Jumat, 26 Juli 2013

Hukum Talfiq ( Ibadah dengan Berbagai Madzhab )

Dalam bertaqlid, umat Islam diberi kebebasan untuk memilih madzhab mana saja yang sesuai dengan hati nuraninya. Tapi kebebasan tersebut bukan tanpa kendali. Ada satu syarat, bahwa kebebasan ini jangan sampai terperangkap dalam talfiq. Karena mayoritas ulama tidak membenarkan adanya talfiq ini.

Sebelum panjang lebar saya akan menjelaskan arti Taliq terlebih dahulu Mungkin diantara pembaca ada yang belum mengerti arti Talfiq. Secara bahasa, talfiq berarti melipat. Sedangkan yang dimaksud talfiq secara syar’i adalah mencampuradukkan pendapat seorang ulama dengan pendapat ulama yang lain, sehingga tidak seorang pun dari mereka membenarkan perbuatan yang dilakukan tersebut. Muhammad Amin al-Kurdi mengatakan “(Syarat kelima dari taqlid) adalah tidak talfiq, yaitu tidak mencampur antara dua pendapat dalam satu qadhiyah (masalah) baik sejak awal, pertengahan dan seterusnya, yanag nantinya, dari dua pendapat itu akan menimbulkan satu amaliyyah yang tidak pernah dikatakan orang yang berpendapat.” (Tanwir al-Qulub 397)
Jelasnya, talfiq adalah melakukan suatu perbuatan atas dasar hukum yang merupakan gabungan dua madzhab atau lebih. Contohnya sebagai berikut:

a. Seseorang berwudhu menurut madzhab Imam syafi’i dengan mengusap sebagian (kurang dari seperempat) kepala. Kemudian dia menyentuh kulit wanita ajnabiyyah (bukan mahramnya), dan langsung shalat dengan mengikuti madzhab Imam Hanafi yang mengatakan bahwa menyentuh wanita ajnabiyyah tidak membatalkan wudhu. Perbuatan ini disebut talfiq, karena menggabungkan pendapatnya Imam Syafi’i dan Imam Hanafi dalam masalah wudhu. Yang pada akhirnya, kedua imam tersebut sama-sama tidak mengakui bahwa gabungan itu merupakan pendapatnya. Imam Syafi’i membatalkan wudhu seseorang yang menyentuh kulit lain jenis. Sementara Imam Abu Hanifah tidak mengesahkan wudhu seseorang yang hanya mengusap sebagian kepala.

b. Seseorang berwudhu dengan mengusap sebagian kepala, atau tidak menggosok anggota wudhu karena mengikut madzhab Imam Syafi’i. Lalu ia menyentuh anjing, karena ikut madzhab Imam Malik yang mengatakan bahwa anjing adalah suci. Ketika dia shalat, maka kedua imam tersebut tentu sama-sama akan membatalkannya. Sebab, menurut Imam Malik wudhu itu harus dengan mengusap seluruh kepala dan juga dengan mengosok anggota wudhu. Wudhu ala Imam Syafi’i, menurut Imam Malik adalah tidak sah. Demikian juga, anjing menurut Imam Syafi’i termasuk najis mughallazhah (najis yang berat). Maka ketika menyentuh anjing lalu shalat, shalatnya tidak sah. Sebab kedua imam itu tidak menganggap sah shalat yang dilakukan itu

Talfiq semacam ini dilarang dalam agama. Sebagaimana yang disebut dalam kitab I’anah al-Thalibin “Talfiq dalam satu masalah itu dilarang, seperti ikut pada Imam Malik dalam sucinya anjing dan ikut kepada Imam Syafi’I dalam bolehnya mengusap kepala untuk mengerjakan satu shalat.” (I’anah al-Thalibin, Juz I, hal 17)

Sedangkan tujuan pelarangan adalah agar tidak terjadi tatabbu al-rukhash (mencari yang gampang-gampang), tidak memanjakan umat Islam untuk mengambil yang ringan-ringan. Sehingga tidak akan timbul tala’ub (main-main) dalam hukum agama.

Untuk menghindari adanya talfiq yang dilarang ini, maka diperlukan adanya suatu penetapan hukum dengan memilih salah satu madzhab dari madzahibul arba’ah yang relevan dengan kondisi Indonesia. Misalnya, dalam persoalan shalat (mulai dari syarat, rukun dan batalnya) ikut madzhab Syafi’i. untuk masalah sosial kemasyarakatan mengikuti madzhab Hanafi. Sebab, diakui atau tidak bahwa kondisi Indonesia mempunyai ciri khas tersendiri. Tuntutan kemaslahatan yang ada berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lain. Dengan begitu. Insya Allah hukum akan ditaati oleh pemeluknya. Tidak hanya tertera di atas tulisan semata.
 


Secara kodrati, manusia di dunia ini terbagi menjadi dua kelompok besar. Ada yang ’alim (pintar dan cerdas serta ahli dalam bidang tertentu) dan ada ’awam (yang kurang mengerti dan memahami tentang suatu permasalahan). Sudah tentu yang tidak paham butuh bantuan yang pintar. Di dalam literatur fiqh, hal itu dikenal dengan istilah Taqlid atau ittiba.

Muhammad Sa’id Ramadhan al‐Buthi mengidentifikasikan taqlid sebagai berikut ”Taqlid adalah mengikuti orang lain tanpa mengerti dalil yang digunakan atas keshahihan pendapat tersebut, walaupun mengetahui tentang keshahihan hujjah taqlid itu sendiri.” (Al‐Lamadzhabiyyah Akhtharu Bid’ah al‐syari’ah al‐Islamiyyah, 69)

Taqlid itu hukumnya haram bagi seorang mujtahid dan wajib bagi orang yang bukan mujtahid. Imam al‐Suyuthi mengatakan: ”Kemudian, manusia itu ada yang menjadi mujtahid dan ada yang tidak. Bagi yang bukan mujtahid wajib bertaqlid secara mutlaq, baik ia seorang awam maupun yang alim. Berdasarkan firman Allah SWT:

(QS. Al‐Anbiya’ 7), ”Bertanyalah kamu pada orang yang alim (dalam bidangnya) jika kalian tidak tahu.” (Al‐Kawkab al‐Sathi’ fi Nazhmi al‐Jawami 492)

Taqlid ialah mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui hujjah yang menunjjukan kebenaran pendapat tersebut. Dalam hal ini, tak ada bedanya antara taqlid dan ittiba’ , karena keduanya mempunyai arti yang sama. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Syaikh al Buthi ”Tidak ada perbedaan kalau perbuatan itu disebut dengan taqlid atau ittiba’. Sebab dua kata itu mempunyai arti yang sama. Dan tidak terbukti adnya perbedaan secara bahasa antara keduanya.” (Al‐Lamazhabiyyah Akhtharu Bid’ah Tuhaddid al‐Syari’ah al‐Islamiyah,69)

Dalam Al Quran Al Karim , Allah Azza Wajalla menggunakan kata‐kata ittiba’ sebagai pengganti kata‐kata taqlid, sebagaimana firmannya:

“(yaitu) ketika orang‐orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang‐orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang‐orang yang mengikuti: ʺSeandainya Kami dapat kembali (ke dunia), pasti Kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.ʺ Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali‐kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (Al‐ Baqarah 166 ‐ 167)

Tidak ada keraguan lagi bahwa yang dimaksud “ittiba’” dalam ayat ini ialah “taqlid” yang terlarang. Adapun istilah yang anda pergunakan untuk membedakan arti taqlid dan ittiba’ dalam masalah ini hanya ada dua alternatif , yaitu :

Apabila anda mengerti dalil‐dalil dan mempunyai kemampuan untuk melakukan istinbath , berarti anda adalah mujtahid. Akan tetapi , bila anda tidak mengerti dalil dan tidak menguasai cara‐cara melakukan istinbath , anda adalah orang taqlid kepada mujtahid.

Bahkan ittiba’ tidak selalu berarti baik. Tidak jarang di dalam al‐Qur’an, ittiba’ ditujukan untuk sesuatu yang tidak terpuji, sebagaimana firman Allah :

”Dan janganlah kamu mengikuti (ittiba’) langkah‐langkah setan karena sesungguhnya dia merupakan musuh yang nyata bagi kalian.” (QS‐al Baqarah, 168)

Taqlid terhadap ulama yang memiliki ilmu agama adalah perintah dari Allah yang mana Allah SWT berfirman :

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mengetahui”. (An Nahl 43).

Para ulama telah sepakat bahwa ayat diatas merupakan perintah kepada orang yang tidak mengerti hukum dan dalil agar mengikuti orang yang memahaminya. Seluruh ulama usul telah menetapkan ayat ini sebagai dasar pertama untuk mewajibkan orang awam agar taqlid pada mujtahid.

Semakna dengan ayat diatas ialah firman Allah s.w.t :

“tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap‐tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (At‐taubah 122)

Dalam ayat ini Allah Azz Wajalla melarang semua orang pergi berperang dan melakukan jihad, tepati memerintahkan agar segolongan dari mereka tetap tinggal di tempatnya untuk mempelajari ilmu agama sehingga bila orang‐orang yamg dapat memberikan fatwa tentang urusan halal ‐ haram serta menjelaskan hukum‐hukum Allah S.W.T lainya. Dengan demikian, yang bertaqlid itu tidak hanya terbatas pada orang awam saja. Orang‐ orang alim yang sudah mengetaui dalilpun masih dalam katagori seorang muqallid. Selama belum sampai pada tingkatan mujtahid, mereka wajib bertaqlid, sebab pengetahuan mereka hanya sebatas dalil yang digunakan, tidak sampai kepada proses, metode dan seluk beluk dalam menentukan suatu hukum.

Al-Allamah Thayyib bin Abi Bakr al‐Hadhrami menegaskan “Orang alim yang tidak sampai pada tingkatan ijtihad, maka sebagaimana orang awam, mereka wajib ber‐taqlid.” (Mathlab al‐ Iqazh fi al‐Kalam al‐Syai’in min Ghurar al‐Alfazh, 87)

Adapun Taqlid dari segi Ijma’ di zaman sahabat menunjukkan bahwa para Sahabat Nabi s.a.w. tidak sama tingkatan ilmu dan tidak kesemua nya ahli fatwa sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Khaldun. Dan masalah agama pun tidak diambil dari mereka semua. Diantara mereka ada yang jadi mufti atau mujtahid , tetapi jumlahnya sangat sedikit dan ada pula yang meminta fatwa dan menjadi muqallid yang jumlahnya sangat banyak. Para sahabat yang menjadi mufti (mujtahid) dalam menerangkan hukum agama , tidak selalu menerangkan dalil‐dalil nya kepada yang meminta fatwa.

Rasulullah s.a.w. telah mengutus para sahabatnya yang ahli hukum kedaerah‐daerah yang penduduknya tidak mengenal Islam, selain hanya mengetahui akidah dan rukun‐ rukunnya saja. Kemudian para penduduk daerah tersebut mengikuti fatwa utusan rasulullah s.a.w dengan mengamalkan ibadah dan muamalah, serta segala macam urusan yang ada sangkut –paut nya dengan halal dan haram. Apabila para utusan Rasul menjumpai masalah yang tidak ditemui kan dalil nya dari Al Kitab dan as Sunnah, ia melakukan ijtihad dan memberi fatwa menurut petunjuk dari hasil ijtihadnya selanjutnya, penduduk setempat mengikuti fatwa tersebut. Hal di atas telah kami sampaikan bahwa ketika sahabat Mua’dz dikirim oleh Rasulullah SAW ke Yaman sebagaimana berikut:

“Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda bagaimana engkau menentukan apabila tampak kepadamu suatu ketentuan? Mu’adz menjawab; saya akan menentukan hukum dengan kitab Allah? kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah s.aw. kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak kembali; Mu’adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya, kemudian Mu’adz berkata; Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai‐Nya.

Imam al Ghazali rahimahumullah dalam kitabnya Al Mustaasyfa pada bab taqlid dan istifta (meminta fatwa): “Dalil orang awam harus taqlid ialah ijma’ sahabat. Mereka memberikan fatwa kepada orang awam, tanpa memerintahkannya mencapai darajat ijtihad. Hal ini dapat diketahui dengan pasti dan dengan cara mutawatir, baik dari kalangan ulama’ maupun para awam”.

Imam Al Aamidi berkata dalam kitabnya Al Ahkaam fii ushulil Ahkaam: “Ada pun dalil taqlid dari segi ijma’ ialah orang awam zaman sahabat dan tabi,in sebelum timbul golongan menentang, selalu meminta fatwa kepada para mujtahidin dan mengikuti mereka dalam urusan hukum syariat. Para ulama dari kalangan mereka dengan cepat menjawab pertanyaan ‐ pertanyaan tanpa menyebut kan dalil‐dalinya dan tidak ada seorang pun yang ingkar. Hal ini berarti mereka telah ijma’ bahwa seorang awam boleh mengikuti mujtahid secara muthlak “.

Dalil Taqlid dari segi Akal, untuk taqlid ini kami mengambil dari perkataan Syekh Abdullah Darraz sebagai berikut: “Dalil taqlid dari segi akali pikiran ialah bagi orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk ijtihad, bila terjadi suatu masalah hukum, ada dua kemungkinan.

Pertama: Dia tidak terkena kewajiban melakukannya samasekali (tidak wajib beribadah) maka hal ini menyalahi ijma’.

Kedua: Dia terkena kewajiban melakukan ibadah. Ini berarti dia harus meneliti dalil yang menetapkan suatu hukum atau ia harus taqlid.

Untuk yang kedua jelas tidak mungkin , sebab dengan melakukan penelitian itu, ia harus meniliti dalil‐dalil semua masalah sehingga harus meninggalkan kegiatan sehari‐hari, yaitu meninggalkan semua perkerjaan yang ada, yang akhirnya akan menimbulkan kekacauan. Oleh kerana itu, tidak ada kemungkinan lain kecuali taqlid. Itulah kewajiban dia bila menemui masalah yang memerlukan pemecahan hukum.

Oleh kerana itu, setelah para ulama melihat dalil‐dalil yang cukup sempurna dari Al Kitab dan as Sunnah, serta dalil akal yang menegaskan bahwa bagi orang awam dan orang alim yang belum sampai pada tingkatan mampu melakukan istinbath dan ijtihad harus taqlid pada mujtahid, para ulama pun menyatakan bahwa kedudukan fatwa mujtahid. Hal ini kerana Al‐Quran Al Karim selain mewajibkan orang yang alim agar berpegang pada dalil‐dalil dan keterangan didalamnya, juga mewajibkan kepada orang bodoh (awam) berpegang pada fatwa nya orang alim dan hasil ijtihadnya.

Untuk menjelaskan masalah ini lebih lanjut, syekh as Syathibi berkata sebagai berikut: Artinya: “Fatwa‐fatwa para mujtahid itu bagi para orang awam bagaikan dalil syariat bagi para mujtahidin. Adapun alasannya ialah ada atau tidak adanya dalil bagi orang yang taqlid (muqallid) adalah sama saja kerana mereka sedikit pun tak mampu mengambil faedah darinya. Jadi masalah meneliti dalil dan istinbath bukanlah urusan mereka dan mereka tidak diperkenankan melakukan hal tersebut. Dan sesungguhnya Allah s.w.t berfirman: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak menghetahui”.

Orang yang taqlid bukanlah orang yang alim, oleh karena itu, tidak sah baginya selain bertanya kepada ahlinya. Para ahli ilmu itulah tempat kembali baginya dalam urusan hukum agama secara muthlak, jadi kedudukan mereka bagi orang yang taqlid serta ucapannya seperti Syara’.” (Al Muwafaqah , karya Imam As syathibi jilid iv hlmn. 290)

Kemudian, bagaimana dengan Imam Abu Dawud yang meriwayatkan ucapan Imam Ahmad bin Hanbal “Imam Ahmad berkata kepadaku, ”Janganlah kamu bertaqlid kepadaku, juga kepada Imam Malik, Imam Syafi’I, al‐Awza’i, dan al‐Tsauri. Tapi galilah dalil‐dalil hukum itu sebagaimana yang mereka lakukan.” (Al‐Qawl al‐Mufid li al‐Imam Muhammad bin Ali al‐ Syaukani 61).

Coba perhatikan dengan seksama, kepada siapa Imam Ahmad berbicara? Beliau menyampaikan ucapan itu kepada Abu Dawud pengarang kitab Sunan Abi Dawud yang memuat lima ribu dua ratus delapan puluh empat hadits lengkap dengan sanadnya. Tidak kepada masyarakat kebanyakan. Sehingga wajar, kalau imam mengatakan hal itu kepada Imam Abu Dawud, sebab ia telah memiliki kemampuan untuk berijtihad.

Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Syaikh Waliyullah al‐Dahlawi ketika mengomentari pendapat ibn Hazm “Pendapat Ibn Hazm yang mengatakan bahwa taklid itu haram (dan seterusnya)…itu hanya berlaku bagi orang yang mempunyai kemampuan ijtihad walaupun hanya dalam satu masalah.” (Hujatullah al‐Baligah, juz I hal443‐444)

Semua dalil yang sudah kami sajikan menekankan kewajiban taqlid bagi orang yang kedudukan ilmunya terbatas dan tidak mampu melakukan istinbath hukum dan berijtihad. Sudah jelaslah dalil‐dalil berdasarkan penukilan yag sah dan ijma’ serta dalil akal yang menunjjukan berlaku nya taqlid dan bahkan wajib hukumnya bila tidak mampu mencapai derajat istinbath dan ijtihad.

Kami tidak memahami bagaimana mereka bisa menuduh dengan mudah bahwa orang yang mengamalkan majelis Tahlil dan Yasin yang mana dalil dan hujjah kami sajikan di atas masih juga di sebutkan sebagai TAQLID BUTA ?

Justru mereka lah yang memiliki pola pikir jumud / kaku serta terbelakang dan TAQLID BUTA secara serampangan kepada murobinya (gurunya) yang hanya bisa menebar kata‐kata bid’ah tanpa mendalami ilmu dan mencari kebenarannya dalam khasanah ilmu agama Islam yang bersumber kepada Al‐Qur’an, Sunnah/Hadist, Ijma’ dan Qiyas.

Sungguh kita sangat menyayangkan tindak tanduk mereka ini tanpa ilmu yang jelas asalnya hanya bisa membakar “semangat” permusuhan tanpa TABAYUN terlebih dahulu untuk mencari bukti kebenaran yang nyata.

Sekali lagi kami tegaskan bahwa kami bertaqlid kepada ulama yang telah diakui umat, baik akhlaq dan sikapnya sehari‐harinya, di mana fatwa mereka diyakini berasal dari Al‐ Qur’an dan As‐Sunnah dan jelas semua amalan mereka memiliki dasar / dalil serta hujjah yang jelas dan kuat dan disepakati oleh seluruh ulama mazhab.

Taqlid itu sesungguhnya berlaku dalam berbagai persoalan di dalam kehidupan ini. Seorang dokter, misalnya, ketika memberikan resep obat kepada pasiennya, tentu dia mengambil dari apotik, bukan dari obat hasil temuannya sendiri. Dia cukup membeli produk perusahaan obat tertentu yang bonafit. Begitu juga seorang guru geografi, ketika menerangkan kepada murid‐muridnya bahwa bumi itu bulat, di hanya mengikuti teori Galileo Galilei dan Thomas Copernicus, bukan dari hasil penelitian dia sendiri. Dan begitu seterusnya..

Hal tersebut berarti taqlid merupakan sunatullah (hukum alam) yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya atau diperjuangkan untuk dihapus. Namun demikian, bukan berarti umat Islam harus terperangkap pada taqlid buta, karena akan menggambarkan keterbelakangan serta rendahnya kualitas individu umat Islam. Itulah sebabnya ulama pesantren mencetak ulama yang mumpuni.


Wallahua'lam

Semoga bermanfaat

Hukum Talfiq ( Ibadah dengan Berbagai Madzhab )

Dalam bertaqlid, umat Islam diberi kebebasan untuk memilih madzhab mana saja yang sesuai dengan hati nuraninya. Tapi kebebasan tersebut bukan tanpa kendali. Ada satu syarat, bahwa kebebasan ini jangan sampai terperangkap dalam talfiq. Karena mayoritas ulama tidak membenarkan adanya talfiq ini.

Sebelum panjang lebar saya akan menjelaskan arti Taliq terlebih dahulu Mungkin diantara pembaca ada yang belum mengerti arti Talfiq. Secara bahasa, talfiq berarti melipat. Sedangkan yang dimaksud talfiq secara syar’i adalah mencampuradukkan pendapat seorang ulama dengan pendapat ulama yang lain, sehingga tidak seorang pun dari mereka membenarkan perbuatan yang dilakukan tersebut. Muhammad Amin al-Kurdi mengatakan “(Syarat kelima dari taqlid) adalah tidak talfiq, yaitu tidak mencampur antara dua pendapat dalam satu qadhiyah (masalah) baik sejak awal, pertengahan dan seterusnya, yanag nantinya, dari dua pendapat itu akan menimbulkan satu amaliyyah yang tidak pernah dikatakan orang yang berpendapat.” (Tanwir al-Qulub 397)
Jelasnya, talfiq adalah melakukan suatu perbuatan atas dasar hukum yang merupakan gabungan dua madzhab atau lebih. Contohnya sebagai berikut:

a. Seseorang berwudhu menurut madzhab Imam syafi’i dengan mengusap sebagian (kurang dari seperempat) kepala. Kemudian dia menyentuh kulit wanita ajnabiyyah (bukan mahramnya), dan langsung shalat dengan mengikuti madzhab Imam Hanafi yang mengatakan bahwa menyentuh wanita ajnabiyyah tidak membatalkan wudhu. Perbuatan ini disebut talfiq, karena menggabungkan pendapatnya Imam Syafi’i dan Imam Hanafi dalam masalah wudhu. Yang pada akhirnya, kedua imam tersebut sama-sama tidak mengakui bahwa gabungan itu merupakan pendapatnya. Imam Syafi’i membatalkan wudhu seseorang yang menyentuh kulit lain jenis. Sementara Imam Abu Hanifah tidak mengesahkan wudhu seseorang yang hanya mengusap sebagian kepala.

b. Seseorang berwudhu dengan mengusap sebagian kepala, atau tidak menggosok anggota wudhu karena mengikut madzhab Imam Syafi’i. Lalu ia menyentuh anjing, karena ikut madzhab Imam Malik yang mengatakan bahwa anjing adalah suci. Ketika dia shalat, maka kedua imam tersebut tentu sama-sama akan membatalkannya. Sebab, menurut Imam Malik wudhu itu harus dengan mengusap seluruh kepala dan juga dengan mengosok anggota wudhu. Wudhu ala Imam Syafi’i, menurut Imam Malik adalah tidak sah. Demikian juga, anjing menurut Imam Syafi’i termasuk najis mughallazhah (najis yang berat). Maka ketika menyentuh anjing lalu shalat, shalatnya tidak sah. Sebab kedua imam itu tidak menganggap sah shalat yang dilakukan itu

Talfiq semacam ini dilarang dalam agama. Sebagaimana yang disebut dalam kitab I’anah al-Thalibin “Talfiq dalam satu masalah itu dilarang, seperti ikut pada Imam Malik dalam sucinya anjing dan ikut kepada Imam Syafi’I dalam bolehnya mengusap kepala untuk mengerjakan satu shalat.” (I’anah al-Thalibin, Juz I, hal 17)

Sedangkan tujuan pelarangan adalah agar tidak terjadi tatabbu al-rukhash (mencari yang gampang-gampang), tidak memanjakan umat Islam untuk mengambil yang ringan-ringan. Sehingga tidak akan timbul tala’ub (main-main) dalam hukum agama.

Untuk menghindari adanya talfiq yang dilarang ini, maka diperlukan adanya suatu penetapan hukum dengan memilih salah satu madzhab dari madzahibul arba’ah yang relevan dengan kondisi Indonesia. Misalnya, dalam persoalan shalat (mulai dari syarat, rukun dan batalnya) ikut madzhab Syafi’i. untuk masalah sosial kemasyarakatan mengikuti madzhab Hanafi. Sebab, diakui atau tidak bahwa kondisi Indonesia mempunyai ciri khas tersendiri. Tuntutan kemaslahatan yang ada berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lain. Dengan begitu. Insya Allah hukum akan ditaati oleh pemeluknya. Tidak hanya tertera di atas tulisan semata.
 


Secara kodrati, manusia di dunia ini terbagi menjadi dua kelompok besar. Ada yang ’alim (pintar dan cerdas serta ahli dalam bidang tertentu) dan ada ’awam (yang kurang mengerti dan memahami tentang suatu permasalahan). Sudah tentu yang tidak paham butuh bantuan yang pintar. Di dalam literatur fiqh, hal itu dikenal dengan istilah Taqlid atau ittiba.

Muhammad Sa’id Ramadhan al‐Buthi mengidentifikasikan taqlid sebagai berikut ”Taqlid adalah mengikuti orang lain tanpa mengerti dalil yang digunakan atas keshahihan pendapat tersebut, walaupun mengetahui tentang keshahihan hujjah taqlid itu sendiri.” (Al‐Lamadzhabiyyah Akhtharu Bid’ah al‐syari’ah al‐Islamiyyah, 69)

Taqlid itu hukumnya haram bagi seorang mujtahid dan wajib bagi orang yang bukan mujtahid. Imam al‐Suyuthi mengatakan: ”Kemudian, manusia itu ada yang menjadi mujtahid dan ada yang tidak. Bagi yang bukan mujtahid wajib bertaqlid secara mutlaq, baik ia seorang awam maupun yang alim. Berdasarkan firman Allah SWT:

(QS. Al‐Anbiya’ 7), ”Bertanyalah kamu pada orang yang alim (dalam bidangnya) jika kalian tidak tahu.” (Al‐Kawkab al‐Sathi’ fi Nazhmi al‐Jawami 492)

Taqlid ialah mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui hujjah yang menunjjukan kebenaran pendapat tersebut. Dalam hal ini, tak ada bedanya antara taqlid dan ittiba’ , karena keduanya mempunyai arti yang sama. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Syaikh al Buthi ”Tidak ada perbedaan kalau perbuatan itu disebut dengan taqlid atau ittiba’. Sebab dua kata itu mempunyai arti yang sama. Dan tidak terbukti adnya perbedaan secara bahasa antara keduanya.” (Al‐Lamazhabiyyah Akhtharu Bid’ah Tuhaddid al‐Syari’ah al‐Islamiyah,69)

Dalam Al Quran Al Karim , Allah Azza Wajalla menggunakan kata‐kata ittiba’ sebagai pengganti kata‐kata taqlid, sebagaimana firmannya:

“(yaitu) ketika orang‐orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang‐orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang‐orang yang mengikuti: ʺSeandainya Kami dapat kembali (ke dunia), pasti Kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.ʺ Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali‐kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (Al‐ Baqarah 166 ‐ 167)

Tidak ada keraguan lagi bahwa yang dimaksud “ittiba’” dalam ayat ini ialah “taqlid” yang terlarang. Adapun istilah yang anda pergunakan untuk membedakan arti taqlid dan ittiba’ dalam masalah ini hanya ada dua alternatif , yaitu :

Apabila anda mengerti dalil‐dalil dan mempunyai kemampuan untuk melakukan istinbath , berarti anda adalah mujtahid. Akan tetapi , bila anda tidak mengerti dalil dan tidak menguasai cara‐cara melakukan istinbath , anda adalah orang taqlid kepada mujtahid.

Bahkan ittiba’ tidak selalu berarti baik. Tidak jarang di dalam al‐Qur’an, ittiba’ ditujukan untuk sesuatu yang tidak terpuji, sebagaimana firman Allah :

”Dan janganlah kamu mengikuti (ittiba’) langkah‐langkah setan karena sesungguhnya dia merupakan musuh yang nyata bagi kalian.” (QS‐al Baqarah, 168)

Taqlid terhadap ulama yang memiliki ilmu agama adalah perintah dari Allah yang mana Allah SWT berfirman :

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mengetahui”. (An Nahl 43).

Para ulama telah sepakat bahwa ayat diatas merupakan perintah kepada orang yang tidak mengerti hukum dan dalil agar mengikuti orang yang memahaminya. Seluruh ulama usul telah menetapkan ayat ini sebagai dasar pertama untuk mewajibkan orang awam agar taqlid pada mujtahid.

Semakna dengan ayat diatas ialah firman Allah s.w.t :

“tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap‐tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (At‐taubah 122)

Dalam ayat ini Allah Azz Wajalla melarang semua orang pergi berperang dan melakukan jihad, tepati memerintahkan agar segolongan dari mereka tetap tinggal di tempatnya untuk mempelajari ilmu agama sehingga bila orang‐orang yamg dapat memberikan fatwa tentang urusan halal ‐ haram serta menjelaskan hukum‐hukum Allah S.W.T lainya. Dengan demikian, yang bertaqlid itu tidak hanya terbatas pada orang awam saja. Orang‐ orang alim yang sudah mengetaui dalilpun masih dalam katagori seorang muqallid. Selama belum sampai pada tingkatan mujtahid, mereka wajib bertaqlid, sebab pengetahuan mereka hanya sebatas dalil yang digunakan, tidak sampai kepada proses, metode dan seluk beluk dalam menentukan suatu hukum.

Al-Allamah Thayyib bin Abi Bakr al‐Hadhrami menegaskan “Orang alim yang tidak sampai pada tingkatan ijtihad, maka sebagaimana orang awam, mereka wajib ber‐taqlid.” (Mathlab al‐ Iqazh fi al‐Kalam al‐Syai’in min Ghurar al‐Alfazh, 87)

Adapun Taqlid dari segi Ijma’ di zaman sahabat menunjukkan bahwa para Sahabat Nabi s.a.w. tidak sama tingkatan ilmu dan tidak kesemua nya ahli fatwa sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Khaldun. Dan masalah agama pun tidak diambil dari mereka semua. Diantara mereka ada yang jadi mufti atau mujtahid , tetapi jumlahnya sangat sedikit dan ada pula yang meminta fatwa dan menjadi muqallid yang jumlahnya sangat banyak. Para sahabat yang menjadi mufti (mujtahid) dalam menerangkan hukum agama , tidak selalu menerangkan dalil‐dalil nya kepada yang meminta fatwa.

Rasulullah s.a.w. telah mengutus para sahabatnya yang ahli hukum kedaerah‐daerah yang penduduknya tidak mengenal Islam, selain hanya mengetahui akidah dan rukun‐ rukunnya saja. Kemudian para penduduk daerah tersebut mengikuti fatwa utusan rasulullah s.a.w dengan mengamalkan ibadah dan muamalah, serta segala macam urusan yang ada sangkut –paut nya dengan halal dan haram. Apabila para utusan Rasul menjumpai masalah yang tidak ditemui kan dalil nya dari Al Kitab dan as Sunnah, ia melakukan ijtihad dan memberi fatwa menurut petunjuk dari hasil ijtihadnya selanjutnya, penduduk setempat mengikuti fatwa tersebut. Hal di atas telah kami sampaikan bahwa ketika sahabat Mua’dz dikirim oleh Rasulullah SAW ke Yaman sebagaimana berikut:

“Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda bagaimana engkau menentukan apabila tampak kepadamu suatu ketentuan? Mu’adz menjawab; saya akan menentukan hukum dengan kitab Allah? kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah s.aw. kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak kembali; Mu’adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya, kemudian Mu’adz berkata; Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai‐Nya.

Imam al Ghazali rahimahumullah dalam kitabnya Al Mustaasyfa pada bab taqlid dan istifta (meminta fatwa): “Dalil orang awam harus taqlid ialah ijma’ sahabat. Mereka memberikan fatwa kepada orang awam, tanpa memerintahkannya mencapai darajat ijtihad. Hal ini dapat diketahui dengan pasti dan dengan cara mutawatir, baik dari kalangan ulama’ maupun para awam”.

Imam Al Aamidi berkata dalam kitabnya Al Ahkaam fii ushulil Ahkaam: “Ada pun dalil taqlid dari segi ijma’ ialah orang awam zaman sahabat dan tabi,in sebelum timbul golongan menentang, selalu meminta fatwa kepada para mujtahidin dan mengikuti mereka dalam urusan hukum syariat. Para ulama dari kalangan mereka dengan cepat menjawab pertanyaan ‐ pertanyaan tanpa menyebut kan dalil‐dalinya dan tidak ada seorang pun yang ingkar. Hal ini berarti mereka telah ijma’ bahwa seorang awam boleh mengikuti mujtahid secara muthlak “.

Dalil Taqlid dari segi Akal, untuk taqlid ini kami mengambil dari perkataan Syekh Abdullah Darraz sebagai berikut: “Dalil taqlid dari segi akali pikiran ialah bagi orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk ijtihad, bila terjadi suatu masalah hukum, ada dua kemungkinan.

Pertama: Dia tidak terkena kewajiban melakukannya samasekali (tidak wajib beribadah) maka hal ini menyalahi ijma’.

Kedua: Dia terkena kewajiban melakukan ibadah. Ini berarti dia harus meneliti dalil yang menetapkan suatu hukum atau ia harus taqlid.

Untuk yang kedua jelas tidak mungkin , sebab dengan melakukan penelitian itu, ia harus meniliti dalil‐dalil semua masalah sehingga harus meninggalkan kegiatan sehari‐hari, yaitu meninggalkan semua perkerjaan yang ada, yang akhirnya akan menimbulkan kekacauan. Oleh kerana itu, tidak ada kemungkinan lain kecuali taqlid. Itulah kewajiban dia bila menemui masalah yang memerlukan pemecahan hukum.

Oleh kerana itu, setelah para ulama melihat dalil‐dalil yang cukup sempurna dari Al Kitab dan as Sunnah, serta dalil akal yang menegaskan bahwa bagi orang awam dan orang alim yang belum sampai pada tingkatan mampu melakukan istinbath dan ijtihad harus taqlid pada mujtahid, para ulama pun menyatakan bahwa kedudukan fatwa mujtahid. Hal ini kerana Al‐Quran Al Karim selain mewajibkan orang yang alim agar berpegang pada dalil‐dalil dan keterangan didalamnya, juga mewajibkan kepada orang bodoh (awam) berpegang pada fatwa nya orang alim dan hasil ijtihadnya.

Untuk menjelaskan masalah ini lebih lanjut, syekh as Syathibi berkata sebagai berikut: Artinya: “Fatwa‐fatwa para mujtahid itu bagi para orang awam bagaikan dalil syariat bagi para mujtahidin. Adapun alasannya ialah ada atau tidak adanya dalil bagi orang yang taqlid (muqallid) adalah sama saja kerana mereka sedikit pun tak mampu mengambil faedah darinya. Jadi masalah meneliti dalil dan istinbath bukanlah urusan mereka dan mereka tidak diperkenankan melakukan hal tersebut. Dan sesungguhnya Allah s.w.t berfirman: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak menghetahui”.

Orang yang taqlid bukanlah orang yang alim, oleh karena itu, tidak sah baginya selain bertanya kepada ahlinya. Para ahli ilmu itulah tempat kembali baginya dalam urusan hukum agama secara muthlak, jadi kedudukan mereka bagi orang yang taqlid serta ucapannya seperti Syara’.” (Al Muwafaqah , karya Imam As syathibi jilid iv hlmn. 290)

Kemudian, bagaimana dengan Imam Abu Dawud yang meriwayatkan ucapan Imam Ahmad bin Hanbal “Imam Ahmad berkata kepadaku, ”Janganlah kamu bertaqlid kepadaku, juga kepada Imam Malik, Imam Syafi’I, al‐Awza’i, dan al‐Tsauri. Tapi galilah dalil‐dalil hukum itu sebagaimana yang mereka lakukan.” (Al‐Qawl al‐Mufid li al‐Imam Muhammad bin Ali al‐ Syaukani 61).

Coba perhatikan dengan seksama, kepada siapa Imam Ahmad berbicara? Beliau menyampaikan ucapan itu kepada Abu Dawud pengarang kitab Sunan Abi Dawud yang memuat lima ribu dua ratus delapan puluh empat hadits lengkap dengan sanadnya. Tidak kepada masyarakat kebanyakan. Sehingga wajar, kalau imam mengatakan hal itu kepada Imam Abu Dawud, sebab ia telah memiliki kemampuan untuk berijtihad.

Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Syaikh Waliyullah al‐Dahlawi ketika mengomentari pendapat ibn Hazm “Pendapat Ibn Hazm yang mengatakan bahwa taklid itu haram (dan seterusnya)…itu hanya berlaku bagi orang yang mempunyai kemampuan ijtihad walaupun hanya dalam satu masalah.” (Hujatullah al‐Baligah, juz I hal443‐444)

Semua dalil yang sudah kami sajikan menekankan kewajiban taqlid bagi orang yang kedudukan ilmunya terbatas dan tidak mampu melakukan istinbath hukum dan berijtihad. Sudah jelaslah dalil‐dalil berdasarkan penukilan yag sah dan ijma’ serta dalil akal yang menunjjukan berlaku nya taqlid dan bahkan wajib hukumnya bila tidak mampu mencapai derajat istinbath dan ijtihad.

Kami tidak memahami bagaimana mereka bisa menuduh dengan mudah bahwa orang yang mengamalkan majelis Tahlil dan Yasin yang mana dalil dan hujjah kami sajikan di atas masih juga di sebutkan sebagai TAQLID BUTA ?

Justru mereka lah yang memiliki pola pikir jumud / kaku serta terbelakang dan TAQLID BUTA secara serampangan kepada murobinya (gurunya) yang hanya bisa menebar kata‐kata bid’ah tanpa mendalami ilmu dan mencari kebenarannya dalam khasanah ilmu agama Islam yang bersumber kepada Al‐Qur’an, Sunnah/Hadist, Ijma’ dan Qiyas.

Sungguh kita sangat menyayangkan tindak tanduk mereka ini tanpa ilmu yang jelas asalnya hanya bisa membakar “semangat” permusuhan tanpa TABAYUN terlebih dahulu untuk mencari bukti kebenaran yang nyata.

Sekali lagi kami tegaskan bahwa kami bertaqlid kepada ulama yang telah diakui umat, baik akhlaq dan sikapnya sehari‐harinya, di mana fatwa mereka diyakini berasal dari Al‐ Qur’an dan As‐Sunnah dan jelas semua amalan mereka memiliki dasar / dalil serta hujjah yang jelas dan kuat dan disepakati oleh seluruh ulama mazhab.

Taqlid itu sesungguhnya berlaku dalam berbagai persoalan di dalam kehidupan ini. Seorang dokter, misalnya, ketika memberikan resep obat kepada pasiennya, tentu dia mengambil dari apotik, bukan dari obat hasil temuannya sendiri. Dia cukup membeli produk perusahaan obat tertentu yang bonafit. Begitu juga seorang guru geografi, ketika menerangkan kepada murid‐muridnya bahwa bumi itu bulat, di hanya mengikuti teori Galileo Galilei dan Thomas Copernicus, bukan dari hasil penelitian dia sendiri. Dan begitu seterusnya..

Hal tersebut berarti taqlid merupakan sunatullah (hukum alam) yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya atau diperjuangkan untuk dihapus. Namun demikian, bukan berarti umat Islam harus terperangkap pada taqlid buta, karena akan menggambarkan keterbelakangan serta rendahnya kualitas individu umat Islam. Itulah sebabnya ulama pesantren mencetak ulama yang mumpuni.


Wallahua'lam

Semoga bermanfaat

Selasa, 23 Juli 2013

Hati - Hati Shalat Memakai kaos & Celana Jeans


Apakah anda penggemar kaos ketat dan celana jeans?
apakah anda sering shalat dengan pakaian tersebut? 
jika jawaban anda YA, anda perlu membaca tulisan inilebih lanjut.

Sebenarnya saya sudah lama sekali ingin menulis tentang ini, karna sering kali saya melihat hal yang menurut saya perlu diketahui oleh teman- teman yang berjiwa muda.
Sudah menjadi sifat laki2 terbiasa berpenampilan simpel, namun tetap terlihat modis. Salah satu jenia pakaian yang sering digunakan oleh  kaum Adam dalam situasi tidak formal adalah Baju Kaos atau T-Shirt. Memang untuk alasan simple, pakaian yg satu ini sering menjadi pilihan untuk berbagai situasi. Dari sekedar pakaian harian di rumah, hangout bareng teman-teman, untuk pergi kuliah, atau untuk pergi bekerja dan sebagainya.
Sudah menjadi ciri khasnya agar baju kaos itu agar telihat bagus adalah ukuran yg tidak terlalu longgar atau ngepas badan, tp bagi yg punya bodi oke loh yaaa ^_^ .  Namun di sinilah munculnya permasalahannya ketika yang menggunakan (muslim) akan melakukan ibadah Shalat.

Nah, sebelum kita lanjutkan hubungan keduanya, ada baiknya saya paparkan dulu sekaligus mengingatkan kita mengenai Syarat Sah Shalat beserta dalilnya:

1. Islam
3. Baligh
4. Berakal
5. Suci Dari Hadats Kecil dan Hadats Besar
6. Suci Badan, Pakaian dan Tempat Untuk Shalat
7. Masuk Waktu Shalat 
8. Menghadap Kiblat

9. Menutup aurat; 
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Wahai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (Al-A’raf: 31)
Yang dimaksud dengan pakaian yang indah adalah yang menutup aurat. Para ulama sepakat bahwa menutup aurat adalah merupakan syarat sahnya shalat, dan barangsiapa shalat tanpa menutup aurat, sedangkan ia mampu untuk menutupinya, maka shalatnya tidak sah
 
Karna yang menjadi fokus bahasan ini adalah pada poin 9 jadi maka yang saya beri dalil naqli nya hanya poin 9  yakni menutup aurat.
Seperti yang sudah kita ketahui dan sudah kita dipelajari semenjak duduk di bangku SD kalau yang menjadi aurat laki-laki itu adalah dari PUSAR SAMPAI LUTUT
Sabda Rasululah:  Apa yang ada di antara pusar dan lutut adalah aurat. (H.R.  Al Hakim).
Di sini saya sering melihat ketidaktahuan dari laki-laki muslim tetang wajibnya menutup aurat ketika shalat.

Hubungannya dengan pakaian tadi?
Begini, ketika menunggu iqamat saat shalat di mesjid, saya sering memperhatikan saudara2 yg lain sdg shalat sunnah maupun shalat fardu, terlebih yang menggunakan baju kaos. Ketika berdiri memang terlihat semua aurat tertutup, namun ketika sudah ruku’ dan sujud, di sinilah aurat mereka mulai terbuka pada bagian punggung. Seperti ilustrasi berikut. Cekidot...









Ketika sujud, maka bagian punggung terbuka atara pinggang celana dengan kaosnya yang terbuka karena tertarik ke atas disebabkan posisi sujud. Tentunya ketika aurat sudah terbuka, shalat menjadi batal dan harus diulang kembali. Namun Banyak yang tidak sadar kalau shalatnya sudah batal dengan ketidak tahuannya (ketidakpedulian?).



Nah, jadi ada baiknya kita memperhatikan lagi pakaian yang akan dipakai untuk shalat. Seandainya sering menggunakan baju kaos dan ketika anda sujud dikhawatirkan aurat saudara terbuka seperti yg saya jelaskan di atas, ada baiknya untuk mengantisipasinya. Bisa dengan melapisi di luar dengan jaket atau kemeja atau pakaian yg lebih panjang di bagian bawah.
Tentunya kita tidak mau shalat yg kita tunaikan menjadi sia-sia karena ketidaktahuan atau mungkin tidak sadar kalau ternyata shalat  yg dikerjakan ternyata sudah batal ketika kita sujud dengan menampakkan aurat.
Oke saudara-saudara semoga dengan sempurnanya ibadah kita, akan menambah kedekatan kita padaNya dan diterangiNya pada hari kiamat kelak.
Dari Buraidah r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya: “Sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang berjalan di waktu malam ke masjid-masjid bahawa mereka akan memperolehi cahaya yang sempurna besok pada hari kiamat.” (Riwayat Abu Dawud dan Termidzi)
Semoga bermanfaat.

Wallahua’lam.

Senin, 15 Juli 2013

Barokah Bukan Bid'ah

Akhir-akhir ini istilah barokah mulai disalah tafsirkan. Bahkan sebagian umat muslim mengategorikan barokah sebagai bagian dari perilaku bid’ah. Dengan alasan barokah dianggap sesuatu yang erat dengan kemusyrikan. Padahal tidak demikian seharusnya.Kata barokah jelas merupakan kata yang berasal dari al-Qur’an tersebut dalam al-A’raf ayat 96:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.

Dari pemahaman ayat tersebut, maka barokah dapat dikategorikan menjadi dua. Barokatus sama’ dan barokatul ardl.  Secara leterlek barokatus sama’ dapat diartikan dengan kalimat barokah langit. Yaitu segala macam karunia Allah swt yang datang dari alah langit, misalkan hujan. Namun dalam penafsiran lain barokah langit dapat dimaknai dengan segala macam karunia yang telah ditetapkan oleh Allah swt, seperti keimanan, keternangan hati, kebahagiaan, keselamatan, dan segala macam yang telah ditaqdirkan Allah swt sejak zaman azali termasuk di dalamnya adalah umur, rizqi, jodoh dan maut.

Sedangkan barokatul ardl  yang secara bahasa dapat diartikan  dengan berokah dunia (bumi), adalah segala macam karunia Allah swt yang berasal dari perut bumi seperti buah-buahan, binatang ternak, lautan dan lain sebagainya. Dapat juga dimaknai bahwa barokatul ardl, adalah karunia Allah swt yang di berikan oleh manusia melalui usaha yang dilakukannya. Seperti hasil panen, hasil olahan sumber daya alam, dan sebagainya.

Begitu luasnya makna barokah jika difahami secara benar. Sehingga barokah selalu diikutsertakan dalam kalimat salam sebagai do’a sekaligus menjadi identitas umat Islam untuk membedakannya dengan umat lain. Assalamualaikum warahmatullahi wa barokatuh,  Semoga keselamatan, rahmat dan barokah Allah selalu dikaruniakn kepada kalian semua.

Dalam kitab al-Futuhatul Ilahiyyah dikatakan bahwa barokah adalah segala kebaikan yang datang dari Allah. Maka orang yang mengharap berkah (tabarrukan) adalah orang yang menengadah dan menunggu kebaikan dari Allah Yang Maha kuasa. demikian diterangkan
أصل البركة ثبوت الخير الإلهي فى الشيئ

Bahwa asal makna barokah adalah tetapnya kebaikan yang datangnya dari Allah swt (kebaikan yang bersifat ilahiyah ).
Sebagian ulama menerangkan bahwa barokah selalu bersifat positif, dan akan selalu bernilai positif. Karena tidak ada suatu keburukan yang mengandung barokah. Barokah dikatakan sebagai ziyadatul khair, yaitu karunia untuk menjadi tambah baik. Al-Baghawy pernah mengatakan bahwa :
 أصل البركة المواظبة على الشيئ

Asalnya makna barokah adalah ketekunan (konsistensi) terhadap suatu (kebaikan).

Demikianlah makna sesungguhnya arti barokah, yaitu konsep pemahaman akan adanya karunia dari Allah swt, bukan dari yang lain.

Sumber : NU

Jumat, 12 Juli 2013

Waktu Berbuka Puasa, Waktu Mustajab

Masih tentang Ramadhan, Saya tertarik menulis artikel ini ketika melihat suasana berbuka puasa di sekitar saya , waktu azan tiba semua teman-teman langsung melahap ta'jil dengan lahapnya tanpa diberi ampun :D. padahal sesungguhnya waktu tersebut waktu yang mustajab jadi inilah kesempatan kita untuk berdoa.

 Allah Ta’ala mencintai hamba yang meminta kepada-Nya.

Ya, Allah mencintai hamba yang berdoa kepada-Nya, bahkan karena cinta-Nya Allah memberi ‘bonus’ berupa ampunan dosa kepada hamba-Nya yang berdoa. Allah Ta’ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi:

يا ابن آدم إنك ما دعوتني ورجوتني غفرت لك على ما كان منك ولا أبالي
Wahai manusia, selagi engkau berdoa dan berharap kepada-Ku, aku mengampuni dosamu dan tidak aku pedulikan lagi dosamu” (HR. At Tirmidzi, ia berkata: ‘Hadits hasan shahih’)

Sungguh Allah memahami keadaan manusia yang lemah dan senantiasa membutuhkan akan Rahmat-Nya. Manusia tidak pernah lepas dari keinginan, yang baik maupun yang buruk. Bahkan jika seseorang menuliskan segala keinginannya di kertas, entah berapa lembar akan terpakai.
Maka kita tidak perlu heran jika Allah Ta’ala melaknat orang yang enggan berdoa kepada-Nya. Orang yang demikian oleh Allah ‘Azza Wa Jalla disebut sebagai hamba yang sombong dan diancam dengan neraka Jahannam. Allah Ta’ala berfirman:
ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Berdoalah kepadaKu, Aku akan kabulkan doa kalian. Sungguh orang-orang yang menyombongkan diri karena enggan beribadah kepada-Ku, akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam dalam keadaan hina dina” (QS. Ghafir: 60)

Ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah Maha Pemurah terhadap hamba-Nya, karena hamba-Nya diperintahkan berdoa secara langsung kepada Allah tanpa melalui perantara dan dijamin akan dikabulkan. Sungguh Engkau Maha Pemurah Ya Rabb…

Berdoa Di Waktu Yang Tepat
Diantara usaha yang bisa kita upayakan agar doa kita dikabulkan oleh Allah Ta’ala adalah dengan memanfaatkan waktu-waktu tertentu yang dijanjikan oleh Allah bahwa doa ketika waktu-waktu tersebut dikabulkan. Diantara waktu-waktu tersebut adalah:

Ketika berbuka puasa
Waktu berbuka puasa pun merupakan waktu yang penuh keberkahan, karena diwaktu ini manusia merasakan salah satu kebahagiaan ibadah puasa, yaitu diperbolehkannya makan dan minum setelah seharian menahannya, sebagaimana hadits:
للصائم فرحتان : فرحة عند فطره و فرحة عند لقاء ربه
Orang yang berpuasa memiliki 2 kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka puasa dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabb-Nya kelak” (HR. Muslim, no.1151)

Keberkahan lain di waktu berbuka puasa adalah dikabulkannya doa orang yang telah berpuasa, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
ثلاث لا ترد دعوتهم الصائم حتى يفطر والإمام العادل و المظلوم
‘”Ada tiga doa yang tidak tertolak. Doanya orang yang berpuasa ketika berbuka, doanya pemimpin yang adil dan doanya orang yang terzhalimi” (HR. Tirmidzi no.2528, Ibnu Majah no.1752, Ibnu Hibban no.2405, dishahihkan Al Albani di Shahih At Tirmidzi)

