GURU DAN AMALIAH KH. AHMAD DAHLAN (MUHAMMADIYYAH) DAN KH. HASYIM ASY’ARI (NU) ADALAH SAMA TIADA PERBEDAAN
Tulisan kali ini hendak mempertegas tulisan kami yang telah lalu
berjudul “Sejarah Awal Muhammadiyah yang Terlupakan”, dimana banyak dari
kita belum tahu atau sengaja melupakan sejarah awal Muhammadiyyah.
Secara ringkas kami katakan bahwa, KH. Ahmad Dahlan (pendiri
Muhammadiyyah pada 18 November 1912/8 Dzull Hijjah 1330) dengan KH.
Hasyim Asy’ari (pendiri NU pada 31 Januari 1926/16 Rajab 1344) adalah
satu sumber guru dengan amaliah ubudiyah yang sama. Bahkan keduanya pun
sama-sama satu nasab dari Maulana ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri).
Berikut kami kutip kembali ringkasan “Kitab Fiqih Muhammadiyyah”,
penerbit Muhammadiyyah Bagian Taman Poestaka Jogjakarta, jilid III,
diterbitkan tahun 1343 H/1925 M, dimana hal ini membuktikan bahwa
amaliah kedua ulama besar di atas tidak berbeda:
1. Niat shalat memakai bacaan lafadz: “Ushalli Fardha...” (halaman 25).
2. Setelah takbir membaca: “Allahu Akbar Kabiran Walhamdulillahi Katsira...” (halaman 25).
3. Membaca surat al-Fatihah memakai bacaan: “Bismillahirrahmanirrahim” (halaman 26).
4. Setiap shalat Shubuh membaca doa Qunut (halaman 27).
5. Membaca shalawat dengan memakai kata: “Sayyidina”, baik di luar maupun dalam shalat (halaman 29).
6. Setelah shalat disunnahkan membaca wiridan: “Istighfar, Allahumma
Antassalam, Subhanallah 33x, Alhamdulillah 33x, Allahu Akbar 33x”
(halaman 40-42).
7. Shalat Tarawih 20 rakaat, tiap 2 rakaat 1 salam (halaman 49-50).
8. Tentang shalat & khutbah Jum’at juga sama dengan amaliah NU (halaman 57-60).
KH. Ahmad Dahlan sebelum menunaikan ibadah haji ke tanah suci bernama
Muhammad Darwis. Seusai menunaikan ibadah haji, nama beliau diganti
dengan Ahmad Dahlan oleh salah satu gurunya, as-Sayyid Abubakar Syatha
ad-Dimyathi, ulama besar yang bermadzhab Syafi’i.
Jauh sebelum
menunaikan ibadah haji, dan belajar mendalami ilmu agama, KH. Ahmad
Dahlan telah belajar agama kepada asy-Syaikh KH. Shaleh Darat Semarang.
KH. Shaleh Darat adalah ulama besar yang telah bertahun-tahun belajar
dan mengajar di Masjidil Haram Makkah.
Di pesantren milik KH.
Murtadha (sang mertua), KH. Shaleh Darat mengajar santri-santrinya ilmu
agama, seperti kitab al-Hikam, al-Munjiyyat karya beliau sendiri,
Lathaif ath-Thaharah, serta beragam ilmu agama lainnya. Di pesantren
ini, Mohammad Darwis ditemukan dengan Hasyim Asy’ari. Keduanya sama-sama
mendalami ilmu agama dari ulama besar Syaikh Shaleh Darat.
Waktu itu, Muhammad Darwis berusia 16 tahun, sementara Hasyim Asy’ari
berusia 14 tahun. Keduanya tinggal satu kamar di pesantren yang dipimpin
oleh Syaikh Shaleh Darat Semarang tersebut. Sekitar 2 tahunan kedua
santri tersebut hidup bersama di kamar yang sama, pesantren yang sama
dan guru yang sama.
Dalam keseharian, Muhammad Darwis memanggil
Hasyim Asy’ari dengan panggilan “Adik Hasyim”. Sementara Hasyim Asy’ari
memanggil Muhammad Darwis dengan panggilan “Mas atau Kang Darwis”.
Selepas nyantri di pesantren Syaikh Shaleh Darat, keduanya mendalami
ilmu agama di Makkah, dimana sang guru pernah menimba ilmu
bertahun-tahun lamanya di Tanah Suci itu. Tentu saja, sang guru sudah
membekali akidah dan ilmu fikih yang cukup. Sekaligus telah memberikan
referensi ulama-ulama mana yang harus didatangi dan diserap ilmunya
selama di Makkah.
