘Amid al Mulk sampai-sampai
mengeluarkan praturan-peraturan yang mendiskreditkan orang-orang
penganut Asy’ariyah.
Disatu pihak orang-orang
Hanbaliyin-Salafiyin yang menentang ajaran Asy’ariyah, di pihak lain
banyak ulama-ulama besar Syafiiyah yang mendukung ajaran-ajaran Imam Abu
Hasan Asy’ari, diantaranya :
1. Abu Bakar bin Tayyib Al
Baqillany (wafat 403 H). Beliau lahir dikota Basrah. Kitab karangannya
yang terkenal adalah At Tahmid, artinya pendahuluan, Kitab At Tahmid ini
perlu dipelajari sebelum seseorang memasuki Ilmu Kalam, berisi antara
lain tentang atom (jauhar fard), sifat (‘ardl) dan cara pembuktian.
2.
Abu Ma’aly bin Abdillah Al Juwainy (419-478 H), lahir di Nisabur
kemudian berpindah ke Baghdad, Beliau mengikuti ajaran Imam Asy’ari dan
Al Baqillany. Imam Al juwainy sempat menjadi sasaran amarah orang-orang
Hanbaliyin-Salafiyin karena mengikuti ajaran Asy’ariyah yang dianggap
terlalu memberi porsi kepada akal. Karena peristiwa itu, terpaksa beliau
meninggalkan Baghdad dan bermukim di Mekkah dan Madinah untuk memberi
pelajaran. Karena itu beliau digelari “Imam Haramain” (imam dua tanah
suci). Beliau mengarang beberapa kitab, diantaranya kitab “Qowaidlu
‘Aqaidu Ahli Sunnah wal Jama’ah” yaitu Prinsip-Prinsip Akidah Ahlus
Sunnah wal Jamaah berdasarkan perumusan Imam Abu Hasan Asy’ari. Dari
sinilah selanjutnya aliran Asy’ariyah menjadi populer, diterima oleh
mayoritas umat Islam dan disebut dengan aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah
sampai sekarang.
3. Imam Syarastani (479-574 H) lahir di
Khurasan, pengarang kitab Al Milal wa An Nihal kitab terbaik tentang
firqoh-firqoh dalam theologi Islam yang sangat terkenal.
4.
Imam Abu Hamid Al Ghazali (450-505 H), murid Imam Al-Juwainy. Menguasai
hampir semua ilmu keislaman temasuk filsafat, digelari “Hujjatul Islam”
pengarang kitab “IHYA ULUMIDDIN” yang sangat terkenal. Kitab Ihya’ ini
berisi uraian yang panjang lebar tentang fiqih, akhlak dan penyucian
jiwa (tasawuf) tanpa memasuki area ittihad dan hulul. Kitab Ihya’ ini
berhasil mengkompromikan dan meredam polemik perselisihan antara ahli
tasawuf dan ahli syariat.
5. Imam Fahruddin Ar Razi (lahir 543
H) di Persia. Banyak menulis kitab-kitab tentang ilmu kalam, Fiqih,
Tafsir dan lain-lain.
6. Imam As Sanusi (833-895 H), lahir di
Tilimsan Aljazair. Mengarang kitab “Aqidah Ahli Tauhid” tentang
pandangan tauhid Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan kitab “Ummul Barahin”
berisi sifat-sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah dan RasulNya,
isinya praktis sangat populer di pesantren-pesantren di Indonesia.
B. Maturidiyah
Aliran
ini disandarkan kepada perumusnya yaitu Imam Abu Manshur Al-Maturidy
(wafat 333 H). Lahir di kota Maturid Samarkand. Hidup hampir sejaman
dengan Imam Abu Hasan Asy’ari, hanya saja kota tempat tinggalnya
berbeda. Imam Maturidy bermazhab Hanafy, maka tidak heran kebanyakan
pengikutnya adalah orang-orang pengikut mazhab Abu Hanifah, sedangkan
Imam Asy’ari bermazhab Syafi’i.
Secara umum pemikiran dan
ajarannya tidak jauh berbeda dengan Imam Abu Hasan Asy’ari. Banyak segi
persamaannya, hanya sekitar 10 masalah saja yang berbeda, antara lain :
masalah takdir. Asy’ari lebih dekat kepada Jabariyah, sedangkan Maturidy
lebih dekat kepada Qadariyah. Persamaannya keduanya sama-sama menentang
Mu’tazilah dan membela faham salafus saleh berdasarkan nash Al-Qur’an
dan Hadits.
Perbedaan lain, Asy’ari berpendapat bahwa ma’rifat
kepada Allah berdasarkan tuntutan syara’, sedangkan Maturidy berpendapat
hal itu diwajibkan oleh akal. Menurut Asy’ari sesuatu itu baik atau
buruk menurut syara’, sedangkan menurut Maturidy sesuatu itu sendiri
mempunyai sifat baik dan buruk.
Al Maturidy menaruh porsi akal
lebih banyak dalam hal ma’rifat kepada Allah dan penentuan apakah
sesuatu itu baik dan buruk. Tetapi juga disadari bahwa akal semata-mata
belum cukup untuk mengetahui hukum-hukum ta’kifiah. Hal ini sesuai
dengan pendapat Imam Abu Hanifah.
Berbeda halnya dengan Asy’ari
yang kitab-kitab karangannya mudah didapatkan sampai sekarang, seperti
Maqalatul Islamiyyin, Al Ibanah dan Al Luma’, maka kita kesulitan
mendapatkan kitab Maturidiyah. Yang jelas beliau bermazhab Hanafi.
Pandangan-pandangan tauhidnya berasal dari pendapat Imam Abu Hanifah.
Jadi
Asy’ariyah dan Maturidiyah, keduanya sama-sama kembali ke manhaj
Salafus Saleh, (mengikuti faham Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal)
mendasarkan pada nash Al-Qur’an dan Hadits, beriman kepada semua
ayat-ayat mutasyabih dan sifat khabariyah tanpa terlalu jauh
menta’wilkannya. Keduanya sama-sama menentang aliran Mu’tazilah yang
ultra rasionalis-liberalis dan keduanya juga menentang aliran
Musyabbihah-Mujasimah yang ultra tekstualis-literalis sehingga jatuh
pada anthropomorpisme (menyerupakan Allah dengan keadaan makhluk,
seperti mempunyai anggota tubuh (jism), duduk, datang, melempar dsb).
XII. Aliran Salaf (Hanbaliyah)
Kalau
yang dimaksud aliran salaf dalam masalah akidah dan theologi adalah
mengikuti manhaj salafus saleh (faham Imam Malik, Ahmad bin Hanbal),
maka sebenarnya aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Ays’ariyah dan
Maturidiyah) juga mengikuti manhaj salaf tersebut. Maka bisa dikatakan
dalam theologi : aliran Salafiyah-Asy’ariyah dan Salafiyah-Maturidiyah.
Namun
pada kenyataannya, karena sebagian orang-orang penganut mazhab fiqih
Hanbali masih mencurigai aliran Asy’ariyah (bermazhab Syafi’i dalam
fiqih) dan Maturidiyah (bermazhab Hanafi dalam fiqih) mereka tetap
menentang kedua aliran tersebut. Jadi yang dimaksud aliran salaf dalam
pembahasan sekarang ini adalah aliran salaf pengikut mazhab Hanbali
dalam fikih atau aliran Salafiyah-Hanbaliyah.
Istilah
aliran Salaf, sering dinisbatkan kepada para pengikut Ibnu Taimiyah
(661-728 H) yang juga bermazhab Hanbali dalam fiqih. Disamping itu
dimasa sekarang ini telah marak gerakan (harokah) dakwah yang menamakan
diri “SALAFI” sehingga seakan-akan aliran Salafi ini aliran tersendiri
yang berbeda dengan aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, padahal kalau dalam
theologi sebenarnya alirannya sama dengan aliran Ahlus Sunnah wal
Jama’ah (Asy’ariyah / Maturudiyah). Selanjutnya yang dimaksud istilah
aliran / kaum salaf dalam pembahasan disini adalah kaum Salafi
Hanbaliyah.
Aliran salaf ini mengalami perkembangan, pergeseran
dan metamorfosa dalam 9 periode waktu yang diwakili oleh pemikiran
tokoh-tokoh utamanya pada masing-masing periode, yaitu :
1. Periode Generasi Sahabat Nabi.
Pada
periode ini belum muncul yang namanya “Aliran Salaf” karena secara umum
tiga generasi awal ini memiliki manhaj dan karakteristik yang masih
“original” sesuai dengan masa kenabian, terutama dalam bidang akidah dan
teologi (ilmu kalam).
BERSAMBUNG.