Oleh karena itu, jangan lewatkan kesempatan baik ini untuk memohon apa saja yang termasuk kebaikan dunia dan kebaikan akhirat. Namun perlu diketahui, terdapat doa yang dianjurkan untuk diucapkan ketika berbuka puasa, yaitu doa berbuka puasa. Sebagaimana hadits
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa:
ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
/Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/
(‘Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah’)” (HR. Abu Daud no.2357, Ad Daruquthni 2/401, dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah, 2/232)
Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan lafazh berikut:
اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين
ada yang mengatakan bahwa itu adalah hadits dhoif bahkan ada yg mengatakaan pula hadits palsu atau dengan kata lain, ini bukanlah hadits, namun bukan berarti kita tdk boleh menggunakan do'a ini Oleh karena itu, doa dengan lafazh ini dihukumi sama seperti ucapan orang biasa seperti saya dan anda. Sama kedudukannya seperti kita berdoa dengan kata-kata sendiri.
apapun status hadits ini yang penting marilah kita berdoa sesuai hajat kita.

berikutnya Insya Allah saya akan menulis tentang waktu- waktu yang mustajab

semoga bermanfaat,  
wallahu a'lam

Kamis, 11 Juli 2013

Jangan Berbuka dengan yang Manis





Setiap Ramadhan., sering kita dengar kalimat ‘Berbuka puasalah dengan makanan atau minuman yang manis,’ Bahkan beberapa tahun yang lalu sempat dijadikan tagline teh botol Sosro.  katanya. itu dicontohkan Rasulullah saw. Benarkah demikian?
Dari Anas bin Malik ia berkata : “Adalah Rasulullah berbuka dengan Rutab (kurma yang lembek) sebelum shalat, jika tidak terdapat Rutab, maka beliau berbuka dengan Tamr (kurma kering), maka jika tidak ada kurma kering beliau meneguk air. (Hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud)


Nabi Muhammad Saw bersabda : “Apabila berbuka salah satu kamu, maka hendaklah berbuka dengan kurma. Andaikan kamu tidak memperolehnya, maka berbukalah dengan air, maka sesungguhnya air itu suci.”
Nah. Rasulullah berbuka dengan kurma. Kalau tidak mendapat kurma, beliau berbuka puasa dengan air. Samakah kurma dengan ‘yang manis-manis’? Tidak. Kurma, adalah karbohidrat kompleks (complex carbohydrate). Sebaliknya, gula yang terdapat dalam makanan atau minuman yang manis-manis yang biasa kita konsumsi sebagai makanan berbuka puasa, adalah karbohidrat sederhana (simple carbohydrate).
Darimana asalnya sebuah kebiasaan berbuka dengan yang manis? Tidak jelas. Malah berkembang jadi waham umum di masyarakat, seakan-akan berbuka puasa dengan makanan atau minuman yang manis adalah ’sunnah Nabi’. Sebenarnya tidak demikian. Bahkan sebenarnya berbuka puasa dengan makanan manis-manis yang penuh dengan gula (karbohidrat sederhana) justru merusak kesehatan.
Dari dulu saya tergelitik tentang hal ini, bahwa berbuka puasa ‘disunnahkan’ minum atau makan yang manis-manis. Sependek ingatan saya, Rasulullah mencontohkan buka puasa dengan kurma atau air putih, bukan yang manis-manis.
Kurma, dalam kondisi asli, justru tidak terlalu manis. Kurma segar merupakan buah yang bernutrisi sangat tinggi tapi berkalori rendah, sehingga tidak menggemukkan (data di sini ). Tapi kurma yang didatangkan ke Indonesia dalam kemasan-kemasan di bulan Ramadhan sudah berupa ‘manisan kurma’ (preserved with sugar), bukan lagi kurma segar. Manisan kurma ini justru ditambah kandungan gula yang berlipat-lipat kadarnya agar awet dalam perjalanan ekspornya. Jadi, kalau mau mengikuti sunnah Rasulullah, sebisa mungkin carilah kurma segar yang tanpa ditambahkan kandungan gulanya. Caranya? Nggak tau. Metik dari pohonnya, kali?
Kenapa berbuka puasa dengan yang manis justru merusak kesehatan?
Ketika berpuasa, kadar gula darah kita menurun. Kurma, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah, adalah karbohidrat kompleks, bukan gula (karbohidrat sederhana). Karbohidrat kompleks, untuk menjadi glikogen, perlu diproses sehingga makan waktu. Sebaliknya, kalau makan yang manis-manis, kadar gula darah akan melonjak naik, langsung. Bum. Sangat tidak sehat. Kalau karbohidrat kompleks seperti kurma asli, naiknya pelan-pelan.

Mari kita bicara ‘indeks glikemik’ (glycemic index/GI) saja. Glycemic Index (GI) adalah laju perubahan makanan diubah menjadi gula dalam tubuh. Makin tinggi glikemik indeks dalam makanan, makin cepat makanan itu dirubah menjadi gula, dengan demikian tubuh makin cepat pula menghasilkan respons insulin.
Para praktisi fitness atau pengambil gaya hidup sehat, akan sangat menghindari makanan yang memiliki indeks glikemik yang tinggi. Sebisa mungkin mereka akan makan makanan yang indeks glikemiknya rendah. Kenapa? Karena makin tinggi respons insulin tubuh, maka tubuh makin menimbun lemak. Penimbunan lemak tubuh adalah yang paling dihindari mereka.
Nah, kalau habis perut kosong seharian, lalu langsung dibanjiri dengan gula (makanan yang sangat-sangat tinggi indeks glikemiknya), sehingga respon insulin dalam tubuh langsung melonjak. Dengan demikian, tubuh akan sangat cepat merespon untuk menimbun lemak.
Saya pernah bertanya tentang hal ini kepada seorang sufi yang diberi Allah ‘ilm tentang urusan kesehatan jasad manusia. Kata Beliau, bila berbuka puasa, jangan makan apa-apa dulu. Minum air putih segelas, lalu sholat maghrib. Setelah shalat, makan nasi seperti biasa. Jangan pernah makan yang manis-manis, karena merusak badan dan bikin penyakit. Itu jawaban beliau. Kenapa bukan kurma? Sebab kemungkinan besar, kurma yang ada di Indonesia adalah ‘manisan kurma’, bukan kurma asli. Manisan kurma kandungan gulanya sudah jauh berlipat-lipat banyaknya.
Kenapa nasi? Lha, nasi adalah karbohidrat kompleks. Perlu waktu untuk diproses dalam tubuh, sehingga respon insulin dalam tubuh juga tidak melonjak. Karena respon insulin tidak tinggi, maka kecenderungan tubuh untuk menabung lemak juga rendah.
Inilah sebabnya, banyak sekali orang di bulan puasa yang justru lemaknya bertambah di daerah-daerah penimbunan lemak: perut, pinggang, bokong, paha, belakang lengan, pipi, dan sebagainya. Itu karena langsung membanjiri tubuh dengan insulin, melalui makan yang manis-manis, sehingga tubuh menimbun lemak, padahal otot sedang mengecil karena puasa.
Pantas saja kalau badan kita di bulan Ramadhan malah makin terlihat seperti ‘buah pir’, penuh lemak di daerah pinggang. Karena waham umum masyarakat yang mengira bahwa berbuka dengan yang manis-manis adalah ’sunnah’, maka puasa bukannya malah menyehatkan kita. Banyak orang di bulan puasa justru menjadi lemas, mengantuk, atau justru tambah gemuk karena kebanyakan gula. Karena salah memahami hadits di atas, maka efeknya ‘rajin puasa = rajin berbuka dengan gula.’

Ingin ‘Kurus’
Melenceng dikit dari topik blog ya. Dikit aja. Itung-itung bonus.
Untuk sahabat-sahabat yang ingin kurus: jangan diet (dalam pengertian mengurangi frekuensi makan). Diet justru menambah kecenderungan tubuh untuk menabung lemak karena ‘dilaparkan’. Ketika diet memang makanan tidak masuk, tapi begitu makanan masuk, kecenderungan tubuh untuk menimbun lemak dari makanan justru lebih besar.
Rahasia kurus sebenarnya adalah menjaga agar respon insulin dalam tubuh stabil, tidak melonjak-lonjak. Caranya, hanya makan makanan yang memberi respon insulin rendah, yaitu yang indeks glikemiknya rendah.
Respon insulin tubuh meningkat bila:
(1) Makin tinggi jumlah karbohidrat yang dimakan dalam satu porsi, makin tinggi pula respon insulin tubuh (ini umumnya porsi kita di Indonesia: lebih dari 70 persen dari satu porsi makannya adalah nasi).
Makanya, makanlah dengan karbohidrat cukup lima puluh persennya saja. Sisanya protein, dan 5-10 persennya lemak. Lemak ini cukup dari lemak yang terkandung dalam daging yang kita makan, misalnya. Atau kuning telur. Tidak perlu menambah minyak atau memakan lemak hewan (yang justru buruk pengaruhnya bagi tubuh). Lemak (sedikit!) masih diperlukan untuk mengolah beberapa nutrisi dan vitamin, dan untuk membawa nutrisi ke seluruh tubuh.
(2) Semakin tinggi GI (Glycemic Index) karbohidrat yang dikonsumsi, semakin meningkat pula respon insulin tubuh. Makanya, makan hanya makanan yang GI-nya rendah. Nanti saya jelaskan di bawah.
(3) Semakin jarang makan, semakin meningkat respon insulin setiap kali makan.
Ini sebabnya diet (dalam pengertian: mengurangi frekuensi makan supaya kurus) tidak akan pernah berhasil untuk jangka lama. Setelah diet selesai, tubuh justru akan cenderung lebih gemuk dari sebelum diet. Supaya kurus (baca: supaya respon insulin tidak melonjak) justru harus makan lebih sering (4-5 kali sehari) tapi dengan porsi setengah atau sepertiga porsi biasa, dengan karbohidrat maksimal 50 persen saja setiap porsi.
Kalau respon insulin tubuh sudah stabil, maka tinggal diatur: kalau ingin kurus, kalori yang masuk harus lebih sedikit dari kalori makanan yang dibutuhkan untuk aktivitas sehari hari. Tambah dengan olahraga teratur untuk membakar lemak berlebih dalam tubuh, dan memperbesar otot. Otot membutuhkan energi, maka makin terlatih otot, ia akan makin mengkonsumsi lemak dalam tubuh kita untuk energi.
Sebaliknya kalau ingin memperbesar otot (bukan gemuk) atau mengencangkan badan, maka kalori yang masuk harus agak lebih banyak dari jumlah kalori yang akan kita pakai untuk aktivitas selama sehari, agar otot mengalami pertumbuhan. Otot sendiri dirangsang pertumbuhannya dan ‘kekencangannya’ dengan olahraga teratur. Perbanyak protein agar pertumbuhan otot optimal. Karbohidrat cukup diposisikan sebagai bahan pemberi energi, bukan untuk mengenyangkan perut.
Lucu ya: kalau ingin kurus atau memperbaiki bentuk badan, termasuk menumbuhkan otot, justru harus makan lebih sering dengan porsi kecil. Makan yang mengandung lemak, goreng-gorengan, kanji, atau karbohidrat sederhana seperti gula, manisan, minuman ringan bersoda dan sebangsanya itu sudah out of the question. Kalau kita jarang makan, atau makan tidak teratur dan sekalinya makan ‘balas dendam habis-habisan’, ya justru respon insulin kita juga melonjak dan membuat tubuh jadi menimbun lemak.
Sekali lagi, baik ketika berbuka puasa atau dalam makanan keseharian, makanlah makanan yang seimbang: 50 persen karbohidrat kompleks, 40-45 persen protein dan 5-10 persen lemak dalam setiap porsinya. Jauhilah karbohidrat sederhana sebisa mungkin. Kalaupun harus makan karbohidrat sederhana karena butuh energi cepat carilah yang nilai indeks glikemiknya rendah.

Karbohidrat kompleks membutuhkan waktu untuk diubah tubuh menjadi energi. Dengan demikian, makanan diproses pelan-pelan dan tenaga diperoleh sedikit demi sedikit. Dengan demikian, kita tidak cepat lapar dan energi tersedia dalam waktu lama, cukup untuk aktivitas sehari penuh. Sebaliknya, karbohidrat sederhana menyediakan energi sangat cepat, tapi akan cepat sekali habis sehingga kita mudah lemas. Maka, ketika makan sahur, jangan makan yang banyak mengandung gula, karena kita akan cepat lemas. Makanlah karbohidrat kompleks (protein jangan dilupakan!) sehingga kita tetap berenergi sampai waktu berbuka.
Karbohidrat sederhana, GI tinggi (energi sangat cepat habis, respon insulin tinggi: merangsang penimbunan lemak) adalah: sukrosa (gula-gulaan), makanan manis-manis, manisan, minuman ringan, jagung manis, sirop, atau apapun makanan dan minuman yang mengandung banyak gula. Hindari, puasa atau tidak puasa.
Karbohidrat sederhana, GI rendah (energi cepat, respon insulin rendah): buah-buahan yang tidak terlalu manis seperti pisang, apel, pir, dan sebagainya. Sekarang ngerti kan, kenapa para pemain tenis dunia, pemain bola, pemain basket atau pelari sering terlihat ‘ngemil pisang’ di pinggir lapangan? Karena mereka butuh energi cepat, tapi nggak ingin badannya gembul berlemak.
Karbohidrat Kompleks, GI tinggi (energi pelan-pelan, tapi respon insulinnya tinggi): Nasi putih, kentang, jagung.

Karbohidrat Kompleks, GI rendah (energi dilepas pelan-pelan sehingga tahan lama, respon insulin juga rendah): Gandum, beras merah, umbi-umbian, sayuran. Ini yang paling dicari para praktisi fitness.
Makanan yang diproses pelan-pelan (karbohidrat kompleks) akan membuat kita tidak cepat lapar dan energi dihabiskan cukup untuk aktivitas satu hari penuh; respon insulin rendah membuat tubuh kita tidak cenderung untuk menabung lemak.
Kalau saya pribadi, sahur cukup dengan oatmeal gandum (ditambah gula sedikiiiiiit), atau roti coklat gandum, dua atau tiga butir telur rebus (kuningnya saya hancurkan dan ditebarkan di rumput untuk makanan semut-semut di halaman rumah), sayuran segar, dan air putih. Ini sudah cukup untuk membuat tenaga saya tidak habis sampai buka puasa karena energi dari karbohidrat kompleksnya (gandum) akan dilepas pelan-pelan ke dalam tubuh sepanjang hari. Ketika berbuka, sesuai anjuran Rasulullah dan sufi tadi, saya biasanya minum segelas air, lalu shalat maghrib. Setelah shalat makan nasi seperti biasa, sebisa mungkin dengan porsi karbohidrat-protein-lemak-air proporsional. Dan tentu tidak untuk ‘balas dendam’ karena puasa seharian. Ini justru saat yang penting untuk melatih melawan keinginan hawa nafsu ‘makan sekenyang-kenyangnya’. Belajar sabar.


Waham Umum
Oke, kembali ke topik. Nah, saya kira, “berbukalah dengan yang manis-manis” itu adalah kesimpulan yang terlalu tergesa-gesa atas hadits tentang berbuka diatas. Karena kurma rasanya manis, maka muncul anggapan bahwa (disunahkan) berbuka harus dengan yang manis-manis. Pada akhirnya kesimpulan ini menjadi waham dan memunculkan budaya berbuka puasa yang keliru di tengah masyarakat. Yang jelas, ‘berbukalah dengan yang manis’ itu disosialisasikan oleh slogan advertising banyak sekali perusahaan makanan di bulan suci Ramadhan.
Namun demikian, sekiranya ada di antara para sahabat yang menemukan hadits yang jelas bahwa Rasulullah memang memerintahkan berbuka dengan yang manis-manis, mohon ditulis di komentar di bawah, ya. Saya, mungkin juga para sahabat yang lain, ingin sekali tahu.
Semoga tidak termakan waham umum ‘berbukalah dengan yang manis’. Atau lebih baik lagi, jangan mudah termakan waham umum tentang agama. Periksa dulu kebenarannya.
Kalau ingin sehat, ikuti saja kata Rasulullah: “Makanlah hanya ketika lapar, dan berhentilah makan sebelum kenyang.” Juga, isi sepertiga perut dengan makanan, sepertiga lagi air, dan sepertiga sisanya biarkan kosong.
“Tidak ada satu wadah pun yang diisi oleh Bani Adam, lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah baginya beberapa suap untuk memperkokoh tulang belakangnya agar dapat tegak. Apabila tidak dapat dihindari, cukuplah sepertiga untuk makanannya, sepertiga lagi untuk minumannya, dan sepertiga lagi untuk nafasnya.” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya yang bersumber dari Miqdam bin Ma’di Kasib)
Semoga bermanfaat….
Wassalaamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Herry Mardian, Yayasan Paramartha
Terima kasih kepada Abdul Saman, Dian Novi, Imam Suhadi, Muhammad Sigit, Zaenal Muttaqin, Efi Hanafi, Rahmat Sudarsono dan Melissa Rosanti atas segala ’stimulus’-nya sehingga muncul artikel ini.
P.S. = Tulisan ini ‘dikutip’ (tanpa ijin dan tanpa malu-malu, hehehe….) oleh harian Suara Karya di link ini, dengan judul ‘Waspada Makanan Manis Bagi Orang Berpuasa’.
: : : : : : : :
U P D A T E
Dari dr. Yenni Zuhairini Suhadi, MS, SpGK. (25 Juli 2008):
SANGAT cemerlang om, rasanya saat itu saya udah pernah baca tapi kok gak respon ya? He.. he, Soalnya, betul banget om Herry memperhitungkan indeks glikemik buat yang mau nurunin berat badan, mudahnya, kurangi banget makan minum yang manis-manis deh.
Tapi-nya, kurma mengandung KH kompleks dan tidak mengandung KH sederhana, ya enggak juga. Makanya jadi keributan di blog-blog lain. Tapi om Herry tetap benar dalam konteks yang dibahasnya, beberapa jenis kurma punya indeks glikemik yang rendah karena berbagai komposisi dalam buahnya, termasuk sukrosa, glukosa dan fruktosa yang KH sederhana itu (35.5 for khalas, 49.7 for barhi and 30.5 for bo ma’an (Saudi Med J. 2002 Nov; 23(11):1426; author reply 1426-7. Glycemic index of 3 varieties of dates. Miller CJ, Dunn EV, Hashim IB)
Satu lagi, buat orang normal biasa (bukan praktisi fitness, terutama body building) komposisi Karbohidrat 50%, protein 35-40%, dan lemak 10-15% cukup memberatkan untuk hati dan ginjal, terutama karena proteinnya yang berlimpah, hasil pencernaan protein menghasilkan urea yang harus dibuang oleh ginjal atau diputar kembali menjadi energi oleh hati, bisa disimpan dalam otot tapi mesti dengan exercise, ya, seperti body building gitu. Kalo gak teratasi oleh ginjal yang letih atau hati yang gak siap, bisa terjadi uremia, gejalanya mulai dari pusing, mual, marah-marah, sampai meracau dan koma.
Komposisi yang seimbang biasanya KH 50-65%, Protein 15-20%, dan lemak 20-25%, walaupun dengan jumlah yang dikurangi untuk orang-orang tertentu. Kalo udah mulai fitnessnya, bisa perlahan lahan dinaikkan proteinnya.
O ya, para dokter juga sekarang sudah pake yang buka puasa pake buah dan air putih saja, gak langsung makan ataupun makan yang manis. Selain untuk menghindari lonjakan insulin, kira-kira 2 jam setelah kita makan sedikit karbohidrat waktu buka puasa, si insulin sudah pada kadar efektif memasukkan makanan ke sel kita; termasuk membantu memasukkan asam amino (protein ke otot kita) Jadi saya gak sepakat dengan dr. Ian yang menganjurkan makan manis saat berbuka untuk menggantikan energi yang berkurang waktu puasa.
Wallahu a’lam, semoga bermanfaat.

Jumat, 05 Juli 2013

Fiqh Imam Syafi'i (6)

BAB ZAKAT

PENGERTIAN ZAKAT

Menurut bahasa, zakat ialah pembersihan dan berkembang (bertambah kebaikan dan barokah). Menurut syariat, zakat ialah pengeluaran harta tertentu dengan bagian tertentu dan niat tertentu dan dibagikan kepada orang-orang tertentu.


Awal dimulainya zakat:

1. Kalau menurut ahli Fiqih, tahun dimulainya zakat yaitu pada tahun ke 2 Hijriyah di bulan Sya' ban.

2. Kalau menurut ahli hadist, tahun dimulainya zakat yaitu pada tahun ke 2 Hijriyah di bulan Syawal.

3. Kalau zakat fitir (zakat fitrah), yakni 2 hari sebelum hari pada bulan Romadlon tahun ke 2 Hijriyah.



PEMBAGIAN ZAKAT

a. Zakat Harta Kekayaan (Zakat Mal).
Ialah zakat dari harta yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu.


Adapun harta kekayaan tersebut antara lain :

a.1. Hewan ternak (Na 'am) : yaitu kambing, sapi, kerbau dan unta.


Syarat wajib zakat Na'am :

1. Sampainya Nishob (keterangan nishob ada di bawah).

2. Memelihara dan memiliki selama 1 tahun penuh (kurang dari satu jam, tidak wajib mengeluarkan zakat).

3. Digembala / diangon / diberi makan di padang rumput umum (tidak bertuan), maksudnya diberi makan yang tanpa mengeluarkan biaya.

4. Tidak dibuat tunggangan (dibuat mencari penghasilan).



Nishob Hewan Ternak

a. Nishob Kambing

1. 40-120 ekor kambing mengeluarkan ekor anak kambing berumur 1 tahun (jantan / betina) kalau domba berumur 1 tahun / kambing kacang berumur 2 tahun.

2. 121-200 ekor kambing mengeluarkan 2 ekor anak kambing berumur 1 tahun (jantan / betina), kalau domba berumur 1 tahun / kambing kacang berumur 2 tahun.

3. 201 - 299 ekor kambing mengeluarkan 3 ekor anak kambing berumur 1 tahun (jantan / betina) kalau domba berumur 1 tahun/kambing kacang berumur 2 tahun.

4. 400 ekor kambing mengeluarkan 4 ekor anak kambing berumur 1 tahun (jantan / betina) kalau domba berumur 1 tahun / kambing kacang berumur 2 tahun.

5. Selebihnya setiap 100 ekor kambing mengeluarkan 1 ekor anak kambing berumur 1 tahun.



b. Nishob Sapi atau Kerbau (Banteng)

1. 30 ekor sapi mengeluarkan 1 ekor anak sapi yang berumur 1 tahun (jantan / betina).

2. 40 ekor sapi mengeluarkan 1 ekor anak sapi yang berumur 2 tahun (betina).

3. 60 ekor sapi mengeluarkan 2 ekor anak sapi yang berumur 1 tahun (jantan)

4. Selebihnya setiap 30 ekor sapi mengeluarkan 1 ekor sapi jantan yang berumur 1 tahun.

5. Selebihnya setiap 40 ekor sapi mengeluarkan 1 ekor sapi betina yang berumur 2 tahun.



Keterangan:
Mengeluarkan zakat harus sehat tanpa aib / penyakit (cacat, korengan, hilang mata satu / penyakit mata, dan hilang tanduk satu dan juga hilangnya satu testis / sangklir)
(#) KHULTO (Join/bagi hasil) : dua orang/lebih, maka wajib mengeluarkan zakat apabila semua setuju dan dengan adil dalam pengeluaran zakatnya.



c. Nishob Unta

1. 5 ekor unta mengeluarkan 1 ekor kambing berumur 1 tahun atau mengeluarkan 1 ekor kambing kacang yang berumur 2 tahun.

2. 10 ekor unta mengeluarkan 2 ekor kambing domba.

3. 15 ekor unta mengeluarkan 3 ekor kambing domba.

4. 20 ekor unta mengeluarkan 4 ekor kambing domba.

5. 25 ekor unta mengeluarkan 1 ekor anak unta yang berumur 1 tahun.

6. 36 ekor unta mengeluarkan 1 ekor anak unta yang berumur 2 tahun.

7. 46 ekor unta mengeluarkan 1 ekor anak unta yang berumur 3 tahun.

8. 61 ekor unta mengeluarkan 1 ekor anak unta yang berumur 4 tahun.

9. 76 ekor unta mengeluarkan 2 ekor anak unta yang berumur 2 tahun.

10. 91 ekor unta mengeluarkan 2 ekor anak unta yang berumur 3 tahun.

11. 121 ekor unta mengeluarkan 3 ekor anak unta yang berumur 2 tahun.

12. 130 ekor unta mengeluarkan 1 ekor anak unta yang berumur 3 tahun dan 1 ekor anak unta yang berumur 2 tahun.

13. Kelebihan dari 130 setelah itu setiap 40 ekor unta + mengeluarkan 1 ekor anak unta yang berumur 2 tahun.

14. Setiap 50 ekor unta + mengeluarkan 1 ekor anak unta yang ber umur 3 tahun.



Keterangan:
Dalam zakat unta yang dizakatkan adalah unta betina.



a.2. Perhiasan (Waqdan), yaitu berupa emas dan perak
Syarat wajib zakat nakdan yaitu :

1. Tidak berupa sesuatu perhiasan yang dipakai, seperti kalung, gelang, cincin, anting-anting, gigi emas walaupun jumlahnya banyak dan dipakai sebulan sekali.

2. Sampai ke nishob
Nishob emas yaitu 84 gram (mengeluarkan zakat 2.5 %)
Nishob perak yaitu 588 gram (mengeluarkan zakat 2.5 %)

3. Sampai ke khoul atau dimiliki selama 1 satu tahun penuh.



Keterangan:

1. Perhiasan di atas yang tidak diperjual-belikan tidak wajib mengeluarkan zakat.

2. Kalau diperjual-belikan atau disewakan wajib mengeluarkan zakat.



a.3. Perdagangan (‘Urudud Tijaroh)

Makna dari berdagang yaitu suatu kegiatan yang menghasilkan keuntungan.



Syarat wajib zakat Berdagang :

1. Berupa barang (berwujud).

2. Mempunyai niat untuk berdagang.

3. Niat berdagang bersamaan dengan memiliki barang dagangannya.

4. Memiliki barang dengan timbal balik (Modal).

5. Tidak memutuskan niat untuk berdagang (menukar barang dagangan sebelum 1 satu tahun penuh).

6. Berjalan 1 tahun penuh dan dihitung sejak awal yang dimiliki.

7. Sampai ke nishob
Nishob dagangan yaitu seharga emas 84 gram atau seharga perak 588 gram, maka wajib mengeluarkan zakat 2.5 %.


Contoh keterangan:
Si A berdagang dimulai dari tanggal 1 Januari 2007 sampai tanggal 31 Desember 2007 (1 satu tahun penuh dengan tidak memutuskan niat atau tidak berganti dagangan) , maka jumlah barang dan uang yang ada pada tanggal 31 Desember 2007 dijumlah dan dikurskan emas atau perak, apabila masuk nishob maka wajib mengeluarkan zakat 2.5 %.



a.4. Tanaman (Muasarot)

Jenis tanaman dibagi 2 dua yaitu :

1. Biji-bijian yaitu beras, sagu, gandum.

2. Buah-buahan yaitu anggur dan kurma.



Syarat wajib zakat yaitu :
Telah sampai nishob, nishobnya yaitu 825 kg hasil panen.



Keterangan:

1. Kalau tanaman tersebut disirami dengan mengeluarkan uang, maka zakatnya 5 %.

2. Kalau disirami tanpa mengeluarkan uang, maka zakatnya 10 %.

3. Kalau ½ pengeluaran uang atau ½ tidak mengeluarkan uang, maka zakatnya 7,5 %.



a.5. Harta temuan/harta karun (Rekaz)

Yaitu harta yang terpendam di dalam tanah (harta karun).


Syarat wajib zakat yaitu:

1. Terdiri dari emas dan perak.

2. Di tempat yang tidak dimiliki oleh seseorang (tak bertuan) dan bukan pada zaman Islam.

3. Sampai ke nishobnya yaitu nishob emas atau perak. Nishobnya yaitu 5 %.



Keterangan:
Dimaksud zaman Islam adalah terdapat label yang tertera 559 M atau sebelumnya, maka masuk harta jahiliyah, maka wajib mengeluarkan zakat 5%, tetapi setelah 559 M dan tertera bahasa Arab maka wajib mengeluarkan zakat 20 %, diberikan untuk fakir miskin, muslimin yang ada ditempat tersebut, atau yang lainnya akan tetapi kalau tidak tertera bahasa Arab mengeluarkan zakat 5% dan apabila tidak ada label tahun maka mengeluarkan zakat 5 %.



a.6. Hasil tambang (Mad’an)
Yaitu hasil tambang yang di keluarkan dari tanah umum (emas, perak).


Syarat wajib zakat Ma'dan yaitu :

1. Berupa emas dan perak, maka selain itu tidak wajib dizakati.

2. Sampai ke nishob emas dan perak.

Wajib mengeluarkan zakat 2.5%.



b. Zakat Fitrah
Syarat wajib zakat
1. Islam: maka orang kafir dan murtad tidak wajib zakat

2. Khuriyah : merdeka / bukan budak (pesuruh yang tidak dibayar dan dimiliki selamanya, didapatkan dalam peperangan orang Islam melawan orang kafir).

3. Harta yang dimiliki : kalau harta orang lain tidak wajib di zakati.

4. Harta yang dimiliki dengan utuh (sempurna).

5. Yakin dalam memiliki zakat: wakof janin atau harta warisan tidak wajib di keluarkan.



Waktu pelaksanaan zakat fitrah

Waktu wajib
Yaitu seseorang mengalami sebagian bulan Romadhon dan sebagian dari bulan Syawal sampai terbenam matahari (kalau dia tidak mengalami bulan Romadhon, maka tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah / apabila dia mengalami di bulan Romadlon maka wajib zakat).

Waktu Fadhilah (utama)
Yaitu setelah adzan subuh hari raya sampai sebelum, sholat 'ied, kalau tidak bisa maka malam harinya.

Waktu diperbolehkan
Yaitu dari awal Romadlon.


Waktu makruh
Yaitu setelah sholat ied sampai terbenam matahari.

Waktu Haram
Yaitu setelah terbenam matahari di hari raya, maka tidak dinamakan zakat Fitrah tetapi sodakoh.



Wajib zakat / tata cara mengeluarkan zakat fitrah


Yang mengeluarkan Zakat yaitu :

1. Islam

2. Niat, supaya membedakan antara zakat wajib dan sodakoh.
Caranya : Sambil memegang beras zakat fitrah atau boleh tidak memegang beras dan mengucap ini zakat fitrahku.

3. Yang memiliki pangan dari hari raya sampai malamnya.

4. Besar atau kecil laki-laki atau perempuan.



Yang ditanggung zakat fitrah yaitu :

1. Bagi orang tua, yaitu anaknya yang belum mampu.

2. Bagi suami, yaitu istri.

3. Kalau dari 2 dua orang yang diatas mempunyai pembantu, maka wajib ditanggung kalau semua yang ada di atas mampu, kalau tidak maka tidak wajib.

Keterangan:
Zakat fitrah dikeluarkan sebanyak 3 Kg, (kenapa 3 kg? karena wajib zakat fitrah yaitu 4 Amdad nabawi, 1 Mud Nabawi ukurannya belum ada yang bisa memastikan (1 satu mud yaitu 2 telapak tangan digabungkan jadi satu) dan Ulama' belum bisa memastikan, maka Al Imam Al Habib Zein bin Smit mengambil 3 kg untuk menjaga kekurangannya dan sesuatu yang lebih itu lebih afdhol. (Jika ditimbang kurang lebih 2,75 kg dan ada yang menjumlah 2,80 kg).

Zakat Fitrah harus berupa beras (kalau zakat Mal boleh berupa uang).



Penerima Zakat Fitrah
1. Fakir

2. Miskin

3. Amil (kalau tidak dibayar atau tidak mengharap bayaran atau ikhlas)

4. Orang yang baru masuk Islam (kurang dari 5 bulan walaupun kaya)

5. Hamba sahaya

6. Orang yang mempunyai hutang (kalau hutang untuk sesuatu yang benar)

7. Orang yang mengikuti peperangan (fi sabilillah walaupun kaya)

8. Musafir (Ibnu Sabil) yaitu orang yang berdakwah ke luar kota yang kehabisan bekal walaupun pada dasarnya dia kaya)


Keterangan:
Dalam pembagian boleh rata atau dibagikan menurut kebutuhan orang di sekelilingnya.
Bagi seorang yang mewakili, maka dia tidak boleh diwakilkan kepada orang lain lagi. Muktamat Madab Safi'i.

Contoh:
Si A mengeluarkan zakat dan kemudian diwakilkan si B, dan si B tidak boleh diwakilkan kepada orang lain dan si B harus menyebutkan bahwa ini Zakat si A.
 
Oleh : Alhabib Shodiq bin Abubakar Baharun
Sumber

Fiqh Imam Syafi'i (5)

BAB PUASA

Bismillahirrahmanirrahiim

Allah berfirman yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
(QS. Al Baqarah:183)

Ditegaskan oleh Rasulullah s.a.w melalui sabdanya yang diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasa’i dan Al Baihaqi dari Abu Huroiroh, yang artinya:
“Sesungguhnya telah datang kepada kamu bulan Ramadhan bulan yang penuh berkah. Allah telah mewajibkan atas kamu berpuasa pada-Nya. Sepanjang bulan Ramadhan itu dibuka segala pintu syurga dan ditutup segala pintu neraka serta dibelenggu segala syaitan…”.



Pengertian Puasa
Puasa artinya menahan diri dari makan dan minum dan dari segala perbuatan yang bisa membatalkan puasa, mulai terbit fajar sampai terbenam matahari.

Waktu diwajibkannya berpuasa pada tahun ke-2 hijriyah yaitu pada bulan Sya’ban dan Rasulullah s.a.w berpuasa selama 9 kali Ramadhan.



Puasa Wajib
Puasa bulan Ramadhan, puasa kifarat, puasa nadzar, puasa qodo’ dan puasa haji serta umroh untuk menggantikan dari fidyah.



Puasa Sunat

1. Puasa 6 hari ba’da bulan Syawal (harus urut, boleh di awal, tengah atau di akhir).

2. Puasa Hari Arafah (tanggal 8 atau 9 Dzulhijjah).

3. Puasa Hari Asyura pada 10 Muharam dan 9 Muharam.

4. Puasa bulan Sya’ban (afdolnya 1 bulan penuh atau beberapa hari saja).

5. Puasa Isnin dan Khomis (Senin dan Kamis).

6. Puasa tengah bulan yaitu 13, 14, 15 pada bulan qamariah (tahun Hijriyah).

7. Puasa tanggal 1 – 9 bulan Dzulhijjah.



Puasa Makruh

1. Puasa yang terus-menerus sepanjang masa (kalau tidak ada amalan).

2. Puasa hari Sabtu tanpa dibarengi dengan hari Jum’at atau hari Ahad.



Puasa Haram

1. Dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha)

2. Hari tasyriq 11, 12, 13 Dzulhijjah.

3. Hari syak (Ragu) yaitu tanggal 30 akhir bulan Sya’ban.



Pekerjaan yang Makruh di Bulan Puasa

1. Sikat gigi setelah subuh sampai terbenam matahari (apabila dilakukan dan sampai masuk tenggorokan, maka puasanya batal).

2. Buang air besar setelah subuh sampai terbenam matahari (apabila dilakukan sewaktu membuang hajat sebelum tuntas keluar dan sisa kotoran itu masuk lagi ke lubang dubur, maka puasanya batal).



Syarat Syahnya Berpuasa

1. Islam

2. Aqil (berakal)

3. Bersih dari haid dan Nifas (suci)

4. Mengetahui tentang waktunya berpuasa, waktunya dari terbitnya Fajar Shodiq (awal waktu shubuh) sampai terbenamnya matahari (bulatannya) secara menyeluruh (awal waktu maghrib).



Syarat Wajib Berpuasa

1. Islam (maka kafir tidak wajib berpuasa).

2. Taklif / baligh dan berakal (maka anak kecil dan orang gila tidak wajib berpuasa).

3. Mampu dhohir dan bathin (maka orang yang berumur tua kurang lebih 70 tahun atau orang yang sakit yang kata dokter tidak bisa sembuh tidak wajib puasa).

4. Sehat jasmani.

5. Orang yang bermukim (kalau musafir / orang yang berpergian melebihi 82 km) maka tidak wajib berpuasa asalkan dalam berpergian tidak niat maksiat.



Rukunnya Berpuasa

1. Niat berpuasa setiap hari waktunya dari habis maghrib sampai imsak (sebelum adzan shubuh) dan niatnya:
“Nawaitu souma ghodin ‘an adai fardli syahri romadhona hadhihi sanati Lillahi ta’ala”

Menurut Madzhab Syafi’i:
“Kita dianjurkan niat satu bulan penuh di tanggal satu Ramadhan untuk menghindari kalau kita lupa niat puasa dihari-hari berikutnya, tapi kita diwajibkan berniat puasa di setiap hari kalau kita ingat. (satu bulan penuh ghadin diganti syahrakulahaa).

2. Meninggalkan sesuatu yang membatalkan puasa dalam keadaan sadar dan mengetahui tentang yang membatalkan puasa.

3. Orang yang berpuasa (dirinya sendiri).



Yang Membatalkan Puasa

1. Makan dan minum dengan sengaja.

2. Jimak dengan disengaja dan sadar.

3. Murtad (keluar dari Islam).

4. Haid (darah yang keluar seteiap bulan untuk kaum wanita).

5. Nifas (darah yang keluar setelah melahirkan).

6. Melahirkan (walaupun segumpal darah atau daging / keguguran).

7. Gila (hilang ingatan) walaupun sebentar.

8. Pingsan dan ayan (kurang lebih 5 jam).

9. Mabuk (kurang lebih 5 jam).

10. Suntik / injeksi pada bagian tubuh di atas pusar.



Macam-macam Hukum untuk Membatalkan Puasa

Wajib :
Untuk wanita haid dan nifas dan melahirkan (wiladah).

Jaiz atau diperbolehkan :
Untuk orang yang berpergian luar kota dengan niat tidak untuk berbuat maksiat dan sakit dan jarak berpergiannya 82 km.

Tidak wajib dan tidak jaiz :
Untuk orang gila.

Haram :
Seperti orang yang mempunyai hutang puasa di tahun yang telah lewat dan mampu untuk mengqodho puasa tapi tidak berpuasa sampai datangnya bulan Ramadhan lagi.



Macam-macam Qodho dan Fidyah (denda) untuk Orang yang Berpuasa

Yang pertama.
Wajib mengqodho puasa dan membayar fidyah / denda (hanya berupa beras 1 mud (dua tangan digabung) kurang lebih ¾ kg dan diberikan kepada fakir miskin:

1. Berbuka puasa karena takut / mengkhawatirkan keadaan orang lain seperti menyelamatkan hewan / orang yang tenggelam dan wanita yang menyusui atau wanita hamil. Jika karena takut / mengkhawatirkan diri sendiri maka hanya diwajibkan mengqodho saja, sedangkan kalau takut keduanya (dirinya dan orang lain) maka wajib mengqodho dan bayar fidyah / denda.

2. Orang yang mempunyai hutang puasa di tahun yang telah lewat dan mampu mengqodho puasa tapi tidak berpuasa sampai datangnya bulan Ramadhon lagi.

Mabuk dengan cara bermaksiat.


Yang kedua:
Wajib mengqodho tanpa mengeluarkan fidyah:

1. Seperti orang pingsan dan ayan.

2. Meninggalkan niat puasa tanpa sengaja dan lupa niat 1 bulan penuh.

3. Yang sengaja membatalkan puasa (asalkan tidak melakukan maksiat)


Yang ketiga:
Diwajibkan mengeluarkan fidyah tanpa mengqodho puasa bagi orang tua yang berumur kurang lebih 70 tahun ke atas dan tidak mampu berpuasa. Bagi orang sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya.


Yang keempat:
Yang tidak diwajibkan mengqodho puasa dan mengeluarkan fidyah bagi orang gila yang tidak bisa diharapkan sembuh.



Bab yang Tidak Membatalkan Puasa Apabila Masuk Dilubang Tubuh

1. Yang masuk dilubang tubuh dalam keadaan lupa (tanpa sengaja).

2. Bodoh (tidak mengetahui hukum tentang berpuasa dan jauh dari para ulama’).

3. Dipaksa (apabila dia tidak mampu melawan, tidak ada yang membantu dan tidak ada pilihan lain).

4. Ketelan sisa-sisa makanan yang ada disela-sela gigi dengan syarat dia sudah membersihkannya.

5. Masuknya debu jalanan dan debu tepung ke dalam hidung dan mulut walaupun banyak.

6. Membuka mulut sehingga kemasukkan lalat dan sejenisnya, tapi seukuran lalat atau lebih kecil disengaja atau tidak disengaja walaupun banyak.



Bab yang Menghilangkan Pahala Puasa

1. Berbohong

2. Mengadu domba

3. Membicarakan aib orang lain

4. Semua perbuatan dosa kecil maupun besar

5. Jika seseorang mempunyai hutang puasa tapi belum ada kesempatan untuk mengqodho (membayar) kemudian dia meninggal, maka walinya diperbolehkan untuk mengqodho (membayar) atau menggantikan dengan mengeluarkan 1 mud (2 tangan digabungkan) kira-kira ¾ kg. (Seperti yang tertera di kitab taqrirot assadinah)

6. Tidak boleh makan atau minum tatkala adzan shubuh, maka puasanya batal dan wajib mengqodho karena adzan shubuh yang ada disekitar kita itu sendiri sudah melebihi waktu fajar.



Sunnah Berpuasa Ramadhan, diantaranya:

1. Mempercepat berbuka (yaitu ketika yakin terbenamnya matahari /mendengar adzan langsung berbuka walaupun sekedarnya).

2. Sahur walaupun dengan seteguk air.

3. Mengakhirkan sahur (yaitu makan dan minum sebelum adzan shubuh kurang lebih ½ jam).

4. Berbuka dengan sesuatu yang manis.

5. Berbuka dengan kurma dan jumlahnya ganjil.

6. Berdoa tatkala berbuka.

7. Memberi makanan / minuman untuk orang yang berpuasa.

8. Beramal sholeh.

Fiqh Imam Syafi'i (5)

BAB PUASA

Bismillahirrahmanirrahiim

Allah berfirman yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
(QS. Al Baqarah:183)

Ditegaskan oleh Rasulullah s.a.w melalui sabdanya yang diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasa’i dan Al Baihaqi dari Abu Huroiroh, yang artinya:
“Sesungguhnya telah datang kepada kamu bulan Ramadhan bulan yang penuh berkah. Allah telah mewajibkan atas kamu berpuasa pada-Nya. Sepanjang bulan Ramadhan itu dibuka segala pintu syurga dan ditutup segala pintu neraka serta dibelenggu segala syaitan…”.



Pengertian Puasa
Puasa artinya menahan diri dari makan dan minum dan dari segala perbuatan yang bisa membatalkan puasa, mulai terbit fajar sampai terbenam matahari.

Waktu diwajibkannya berpuasa pada tahun ke-2 hijriyah yaitu pada bulan Sya’ban dan Rasulullah s.a.w berpuasa selama 9 kali Ramadhan.



Puasa Wajib
Puasa bulan Ramadhan, puasa kifarat, puasa nadzar, puasa qodo’ dan puasa haji serta umroh untuk menggantikan dari fidyah.



Puasa Sunat

1. Puasa 6 hari ba’da bulan Syawal (harus urut, boleh di awal, tengah atau di akhir).

2. Puasa Hari Arafah (tanggal 8 atau 9 Dzulhijjah).

3. Puasa Hari Asyura pada 10 Muharam dan 9 Muharam.

4. Puasa bulan Sya’ban (afdolnya 1 bulan penuh atau beberapa hari saja).

5. Puasa Isnin dan Khomis (Senin dan Kamis).

6. Puasa tengah bulan yaitu 13, 14, 15 pada bulan qamariah (tahun Hijriyah).

7. Puasa tanggal 1 – 9 bulan Dzulhijjah.



Puasa Makruh

1. Puasa yang terus-menerus sepanjang masa (kalau tidak ada amalan).

2. Puasa hari Sabtu tanpa dibarengi dengan hari Jum’at atau hari Ahad.



Puasa Haram

1. Dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha)

2. Hari tasyriq 11, 12, 13 Dzulhijjah.

3. Hari syak (Ragu) yaitu tanggal 30 akhir bulan Sya’ban.



Pekerjaan yang Makruh di Bulan Puasa

1. Sikat gigi setelah subuh sampai terbenam matahari (apabila dilakukan dan sampai masuk tenggorokan, maka puasanya batal).

2. Buang air besar setelah subuh sampai terbenam matahari (apabila dilakukan sewaktu membuang hajat sebelum tuntas keluar dan sisa kotoran itu masuk lagi ke lubang dubur, maka puasanya batal).



Syarat Syahnya Berpuasa

1. Islam

2. Aqil (berakal)

3. Bersih dari haid dan Nifas (suci)

4. Mengetahui tentang waktunya berpuasa, waktunya dari terbitnya Fajar Shodiq (awal waktu shubuh) sampai terbenamnya matahari (bulatannya) secara menyeluruh (awal waktu maghrib).



Syarat Wajib Berpuasa

1. Islam (maka kafir tidak wajib berpuasa).

2. Taklif / baligh dan berakal (maka anak kecil dan orang gila tidak wajib berpuasa).

3. Mampu dhohir dan bathin (maka orang yang berumur tua kurang lebih 70 tahun atau orang yang sakit yang kata dokter tidak bisa sembuh tidak wajib puasa).

4. Sehat jasmani.

5. Orang yang bermukim (kalau musafir / orang yang berpergian melebihi 82 km) maka tidak wajib berpuasa asalkan dalam berpergian tidak niat maksiat.



Rukunnya Berpuasa

1. Niat berpuasa setiap hari waktunya dari habis maghrib sampai imsak (sebelum adzan shubuh) dan niatnya:
“Nawaitu souma ghodin ‘an adai fardli syahri romadhona hadhihi sanati Lillahi ta’ala”

Menurut Madzhab Syafi’i:
“Kita dianjurkan niat satu bulan penuh di tanggal satu Ramadhan untuk menghindari kalau kita lupa niat puasa dihari-hari berikutnya, tapi kita diwajibkan berniat puasa di setiap hari kalau kita ingat. (satu bulan penuh ghadin diganti syahrakulahaa).

2. Meninggalkan sesuatu yang membatalkan puasa dalam keadaan sadar dan mengetahui tentang yang membatalkan puasa.

3. Orang yang berpuasa (dirinya sendiri).



Yang Membatalkan Puasa

1. Makan dan minum dengan sengaja.

2. Jimak dengan disengaja dan sadar.

3. Murtad (keluar dari Islam).

4. Haid (darah yang keluar seteiap bulan untuk kaum wanita).

5. Nifas (darah yang keluar setelah melahirkan).

6. Melahirkan (walaupun segumpal darah atau daging / keguguran).

7. Gila (hilang ingatan) walaupun sebentar.

8. Pingsan dan ayan (kurang lebih 5 jam).

9. Mabuk (kurang lebih 5 jam).

10. Suntik / injeksi pada bagian tubuh di atas pusar.



Macam-macam Hukum untuk Membatalkan Puasa

Wajib :
Untuk wanita haid dan nifas dan melahirkan (wiladah).

Jaiz atau diperbolehkan :
Untuk orang yang berpergian luar kota dengan niat tidak untuk berbuat maksiat dan sakit dan jarak berpergiannya 82 km.

Tidak wajib dan tidak jaiz :
Untuk orang gila.

Haram :
Seperti orang yang mempunyai hutang puasa di tahun yang telah lewat dan mampu untuk mengqodho puasa tapi tidak berpuasa sampai datangnya bulan Ramadhan lagi.



Macam-macam Qodho dan Fidyah (denda) untuk Orang yang Berpuasa

Yang pertama.
Wajib mengqodho puasa dan membayar fidyah / denda (hanya berupa beras 1 mud (dua tangan digabung) kurang lebih ¾ kg dan diberikan kepada fakir miskin:

1. Berbuka puasa karena takut / mengkhawatirkan keadaan orang lain seperti menyelamatkan hewan / orang yang tenggelam dan wanita yang menyusui atau wanita hamil. Jika karena takut / mengkhawatirkan diri sendiri maka hanya diwajibkan mengqodho saja, sedangkan kalau takut keduanya (dirinya dan orang lain) maka wajib mengqodho dan bayar fidyah / denda.

2. Orang yang mempunyai hutang puasa di tahun yang telah lewat dan mampu mengqodho puasa tapi tidak berpuasa sampai datangnya bulan Ramadhon lagi.

Mabuk dengan cara bermaksiat.


Yang kedua:
Wajib mengqodho tanpa mengeluarkan fidyah:

1. Seperti orang pingsan dan ayan.

2. Meninggalkan niat puasa tanpa sengaja dan lupa niat 1 bulan penuh.

3. Yang sengaja membatalkan puasa (asalkan tidak melakukan maksiat)


Yang ketiga:
Diwajibkan mengeluarkan fidyah tanpa mengqodho puasa bagi orang tua yang berumur kurang lebih 70 tahun ke atas dan tidak mampu berpuasa. Bagi orang sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya.


Yang keempat:
Yang tidak diwajibkan mengqodho puasa dan mengeluarkan fidyah bagi orang gila yang tidak bisa diharapkan sembuh.



Bab yang Tidak Membatalkan Puasa Apabila Masuk Dilubang Tubuh

1. Yang masuk dilubang tubuh dalam keadaan lupa (tanpa sengaja).

2. Bodoh (tidak mengetahui hukum tentang berpuasa dan jauh dari para ulama’).

3. Dipaksa (apabila dia tidak mampu melawan, tidak ada yang membantu dan tidak ada pilihan lain).

4. Ketelan sisa-sisa makanan yang ada disela-sela gigi dengan syarat dia sudah membersihkannya.

5. Masuknya debu jalanan dan debu tepung ke dalam hidung dan mulut walaupun banyak.

6. Membuka mulut sehingga kemasukkan lalat dan sejenisnya, tapi seukuran lalat atau lebih kecil disengaja atau tidak disengaja walaupun banyak.



Bab yang Menghilangkan Pahala Puasa

1. Berbohong

2. Mengadu domba

3. Membicarakan aib orang lain

4. Semua perbuatan dosa kecil maupun besar

5. Jika seseorang mempunyai hutang puasa tapi belum ada kesempatan untuk mengqodho (membayar) kemudian dia meninggal, maka walinya diperbolehkan untuk mengqodho (membayar) atau menggantikan dengan mengeluarkan 1 mud (2 tangan digabungkan) kira-kira ¾ kg. (Seperti yang tertera di kitab taqrirot assadinah)

6. Tidak boleh makan atau minum tatkala adzan shubuh, maka puasanya batal dan wajib mengqodho karena adzan shubuh yang ada disekitar kita itu sendiri sudah melebihi waktu fajar.



Sunnah Berpuasa Ramadhan, diantaranya:

1. Mempercepat berbuka (yaitu ketika yakin terbenamnya matahari /mendengar adzan langsung berbuka walaupun sekedarnya).

2. Sahur walaupun dengan seteguk air.

3. Mengakhirkan sahur (yaitu makan dan minum sebelum adzan shubuh kurang lebih ½ jam).

4. Berbuka dengan sesuatu yang manis.

5. Berbuka dengan kurma dan jumlahnya ganjil.

6. Berdoa tatkala berbuka.

7. Memberi makanan / minuman untuk orang yang berpuasa.

8. Beramal sholeh.