Puluhan ulama-ulama Makkah waktu itu berdarah
Nusantara. Praktek ibadah waktu itu seperti wiridan, tahlilan,
manaqiban, maulidan dan lainnya sudah menjadi bagian dari kehidupan
ulama-ulama Nusantara. Hampir semua karya-karya Syaikh Muhammad Yasin
al-Faddani, Syaikh Muhammad Mahfudz at-Turmusi dan Syaikh Khathib
as-Sambasi menuliskan tentang madzhab Syafi’i dan Asy’ariyyah sebagai
akidahnya. Tentu saja, itu pula yang diajarkan kepada murid-muridnya,
seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah,
Syaikh Abdul Qadir Mandailing dan selainnya.
Seusai pulang dari
Makkah, masing-masing mengamalkan ilmu yang telah diperoleh dari
guru-gurunya di Makkah. Muhammad Darwis yang telah diubah namanya
menjadi Ahmad Dahlan mendirikan persarikatan Muhammadiyyah. Sedangkan
Hasyim Asy’ari mendirikan NU (Nahdlatul Ulama). Begitulah persaudaraan
sejati yang dibangun sejak menjadi santri Syaikh Shaleh Darat hingga
menjadi santri di Tanah Suci Makkah. Keduanya juga membuktikan, kalau
dirinya tidak ada perbedaan di dalam urusan akidah dan madzhabnya.
Saat itu di Makkah memang mayoritas bermadzhab Syafi’i dan berakidahkan
Asy’ari. Wajar, jika praktek ibadah sehari-hari KH. Ahmad Dahlan persis
dengan guru-gurunya di Tanah Suci. Seperti yang sudah dikutipkan di
awal tulisan, semisal shalat Shubuh KH. Ahmad Dahan tetap menggunakan
Qunut, dan tidak pernah berpendapat bahwa Qunut sholat subuh Nabi
Muhammad Saw adalah Qunut Nazilah. Karena beliau sangat memahami ilmu
hadits dan juga memahami ilmu fikih.
Begitupula Tarawihnya, KH.
Ahmad Dahlan praktek shalat Tarawihnya 20 rakaat. Penduduk Makkah sejak
berabad-abad lamanya, sejak masa Khalifah Umar bin Khattab Ra., telah
menjalankan Tarawih 20 rakaat dengan 3 witir, sehingga sekarang. Jumlah
ini telah disepakati oleh sahabat-sahabat Nabi Saw. Bagi penduduk
Makkah, Tarawih 20 rakaat merupakan ijma’ (konsensus kesepakatan) para
sahabat Nabi Saw.
Sedangkan penduduk Madinah melaksanakan
Tarawih dengan 36 rakaat. Penduduk Makkah setiap pelaksanaan Tarawih 2
kali salaman, semua beristirahat. Pada waktu istirahat, mereka mengisi
dengan thawaf sunnah. Nyaris pelaksanaan shalat Tarawih hingga malam,
bahkan menjelang Shubuh. Di sela-sela Tarawih itulah keuntungan penduduk
Makkah, karena bisa menambah pahala ibadah dengan thawaf. Maka bagi
penduduk Madinah untuk mengimbangi pahala dengan yang di Makkah, mereka
melaksanakan Tarawih dengan jumlah lebih banyak.
Jadi, baik KH.
Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari tidak pernah ada perbedaan di dalam
pelaksanaan ubudiyah. Ketua PP. Muhammdiyah, Yunahar Ilyas pernah
menuturkan: “KH. Ahmad Dahlan pada masa hidupnya banyak menganut fiqh
madzhab Syafi’i, termasuk mengamalkan Qunut dalam shalat Shubuh dan
shalat Tarawih 23 rakaat. Namun, setelah berdirinya Majelis Tarjih pada
masa kepemimpinan KH. Mas Manshur, terjadilah revisi-revisi, termasuk
keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktekkannya doa
Qunut di dalam shalat Shubuh dan jumlah rakaat shalat Tarawih yang
sebelas rakaat.”
Sedangkan jawaban enteng yang dikemukan oleh
dewan tarjih saat ditanyakan: “Kenapa ubudiyyah (praktek ibadah)
Muhammadiyyah yang dulu dengan sekarang berbeda?” Alasan mereka adalah
karena “Muhammadiyyah bukan Dahlaniyyah”.
Masihkah diantara
kita yang gemar mencela dan mengata-ngatai amaliah-amaliah Ahlussunnah
wal Jama’ah Nahdlatul Ulama sebagai amalan bid’ah, musyrik dan sesat?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar